Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Alam Manggarai dan Ngkiong

Suara BulirBERNAS
Sunday, January 30, 2022 | 14:45 WIB Last Updated 2022-01-30T09:28:11Z
Alam Manggarai dan Ngkiong


Di sebuah daerah di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, ada seekor burung yang selalu dikaitkan dengan alam, yaitu Ngkiong. Di sana, hiduplah seorang lelaki tua renta, bujang lapuk, tak laku-laku di mata perempuan. Namanya adalah Joffer. Mungkin benar kata orang, nomen est omen, nama adalah tanda selayaknya doa, Joffer (Jomblo for ever). Senja adalah waktu yang tepat menikmati secangkir kopi sambil menyaksikan teja alam, yang menghiasi berbagai kekayaan alam di dalamnya. Si, Joffer, petani tua itu sangat menikmati situasi-situasi itu. Sejak lahir Joffer sudah bersahabat dengan alam. Alam dan manusia itu begitu dekat, hanya beda bahasa. Tak semua manusia memahami bahasa alam dan tak semua isi alam mengerti bahasa manusia.

Bunyi Ngkiong pada sore hari merupakan suatu sukacita sendiri. Alam itu selayaknya sedang konser pada senja hari. Ada suara yang merdu kendatipun tak berirama. "Indah sekali", begitulah Joffer merasakannya.

Baca: Arti Hidup, Misteri Hari Esok, Hidup Bahagia, Cinta Abadi (Antologi Puisi Nasarius Fidin)

"Ngkiong" hanya terdapat di daerah kuni agu kalo, Manggarai. Kemolekan burung ini, sampai-sampai penggubah lagu Manggarai membuat lirik dengan syahdu: "senget runing Ngkiong/senget Ngkiong ta, Ngkiong le poco. Neka poka puar/ neka tapa satar”.

Joffer dan Ngkiong mengisahkan persahabatan dua makhluk hidup yang saling bertarung dengan waktu dan hidup. Joffer hanya ditemani oleh burung Ngkiong di rimba pekat. Ia merasa rimba Tuhan yang berkemah di bumi. 

Joffer berpamit untuk sementara waktu,  "sobat Ngkiong. Saya pulang ke kampung hari ini. Kamu menjaga semua apa yang ada di kebun ini." Ngkiong dengan sigap menjawab, "siap bos. Tapi jangan lupa, ingatkan orang-orang di kampung, gunung itu tak boleh diberikan ke pihak investor untuk pertambangan. Mata air itu harus dijaga dan jangan menebang pohon di sekitarnya. Jangan kalian wariskan air mata ke anak cucu kalian."

Si Joffer, "saya dengar si sobat Ngkiong, warga kampung akan mengadakan musyawarah malam ini. Karena hal itu, aku pulang untuk mengikuti itu. Dengar-dengar diskusi malam ini tentang apakah kampung itu akan diberikan ke pihak investor atau tidak, termasuk menebang pohon beringin besar itu. Semoga saja nanti, kebatilan hati mereka diubah oleh ruah Allah”.

Baca: Agama, Dosa dan Ketawa

Si Joffer pulang ke kampung dengan sangat sedih. Ia tahu, warga kampung lebih memilih uang daripada alam. Mereka sudah menerima uang dari investor asing, dengan janji yang tinggi.  Ia mengingatkan warga kampung dengan mengulangi lagi kalimat sahabatnya, Ngkiong. Tetapi, apa lacur, uang lebih memikat manusia daripada nasihat. Kerakusan lebih kuat daripada keugaharian.

Keesokannya, ia pulang ke ladang. Sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Ia sudah terbiasa dengan kesendirian. Kendatipun, ia sadar banyak makhluk Tuhan menemaninya. Ia tiba di ladang menjelang magrib. Selesai sholat, ia menggulungkan sajadah, lalu berdialog dengan Ngkiong. "Sobat, apa memang hati manusia bukan terbuat dari ruh atau roh Allah?" Ngkiong menjawab sambil senyum, "roh memang kuat, tetapi daging lemah". Joffer membatini apa yang baru saja dikatakan Ngkiong.

Baca: Membongkar Kebohongan Klarifikasi Edy Mulyadi

Joffer membuka dialog lagi, "Sobat Ngkiong, janganlah kiranya hatimu bersedih mendengar kisahku ini". Ngkiong penasaran, "cerita apa sih, sobat? Telingaku tak tahan lagi mendengarnya”.  Joffer melanjuti kisah dengan ekspresi murung, "begini, sobat Ngkiong. Warga kampung sudah menerima uang 150 juta per kepala keluarga, sehingga gunung itu dan pohon beringin besar pelindung kampung akan digusur dan digali besar-besaran untuk dijadikan pabrik semen dan pertambangan". Spontan Ngkiong merespon, "apa, digusur? Tidak bisakah kamu mencegatnya?" Joffer menjawab, "Suara satu orang tak bisa mengalahkan suara mayoritas. Warga kampung menganut paham demokrasi, siapa suara terbanyak kendatipun tak pakai nurani, selayaknya memilih Kepala Desa kemarin dan memilih DPR. Suara terbanyak keluar sebagai pemenang."

Ngkiong sangat sedih. Saudara-saudaranya akan kehilangan habitat mereka. Ia sangat terpukul, pertambangan di Serise, Torong Besi, sempat di Batu Gosok menyisahkan pengalaman tragis. Kini, akan ada lagi pabrik semen di Lolok dan Luwuk. Banyak anggota keluarganya meninggal. Kini, ia akan mengalami hal yang sama sebentar lagi. Malam itu, sambil tersenyum ia bersimbahkan air mata. Sedih sekali hatinya. Seperti mau mati rasanya.

Joffer melanjuti, "gimana perasaanmu, sobat Ngkiong, setelah mendengar berita duka buatmu. Sebenarnya sih, buat saya juga. Saya adalah satu-satunya warga kampung yang tak setuju, sobat". Ngkiong dengan ekspresi murung-masgyul, "andaikan saya adalah pemerintah. Saya akan berpikir dari kerugian alam. Saya akan menggunakan kacamata kosmos. Acap kali, warga kampung memang selalui diiming-iming ‘uang’ oleh penguasa. Apalagi kalau pengusaha, penguasa dan uang bersua. Kita (kami dan kamu, satu-satunya yang menolak) hanyalah korban". Joffer turut merasa seduh-sedan, tak tangis, tapi sangat berduka.

Baca: Koruptor Termuda di Indonesia, Nur Afifah Balqis, Punya Koleksi Mobil Mewah, Harganya bikin Melongo

Hari sudah mulai larut malam, keduanya mengucapkan selamat berpisah dan say good night. Ngkiong di kala fajar membangunkan temannya, Joffer. Persabatan keduanya tak saling memanfaatkan. Ada dalam pelbagai situasi. Joffer tahu dan berkata dalam hatinya, “Tuhan, aku memang tidak memiliki apa-apa, tetapi aku memiliki siapa-siapa, termasuk Ngkiong. Maka, cegatlah kebatilan hatiku, jika aku sudah memiliki apa-apa, supaya jangan melupakan siapa-siapa, termasuk Ngkiong”.

"Joffer, cepat-cepat bangun dari peraduannya dan menjemput pagi dengan semangat. Saya mendengar ada suara alat berat di gunung itu. Rupanya, katamu semalam benar terjadi. Itu sudah datang muka-muka uang", Ngkiong membuka percakapan. "Hmmmm", jawab Joffer sambil diam. Lalu, Joffer pergi menyaksikan apa yang terjadi. Memang benar, teman-teman Ngkiong banyak yang diusir dari tempat itu. Tak sedikit yang meninggal. Lalu Joffer pulang. 

Menjelang magrib, Joffer membersihkan tempat doanya. Setelah sholat, keduanya berjalan di kebun itu, selayaknya sepasang asyik-masyuk yang lagi bermesraan. Tetapi, mereka bukan pasangan kekasih, tetapi pasangan sahabat karib. 

"Berapa lama lagi, kamu bersama aku. Aku akan pergi untuk selamanya. Mungkin, aku berada di sini untuk menebus puisi yang hilang. Aku tak mau tahu, aku rela merasakan penderitaan Ngkiong-Ngkiong yang lain. Manusia sampai kapan pun selalu terarah kepada keburukan", sahut Ngkiong membuka percakapan. Joffer sangat sedih mendengar pernyataan Ngkiong. Ngkiong baru kali itu mengatakan kata seperti itu, rasanya seperti petir di siang bolong. "Memang, sobat Ngkiong mau ke mana?", tanya Joffer. "Ya, ke arah asalku". Ngkiong melanjuti sabdanya, selayaknya, ia adalah seorang nabi, "Akan ada suatu saat, manusia meratapi keberdosaan dan mengutuki kedurhakaan. Jika waktu memetik pada sebuah masa, manusia akan menjerit seperti wanita yang melahirkan. Akan ada masa, wanita mandul akan diberikan keturunan. Seorang yang beranak banyak menjadi layu". Percakapan sederhana itu begitu hening. Kata-katanya seperti mengajak menyusuri lorong sunyi, tak ada buih dan suara.

“Sudahkah kamu membaca Kitab Suci?”, tanya Ngkiong kepada Joffer. "Aku pernah membaca dan banyak yang lupa", sahut Joffer dengan polos. Mencintai itu memang sampai membuat orang lupa - lupa fokus kepada dirinya. "Manusia sekarang memang belum sampai pada taraf lupa", sahut Ngkiong. Ia menambah, "manusia hanya mengungkung ego. Ego terlampau kuat, sehingga lupa diri. Lupa yang lain. Lebih parah lagi, sobatku Joffer, kalau sudah lupa Tuhan. Jangan sekali-kali kau sampai pada pada taraf ini, Sobat Joffer. Jerat kadang terputus dan kita pun akan terlepas atau terhempas”.

Keduanya sangat asyik berdiskusi tentang kehidupan sejati. "Apa yang paling berharga dalam hidup, sobat Ngkiong?" tanya Joffer. "Waktu, itulah yang kekal,” sambar Ngkiong dengan lekas.

"Tetapi kenapa manusia biadab," tanya Joffer. "Waktu adalah hakim, yang memperhitungkan setiap tindakan manusia," lanjut Ngkiong. "Bagaimana jika keabadian tidak ada," batin joffer. "Waktu dan keabadiaan adalah satu," jawab Ngkiong. "Lalu, keabadian itu, kenapa membiarkan manusia hidup dalam kejalangan dan kebuasan," Joffer melanjuti pertanyaannya. "Hanya dengan itu, manusia bisa paham, apa makna kesempatan. Setiap kesempatan mengandung racun dan madu. Memilih yang baik atau buruk," tegas Ngkiong dengan suara agak berapi-api. "Berarti kesempatan curang," tanya Joffer menggebu-gebu. "Kesempatan selayaknya kata-kata dan nasihat saya. Tidak pernah curang. Manusia lebih memilih uang daripada nasihat," jawaban yang membuat Joffer mati kutu dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. 

Lalu, Ngkiong pamit menuju ke pondok terlebih dahulu. Joffer masih menikmati empat teguk lagi dari sisa kopi di cangkir yang lengket di tangannya. Setelah sejam ia merenung sabda Ngkiong, ia pun beranjak dari tempat itu dan menuju ke pondok. 

Dan, dari Jauh ia mengintip Ngkiong menulis surat, "Joffer! Jangan kau sakiti aku lagi. Bilang teman-temanmu, manusia". Seketika itu juga, ia terbang ke angkasa. Joffer menyaksikan, semakin tinggi ia berubah-rupa, selayaknya malaikat. Joffer baru sadar, temannya adalah caraka Tuhan untuk mengingatkan manusia. Si Ngkiong, berasal dari surga.


CATATAN:

*Ngkiong adalah "burung endemik khas Flores. Memang banyak generasi muda yang tidak melihatnya, hanya didengar dari syair lagu dan cerita orang tua. Ada syair lagu yang cukup terkenal, yaitu "senget runing Ngkiong", artinya dengar kicauan Ngkiong.

*Kuni agu kalo artinya tanah tumpah darah. Orang Manggarai sering menyebut perihabahasa tersebut untuk mengingatkan kampung halaman. 

*Senget runing Ngkiong/senget Ngkiong ta ngkiong le poco”. Neka poka puar/ neka tapa satar. Ini adalah sebagian dari syair lagu tentang Ngkiong.  Dengar kicauan burung Ngkiong. Kita mendengarnya di rimba. Jangan tebang hutan dan jangan membakar rumput.


Oleh: Eugen Sardono

Mahasiswa Pascasarjana jurusan Filsafat di STF Widya Sasana, Malang

Penulis Buku “Sajak dari Atas Sepeda”, “Seni Membuka Hikmat dari Setiap Lembarang Pengalaman”, dan “The Wings of Heart”.

Tulisannya pernah muat di Majalah Jawa Pos, Pos Kupang, Flores Pos, UTUSAN, ROHANI, HIDUP, KKWI, RELASI, dan FORUM FILSAFAT

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Alam Manggarai dan Ngkiong

Trending Now

Iklan