Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Tradisi Teing Hang dalam Kebudayaan Masyarakat Manggarai

Friday, May 27, 2022 | 22:42 WIB Last Updated 2022-05-27T15:54:16Z

 

Tradisi Teing Hang dalam Kebudayaan Masyarakat ManggaraiTradisi Teing Hang dalam Kebudayaan Masyarakat Manggarai

Oleh: Belarminus Budiarto

1.      Pengantar

Kebudayaan tidak dapat dilepaspisahkan dari ruang lingkup kehidupan manusia. Kebudayaan mengandung arti dan makna mendalam dalam seluruh dinamika kehidupan manusia. Kebudayaan adalah keseluruhan kecakapan baik mengenai adat istiadat, kesenian, ilmu pengetahuan dan sebagainya yang dihasilkan manusia sebagai subjek dari kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, Culture and all of its products are the result of the process of human life”. Artinya, kebudayaan dan semua produknya adalah hasil dari proses kehidupan manusia. Singkat kata, kebudayaan menjadi sebuah identitas yang menunjukkan eksistensi kehidupan suatu masyarakat.

Setiap budaya tentu memiliki tradisi atau adat istiadat yang berbeda. Tradisi budaya orang Maumere, Ende, timor jelas tidak sama dengan tradisi orang Manggarai. Masyarakat Manggarai memiliki aneka bentuk tradisi yang diwariskan para leluhur. Dan bahkan tradisi tersebut terus dijaga, dirawat dan  dihayati hingga saat ini. Salah satunya ialah tradisi teing hang. Masyarakat Manggarai menjadikan tradisi ini sebagai salah satu sarana untuk mengekspresikan diri, memahami, memaknai dan mengenal secara mendalam tentang Mori Kraeng (Tuhan) sebagai Realitas Tertinggi. Selain itu, tradisi ini terus diaktualisasikan sebagai tanda untuk mengenang para leluhur. Dalam tulisan sederhana ini, penulis akan membahas tema tentang tradisi teing hang dalam kebudayaan atau adat istiadat orang Manggarai.

Baca: Ini tim yang masuk babak 16 pada Liga Bola Stasi Antonius Leda

2.      Pengertian Ritus Teing Hang

 Term “Teing Hang” berasal dari dua kata bahasa Manggarai yakni: teing dan hang. Teing berarti memberi dan hang berarti makan. Dengan demikian, teing hang berarti aktivitas memberi makan kepada seseorang atau pun sekelompok orang. Secara filosofis, kata memberi makan sangat cocok dipakai dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sementara dalam konteks kebudayaan Manggarai istilah teing hang merujuk kepada suatu ritus penghormatan kepada para nenek moyang atau leluhur. Secara kebudayaan, istilah memberi sesajian kepada leluhur lebih cocok digunakan daripada menggunakan istilah memberi makan kepada leluhur. Maka, istilah teing hang identik dengan  memberi sesajian kepada para leluhur.

Tradisi teing hang (memberi sesajian kepada para leluhur) merupakan salah satu acara adat masyarakat Manggarai. Teing hang sudah menjadi kebiasaan atau adat istiadat yang menunjukkan identitas kebudayaan masyarakat Manggarai. Tradisi ini sudah ada sejak jaman para nenek moyang dan berlangsung sampai hari ini. Tradisi ini merupakan salah satu warisan para leluhur yang mesti dipelihara dan dijalankan oleh masyarakat Manggarai pada umumnya. Teing hang biasanya digunakan dalam acara-acara tertentu, misalnya, dalam acara menyambut tahun baru dan sebagainya. Acara teing hang biasanya diadakan pada malam hari dan disaksikan oleh banyak orang (keluarga besar yang bersangkutan). Ritus ini biasanya dipimpin oleh seorang tua adat atau seorang yang mengerti dan memahami dengan baik tentang acara tersebut. Biasanya, ritus ini diakhiri dengan acara makan malam bersama.

3.      Tujuan Ritus Teing Hang

Ritus teing hang yang terdapat dalam masyarakat Manggarai memiliki pelbagai bentuk tujuan. Pertama, tujuan utama dari acara teing hang ini ialah sebagai bentuk syukur dan terimakasih dari manusia atau masyarakat setempat kepada pribadi yang transenden atau wujud tertinggi yang disebut sebagai Mori Kraeng (Tuhan) oleh masyarakat Manggarai. Kedua, tujuan dari acara ini ialah untuk menghormati dan mengenang para leluhur yang diakui dan dipercayai sebagai pelindung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Masyarakat Manggarai mengakui bahwa apabila acara ini tidak diadakan, maka akan berdampak buruk bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat setempat, misalnya, terjadi bencana, sakit dan sebagainya. Masyarakat Manggarai juga mengakui bahwa meskipun para leluhur sudah lenyap dari muka bumi mereka tetap menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat setempat. Selain itu, tujuan lain ialah sebagai lambang hidup persaudaraan, bentuk partisipasi antar masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah tertentu.

Baca: Paduan Suara IKMM Meriahkan Ibadat Jumat Agung di Gereja St. Thomas Aquinas

4.      Peserta dalam Acara Teing Hang

Orang yang terlibat dalam acara teing hang biasanya ialah keluarga besar mulai dari yang berasal dari satu keturunan, yang memiliki hubungan dekat satu dengan yang lain, misalnya, anak rona, anak wina, ase ka’e, weta agu kesa, weki pang olo ngaung musi. Dalam hal ini kehadiran anak rona sangatlah penting sebagai suatu keabsahan dari tradisi dan acara tersebut selain eksistensi mereka sebagai tamu terhormat dan teristimewa dalam acara teing hang tersebut. Acara ini juga bisa dihadiri oleh orang yang bukan temasuk dalam keluarga besar yang bersangkutan, misalnya, kenalan, kerabat dan Tua Gendang. Kehadiran tua gendang merupakan saksi untuk keabsahan acara teing hang tersebut.

5.      Hewan Sembelihan dalam Acara Teing Hang

Berdasarkan adat istiadat orang Manggarai, hewan yang biasa digunakan dalam acara teing hang ialah seekor ayam jantan berwarna putih dan merah. Tetapi semuanhya kembali kepada keturuanan masing-masing. Berdasarkan sejarah awalnya, ayam jantan putih biasa digunakan sebagai hewan sembelihan dalam acara teing hang khususnya untuk kelompok-kelompok yang disegani, kaum bangsawan atau konglomerat, (misalnya dulu disebut sebagai Raja dan sekarang disebut sebagai bupati, camat dan sebagainya. Sedangkan untuk keturunan atau kalangan rakyat jelata digunakan ayam jantan berwarna merah sebagai hewan sembelihan. Akan tetapi kebiasaan lama tersebut sudah mengalami perubahan dari generasi ke generasi.

Saat ini banyak orang Manggarai menggunakan ayam jantan putih dan merah sebagai hewan sembelihan dalam acara teing hang. Keduanya bisa digunakan sebagai alternatif. Mengapa hewan tersebut? Tidak ada alasan pasti terkait hal ini. Berdasarkan tradisi, hewan inilah yang sering digunakan oleh para leluhur sebelumnya dalam setiap acara teing hang. Tugas kita ialah menjaga dan melanjutkan tradisi itu. Hemat saya sebagai penulis, barangkali saja alasan mengapa ayam ini digunakan sebagai hewan sembelihan dalam setiap acara tersebut karena memang bentuk atau ukurannya kecil, sangat sederhana dan mudah untuk dipegang,  disembelih sehingga mempermudah proses pelaksanaan acara teing hang.

Baca: MenjelangHari Lingkungan Hidup Sedunia, WALHI NTT lakukan Roadshow media di Kota Kupang

6.      Torok (Doa) dalam Ritus Teing Hang

Secara literal torok dapat diartikan sebagai doa lisan orang Manggarai yang merujuk pada pujian terhadap Realitas Tetinggi (Tuhan). Torok merupakan salah satu jenis doa lisan asli dalam kebudayaan masyarakat Manggarai. Dalam torok tersebut orang Manggarai memuji dan memuliakan kebesaran Tuhan Sang Pencipta yang disebutnya dengan ungkapan Mori jari dedek, dan juga dari roh leluhur dan keluarga yang sudah meninggal untuk membantu dalam seluruh dinamika kehidupan mereka. Torok ini juga sering disebut sebagai doa khas kebudayaan orang Manggarai karena berisi berbagai permohonan, ungkapan syukur, serta harapan kepada Wujud Tertinggi dan para leluhur.

Torok selalu terkait dengan seluruh dinamika kehidupan orang Manggarai dalam filosofi “gendang one, lingkon peang” yang menggambarkan perpaduan hubungan antara mbaru (rumah) sebagai tempat tinggal dengan lingko (kebun) sebagai lahan kerja dalam mengais kehidupan demi terpenuhnya kebutuhan anggota keluarga. Filosofi ini muncul dalam berbagai upacara adat baik yang bersifat komunal maupun privat. Upacara adat komunal ini misalnya upacara atau ritus adat yang merupakan upacara dari masyarakat satu kampung sedangkan upacara privat adalah upacara yang diselenggarakan oleh satu keluarga atau dalam bahasa Manggarai disebut dengan istilah kilo. Upacara-upacara ini dilakukan untuk menjaga hubungan antara masyarakat Manggarai dengan roh-roh leluhur serta sebagai cara untuk berkomunikasi dengan kekuatan adikodrati.

Dalam arti lain, torok (doa khas budaya Manggarai) merupakan ungkapan-
ungkapan yang tersusun dalam syair-syair indah untuk mengungkapkan atau menyatakan maksud-maksud tertentu dan ditujukan kepada Wujud Tertinggi (Mori Kraeng) atau para leluhur. Torok selalu disampaikan dalam konteks upacara adat, dalam suasana sakral, dan penutur merupakan representan dari peserta upacara itu sendiri. Tradisi lisan sebagai sebuah warisan leluhur menyimpan banyak nilai kearifan lokal, kebijakan, dan filosofi hidup tertentu yang mencerminkan identitas atau jati diri dari pemilik tradisi itu sendiri. Torok yang digunakan dalam ritus teing hang dapat disesuaikan dengan konteks acaranya masing-masing.

6.1. Proses Pelaksanaan Torok dalam Acara Teing Hang

Acara ini biasanya dimulai dengan kawi (Sambutan) seperti berikut ini:“Mai ga ite siap weki sanggen ase kae wan koe etan tu’a, ai kudut pu’ung dite acara ho’o to’ong ga”. (Marilah kita mempersiapkan diri wahai saudara/i dari dari yang muda sampai yang tua sebab acara ini akan segera dimulai).

6.2. Jenis-jenis Torok

Pada bagian ini saya hanya akan menjelaskan torok dalam ritus teing hang yakni: pada acara penyambutan tahun baru dan pembentukkan sebuah simbol dalam kebudayaan Manggarai.

6.2.1.       Torok dalam Acara Menyambut Tahun Baru

Torok (Bahasa Manggarai)

Doa (Bahasa Indonesia)

“Denge le hau ema agu ende tua, tara manga lonto torok agu liuk kimpung'g ami, ai olo main eme manga setiap ntaung weru, manga de acaran dami kudut “teing hang” meu. Ho’o de manuk bakok kudut teing hang’s meu, rantang mangan paing tana wies meu kamping ami ngasang anak agu empo laing. Hitu de salang tara mangan lonto torokliuk kimpung’g ami one wie ho’o kudut teing hang meu.

 

Dengarlah para leluhur, kami berkumpul bersama dalam acara ini dengan suasana persaudaraan guna untuk memberi sesajian kepada kalian. Inilah seekor ayam jantan putih yang kami persembahkan sebagai hewan sembelihan untuk disajikan kepada kalian sebagai bentuk syukur, cinta dan kasih kami, dan juga agar kami bisa hidup dalam ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan, hidup rukun dan makmur satu sama lain. Kebersamaan dalam acara  yang kami adakan malam ini merupakan sarana  atau jalan bagi kami untuk memberi makan kepada kalian.

6.2.2.      Torok dalam Acara Pembentukkan Sebuah Simbol Kebudayaan

Torok/tudak (Bahasa Manggarai)

Doa Adat (Bahasa Indonesia

“Denge le hau ema agu ende tua, tara manga lonto torok agu liuk kimpung'g ami one tempat ho,o ai ami kudut hese ca simbol budaya. Porong lelo agu senget lite le toe hese bon lami ngando ho,o. Manga kole lami acaran kudut teing hang meu. Ho’o de manuk bakok kudut teing hang’s meu, rantang mangan paing tana wies meu kamping ami ngasang anak agu empo laing. Hitu de salang tara mangan lonto torokliuk kimpung’g ami one leso ho’o kudut hese ca simbol agu latang’t  teing hang meu.

 

Dengarlah para leluhur, kami berkumpul bersama dalam acara ini dengan suasana persaudaraan guna untuk membangun sebuah simbol kebuayaan sekaligus memberi sesajian kepada kalian semuanya. Inilah seekor ayam jantan putih yang kami persembahkan sebagai hewan sembelihan untuk disajikan kepada kalian sebagai bentuk syukur, cinta dan kasih kami, dan juga agar kami bisa hidup dalam ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan, hidup rukun dan makmur satu sama lain. Kebersamaan dalam acara  yang kami laksanaka pada hari ini merupakan sarana  atau jalan bagi kami untuk membangun sebuah simbol kebudayaan  serta memberi sesajian kepada kalian semua.

7.      Makna Ritus Teing Hang Bagi Masyarakat Manggarai

7.1.Ritus Teing Hang Sebagai Adat-Isitiadat

Setiap ritus dalam hidup bermasyarakat lahir dari kebudayaan yang dibentuk oleh manusia sendiri. Maka dari itu, budaya tidak dapat dilepaspisahkan dari ruang lingkup kehidupan manusia. Relasi antara manusia dengan segala ciptaan nyata dalam suatu kebudayaan. Manusia melaksanakan seluruh proses kehidupannya demi untuk tercapainya sesuatu yang penting, yang berguna bagi dirinya dan orang lain, sehingga kemanusiaannya semakin nampak dalam realita. Ada berbagai macam bentuk tradisi di Manggarai dan setiap tradisi itu memiliki arti dan makna bagi kehidupan manusia.

Pada umumnya, orang Manggarai memiliki dan menjunjung tinggi nilai persatuan, persaudaraan dalam seluruh ziarah kehidupannya. Ungkapan persatuan itu ditunjukkan melalui banyak tanda, lambang, simbol, antara lain beberapa tata ruang budaya yakni; Mbaru Bate kaeng, Uma bate duat, Natas bate labar, Wae bate teku, Compang bate dari, dan juga Boa bate boak.  Tata ruang budaya tersebut menjadi salah satu kekhasan yang menunjukkan keabsahan masyarakat Manggarai. Setiap tata ruang budaya yang ada dan diakui saat ini bukan hadir begitu saja tanpa ada yang menghadirkannya. Semuanya berasal dari kebiasaan masyarakat jaman dulu yang diwariskan sampai saat ini. Semuanya sudah tertata dan termaktub dalam suatu hukum kebiasaan budaya setempat dan menjadi ciri khas dari suatu kebudayaan.

7.2. Ritus Teing Hang sebagai Ungkapan Manusia yang Berbudaya

Bagi masyarakat Manggarai ritus teing hang  mengandung unsur kebudayaan. Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat mana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Kita masing-masing dilahirkan ke dalam suatu kebudayaan yang bersifat kompleks dan kebudayaan itu kuat sekali pengaruhnya terhadap cara hidup serta cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup kita.

Kebudayaan mencakup semua aspek karya manusia sebagai homo sapiens: berbahasa, membangun pelbagai ragam dan sistem simbol, memahami akar identitas kelompok dan sebagainya. Kebudayaan merupakan akumulasi pengalaman yang disosialisasikan melalui pembelajaran yang diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan menunjuk pada pelbagai aspek kehidupan yang meliputi, cara cara bertindak, bertutur kata, kepercayaan-kepercayaan dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.

Baca: Appropriate Digitaly: Digitalisasi yang Kontekstual

8.      Korelasi Antara Acara Teing Hang dengan Iman Kepercayaan Masyarakat   Manggarai

Secara garis besar, aspek religi masyarakat Manggarai pada umumnya ialah kepercayaan terhadap Mori Kraeng, realitas tertinggi. Mori Kraeng (Sang Pencipta) dianggap sebagai penyebab adanya segala sesuatu. Dialah yang menggerakkan dan mengendalikan dunia ini. Masyarakat Manggarai mengaplikasikan kepercayaannya melalui pelbagai ritus. Acara teing hang dalam kebudayaan masyarakat Manggarai merupakan salah satu ritus yang mempertemukan manusia dengan Pencipta melalaui perantaraan para leluhur. Perjumpaan manusia dengan Tuhan yang dimaksdukan bukan secara langsung. Manusia tidak mampu mendekati yang Kudus secara langsung, karena yang Kudus itu transenden sedangkan manusia adalah makhluk temporal yang terikat di dalam dunianya. Manusia bisa mengenal Yang Kudus karena Yang Kudus mewahyukan Dirinya sendiri kepada manusia, entah melalui perisitiwa hierofani dan sebagainya.

Kesadaran akan kekuatan Mori Kraeng (Pencipta) mendorong masyarakat Manggarai untuk mengarah dan mendekatkan diri kepada para leluhur melalui pelbagai ritus kebudayaan. Bagi masyarakat Manggarai, para leluhur yang sudah meninggal dunia dianggap sudah mendapat kehidupan yang abadi bersama Mori Kraeng (Pencipta). Karena alasan yang demikian maka para leluhur dianggap sebagai sarana atau penyalur doa dan permohonan manusia kepada Sang Pencipta. Hidup manusia mengarah pada satu tujuan yakni, Sang empunya kehidupan. Dunia manusia hanyalah sementara, fana. Pada saatnya manusia akan lenyap dan akan menemukan dunia yang abadi yakni bersama Tuhan.

9.      Penutup  

Dalam ritus penghormatan yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai terhadap para leluhur yang diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu pertama-tama bukan bertujuan untuk mengagungkan para leluhur dan menomorduakan kuasa Sang Pencipta. Lebih dari itu, masyarakat Manggarai tetap menganggap dan percaya bahwa Wujud Tertinggi tetaplah Mori Kraeng (Sang Pencipta). Para leluhur hanyalah sarana baginya untuk sampai ke Wujud Tertinggi tersebut. Dalam bahasa adat Manggarai para leluhur ialah letang temba-laro jaong kamping Mori Jari (para leluhur merupakan jembatan yang menghubungi manusia dengan Tuhan). Oleh karena itu, ritus penghormatan yang diadakan masyarakat Manggarai dalam acara Teing Hang lebih dilihat sebagai penyembahan dan penghormatan kepada Sang Pencipta. Singkat kata, menghormati para leluhur melalui ritus teing hang secara tidak langsung juga menghormati Realitas Tertinggi (Mori Kraeng). Penghormatan terhadap para leluhur mengandaikan iman akan adanya wujud tertinggi. Para leluhur dihormati karena memiliki kedekatan dengan yang tertinggi. Para leluhur diyakini telah berada bersama Sang Pencipta kehidupan. 

Penulis, mahasiswa STFT Widya Sasana, Malang.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Tradisi Teing Hang dalam Kebudayaan Masyarakat Manggarai

Trending Now

Iklan