Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

"Salam Festival Golo Koe, Salam Pariwisata Holistik"

Tuesday, August 16, 2022 | 16:15 WIB Last Updated 2023-02-09T06:37:21Z
"Salam Festival Golo Koe, Salam Pariwisata Holistik"
"Salam Festival Golo Koe, Salam Pariwisata Holistik"



Oleh: Sil Joni*


Dari atas panggung megah, dalam acara 'puncak/penutupan Festival Golo Koe (FGK)' di Marina Waterfront City, Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, Pr secara lantang mengucapkan salam kepada audiens dan tentu saja kepada segenap umat Keuskupan Ruteng. "Salam Festival Golo Koe, Salam Pariwisata Holisitik". Demikian bunyi 'salam' yang meluncur dari mulut 'yang mulia Uskup Ruteng' itu.


Baca: Pariwisata Mabar Pasca "Festival Golo Koe"


Sangat menarik untuk menyimak dan merefleksikan isi sambutan pimpinan Gereja Katolik Keuskupan Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, Pr dalam acara penutupan Festival Golo Koe, Senin (15/8/2022)  di Marina Waterfront City. Jika poin-poin dalam sambutan itu, diimplementasikan secara kreatif dalam membangun sektor pariwisata Mabar, kita mempunyai cukup alasan untuk mengibarkan bendera optimis bahwa pariwisata adalah jalan menuju Mabar yang sejahtera.


Betapa tidak. Uskup Sipri pada momen itu, pertama-tama menyentil soal hakikat pariwisata. Bahwasannya melaui Festival Golo Koe, kita telah menunjukkan kepada  seantero Nusantara dan seluruh penjuru dunia bahwa pariwisata sejatinya, bukan menyingkirkan tetapi merangkul, bukan memelaratkan, melainkan mensejahterakan masyarakat setempat.


Sisi 'merangkul dan mensejahterakan' dari pariwisata itu, rasanya belum termanifestasi secara optimal dalam level praksis selama ini. Alih-alih merangkul, justru tendensi mengeklusi masyarakat lokal semakil dominan dan vulgar diterapkan. Ada upaya yang sistematis untuk menyingkirkan masyarakat lokal melalui skema kebijakan pariwisata yang bersifat elitis dan eksklusif.


Karena itu, Uskup Sipri menekankan pentingnya partisipasi atau keterlibatan umat dalam memajukan aktivitas industri pariwisata. Baginya, yang paling penting adalah bagaimana agar semua umat terlibat dalam pariwisata. Bukan soal tarif naik atau turun, melainkan duduk bersama.


Tetapi, dalam pelaksanaannya, konsep pariwisata super premium 'cenderung membatasi untuk tidak dibilang menutup ruang partisipasi publik itu. Padahal, menurut Uskup, pariwisata merupakan dialog untuk mencari solusi terbaik dalam mensejahterakan masyarakat. Bagaimana dialog itu terjadi, jika kebijakan yang diambil bersifat sentralistis dan elitis?


Tentu, pada level wacana, kita sepakat bahwa pariwisata adalah dialog  mencari yang terbaik untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk keuntungan korporasi. Pariwisata adalah "lonto leok kita sekalian, nai ca anggi tuka ca leleng." Pariwisata yang tepat dan benar  haruslah holistik, berpartisipasi, berbudaya dan berkelanjutan.


Namun, pertanyaannya adalah seberapa besar "posisi tawar Gereja" dalam memengaruhi proses perumusan dan implementasi kebijakan publik? Apakah Gereja diberi 'akses yang luas' untuk memperkenalkan dan mendesak penerapan konsep wisata holistik kepada para pembuat kebijakan?


Baca: Mahasiswa KKN di Desa Golo Ndoal, Bangun Gapura Menjelang HUT RI Ke-77


Sisi kenabian sang Uskup terlihat dari sikap kritisnya tehadap pariwisata. Bahwasanny pariwisata bukan hanya pesta orang kaya.


Pariwisata itu bukan hanya pesta turis tetapi pesta kita sekalian. Bukan hanya gawean orang berduit, tetapi juga "lonto leok" (kebersamaan) kita semua.


Tetapi, sekali lagi, bagaimana mungkin rakyat jelata bisa 'berpartisipasi' dalam pesta pariwisata itu, ketika biaya pesta sangat mahal dan standar untuk masuk dalam pesta itu semakin tinggi? Dalam pariwisata super-premium, impian semacam itu, rasanya sulit terwujud. Orang kaya punya segalanya untuk menjadi 'tuan pesta' dan menikmati suasana pesta itu sampai puas.


Catatan lain yang menarik untuk ditanggapi adalah soal isu alienasi warga lokal. Benar bahwa pariwisata tidak boleh membuat orang merasa asing di daerahnya sendiri. Pariwisata seharusnya bukan  membuat orang tercabik  dari budayanya, melainkan dibangun dan bertumbuh dalam keunikan kultur dan spiritual lokal.


Dengan perkataan lain, masyarakat mesti menjadi subyek atau pelaku utama dalam kegiatan pariwisata. Pariwisata haruslah berpatisipasi. Bukan hanya dalam hal kesejahteraan serta bukan hanya sekedar penerima pasif keuntungan ekonomi. Partisipasi berarti masyarakat lokal menjadi pelaku, subyek pariwisata yang mendesain sesuai kearifan lokal dan spiritualitas setempat. Kita melaksanakan aktivitas pariwisata dalam semangat persaudaraan dan dalam spirit kebhinekaan.


Selanjutnya, pada kesempatan itu juga, menjelaskan soal 'rahasia suksesnya peneyelenggaraan Festival Golo Koe.  Kesuksesan Festival itu, demikian Uskup Sipri, bukan terletak pada akumulasi uang, tetapi manusia yang punya hati. Hati untuk bekerja, melayani dan berkorban tampa pamrih serta hati untuk berbagi dengan sesama dan untuk Tuhan, itulah modal utama keberhasilan festival itu.


Hal lain yang tidak kalah memikatnya adalah tentang 'wajah baru' kota Labuan Bajo yang diperlihatkan selama festival itu dihelat.


Baca: "Festival Golo Koe", Pariwisata, dan Gereja yang Terlibat


Dalam Festival Golo Koe telah kita tunjukkan "the new Labuan Bajo". Bukan sekedar terletak dalam keindahan alam dan kemegahan fasilitas wisata, tetapi terutama Labuan Bajo yang damai, toleran dan harmonis.


Ketika 'wajah baru' itu dipertahankan dan menjadi 'kekhasan' warga Mabar di masa mendatang, maka memang sudah sepantasnya 'salam Festival Golo Koe, salam pariwisata holitstik', kita gemakan secara reguler dan kontinyu dalam ruang publik-politis. Festival Golo Koe, ternyata turut 'mentransforasi' citra kota Labuan Bajo, tidak hanya sebagai kota wisata super premium, tetapi juga kota yang ramah, damai, toleran, harmonis, dan berbudaya.



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Salam Festival Golo Koe, Salam Pariwisata Holistik"

Trending Now

Iklan