Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Konsumsi 'Logos Politik' di "Mari Makan"

Suara BulirBERNAS
Monday, October 17, 2022 | 16:58 WIB Last Updated 2023-02-04T06:00:00Z

 

Konsumsi 'Logos Politik' di "Mari Makan"

Konsumsi 'Logos Politik' di "Mari Makan"



Oleh: Sil Joni*


Labuan Bajo pada Minggu, (16/10/2022) baru saja 'diguyur' hujan sehingga udara terasa sejuk. Tubuh saya 'ditusuk' rasa dingin sebab hampir setengah jam, butiran air hujan 'menerpanya' ketika saya hampir tiba di Satar Kudi, area yang dikenal luas sebagai persemaian bibit pohon yang modern itu.


Baca: Ketika "Lurah" Bersanding dengan 'Politisi'


Praktisnya, saya mesti 'mengerahkan daya ekstra' untuk mengendarai sepeda motor menuju area Nggorang di tengah guyuran hujan yang tampak deras itu. Meski 'basah kuyup', saya meneruskan perjalan menuju Labuan Bajo untuk membeli beberapa jenis barang. Sayang, toko yang dituju, sudah tutup.


Di tengah 'rasa kecewa', saya teringat satu nama, Iren Surya, sang pengacara yang baru-baru ini telah mendeklarasikan diri sebagai 'bakal calon bupati Manggarai Barat (Mabar)'. Saya coba menghubunginya melalui telepon genggam. Ternyata, beliau dan beberapa teman berada di restoran 'Mari Makan'. Iren mengajak saya untuk bergabung dengan kelompok itu.


Kendati, seluruh busana yang saya kenakan 'basah' dan dingin 'menusuk kulit', saya segera meluncur ke 'Mari Makan' itu. Sudah diduga bahwa suasana di tempat itu 'agak beda' sebab selain menikmati minuman dan kudapan, sebuah perbincangan politik digelar.


Saya berlangkah ke ruang restoran. Di sana sudah berkumpul beberapa teman yang nama mereka sudah sangat familiar di panggung politik lokal. Mereka menyambut saya dengan hangat melalui ekspresi wajah yang bertabur senyum dan ucapan 'selamat' yang meriah. 


Tentu, tidak terlalu mengejutkan ketika di meja itu, sebuah 'diskusi politik berkelas' muncul secara spontan dan berlangsung dinamis sebab hampir semua 'peserta' mempunyai atensi yang besar pada bidang politik. Betapa tidak. Di situ ada Inosensius Peni, seorang anggota DPRD Mabar. Beliau dikenal sebagai salah satu anggota Dewan yang cerdas dan kritis. Kritikannya selalu menukik dan disuarakan dengan cara yang amat elegan dan bermartabat.


Baca: KLC, Bagaimana Kabar?


Selain itu, hadir juga pak Harun Bahali, mantan anggota DPRD yang tidak kalah  garang dan vokal ketika 'bernyanyi' di ruang dewan. Aura perdebatan politis dan dinamika politik yang terjadi di 'ruang parlemen', bukan hal asing bagi pak Harun.


Ibu Yu Kurniawati, seorang birokrat muda  yang baru saja menggondol gelar master (S2) pada salah satu Perguruan Tinggi (PT) prestisius di Malang,  'duduk' di antara pak Ino dan pak Harun. Posisi ini seolah sudah diatur agar 'pertengkaran politik' selalu berada di bawah kendali seorang perempuan. Terbukti, ibu Yu tampil sebagai 'penyejuk' dalam obrolan itu.


Dua advokat berbakat, pak Peter Ruman dan Iren Surya tampil sebagai partner debat yang memikat. Buah pikiran mereka selalu bernas dan tajam. Alhasil, perbincangan di 'Mari Makan' itu berlangsung alot dan bermutu. Sebuah sajian intelektual yang dikecap secara gratis.


Sedangkan saya, sejak awal harus berjuang 'mengusir' dingin dari tubuh. Sudah satu gelas 'air hangat' diteguk. Tetapi, rasa itu belum menyingkir jua. Namun, entah mengapa ketika 'aura pertengkaran ide' itu mencapai suhu yang panas, raga saya terasa hangat. Efeknya, saya kian 'bersemangat' berpartisipasi dalam diskursus itu.


Isu yang dipercakapkan lebih dari satu. Duel gagasan itu memang tidak terfokus, tetapi tetap berjalan dengan sikap ilmiah yang mengagumkan. Saling serang ide, menggunting argumen, membabat pendapat lawan dan 'baku sikat', menjadi panorama dominan dalam obrolan politik itu.


Seperti biasa, saya tampil sebagai 'penyimak' yang baik. Sikap mendengarkan dan menaruh respek pada lawan bicara, diperlihatkan dengan baik. Saya lebih senang sebagai penikmat atau konsumen logos (pembicaraan, ilmu, sabda) yang diproduksi oleh partisipan diskursus. 


Tetapi, rupanya pak Harun begitu piawai 'memancing saya' untuk ikut meramaikan pertengkaran politik itu. Kebetulan, diskusi itu tiba pada pembicaraan tentang dampak politik uang dalam praksis berdemokrasi. Hampir semua peserta mengamini bahwa politik itu butuh uang. Namun, uang yang dimaksud tidak dipakai untuk membeli suara konstituen (money politic), tetapi dipakai untuk membiayai atau memfasilitasi aneka aktivitas politik (political cost).


Setelah 'ditodong' oleh pak Harun, saya coba berbagi perspektif terkait isu itu. Hemat saya, ketika politik direduksi maknanya hanya sebatas kompetisi merebut kursi kuasa, maka para aktor politik buruk modal sebagai senjata memenangkan pertarungan. Salah satu kapital yang efektif untuk meraih ambisi itu adalah uang. Celakanya, sistem politik demokrasi kita, cenderung bersifat pragmatis dan transaksional.


Sistem yang koruptif itu, menjadi biang keladi 'maraknya' penggunaan uang dalam sebuah kontestasi. Para pemain politik selalu tergoda menggunakan cara instan dalam merengkuh kursi kuasa. Proses kaderisasi dalam partai politik tidak berjalan secara sehat. Akibanya, para kader partai menderita semacam 'sindrom kurang percaya diri' dalam meraih simpati publik sehingga uang menjadi senjata pamungkas.


Baca: Idealisme Orang Muda "Mati" di Kandang Politik?


Jadi, selagi sistem politik itu tidak berubah atau direvisi, maka akan semakin banyak yang tercebur dalam lumpur politik uang. Karena itu, kehadiran para 'nabi politik' menjadi relevan dan urgen. Setidaknya, para nabi politik terus 'membersihkan politik' dari lumpur dosa melalui 'seruan profetis' dan kritik sosial yang tajam agar para pemain politik tidak terperangkap dalam jebakan lumpur politik yang koruptif itu.


Perdebatan perihal urgensi eksistensi nabi politik dalam pentas politik, begitu seru dan berkualitas. Argumen pro dan kontra disampaikan secara elegan. Pak Ino Peni, salah satu 'vokalis' DPRD Mabar, kesan saya, cukup berhasil mempertajam tema ini melalui elaborasi dan eksplorasi gagasan yang kaya referensi.


Singkatnya, restoran Mari Makan sore itu, tidak hanya tempat untuk 'mengenyangkan perut', tetapi juga istana memuaskan dahaga otak. Kita melahap atau mengkonsumsi 'logos politik' dengan nikmat dan hikmat. Aula kognitif kembali 'terisi' oleh pasokan nutrisi logos politik yang cemerlang. Sebuah momen yang langka. 


Untuk itu, rasanya tidak sia-sia 'tubuh saya' bertarung melawan dingin. Logos politik, mampu menghalau rasa dingin yang melilit sekujur tubuh. Benar bahwa manusia tidak hidup dari roti saja, tetapi dari setiap logos yang keluar dari mulut sesama. Harapannya, sabda atau Logos di Mari Makan itu, dapat ditransformasi menjadi 'daging praksis' yang renyah. Dengan itu, panggung politik, perlahan-lahan diterangi oleh cahaya kebenaran dan bebas dari lumpur politik yang menjijikkan itu.



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Konsumsi 'Logos Politik' di "Mari Makan"

Trending Now

Iklan