Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

"Budaya Komentar" Vs Budaya Literasi

Suara BulirBERNAS
Thursday, September 15, 2022 | 13:15 WIB Last Updated 2023-02-08T07:48:44Z
"Budaya Komentar" Vs Budaya Literasi
 "Budaya Komentar" Vs Budaya Literasi



Oleh: Sil Joni*


Interaksi dan komunikasi yang terjadi dalam 'ruang virtual' lebih banyak menggunakan 'bahasa simbol'. Simbol-simbol itu 'ditulis' dan dikirim kepada siapa saja dengan intensi tertentu. Karena memakai medium bahasa tulis, maka ada kesan bahwa aktivitas 'menulis', setidaknya menulis sesuatu di media sosial kian mekar.


Bisa dipastikan bahwa semua pengguna internet, khususnya mereka yang berselancar di 'jagat maya', telah memperlihatkan potensinya sebagai 'penulis'. Tulisan dari seoang 'bocah ingusan' bisa saja 'bersanding' dengan karya ilmiah populer dari seorang profesor atau akademisi. Media sosial adalah area tidak bertuan yang bisa dimasuki oleh siapa saja. Spirit egalitarianisme dan demokratis, cukup terasa ketika kita terlibat dalam sebuah aktivitas diskursus di ruang publik digital itu.


Bahkan, yang paling 'mengharukan' adalah kita merasa 'berhak' untuk mengomentari terhadap apa saja yang 'tersaji' dalam ruang maya itu. Memberikan komentar, entah positif maupun negatif, sepertinya menjadi 'budaya baru' yang kian digandrungi oleh homo digitalis saat ini. Eksistensi diri seolah-olah diafirmasi oleh keterlibatan dalam memberikan komentar. Saya berkomentar, maka saya ada.


Tidak hanya sampai di situ. Ada kecenderungan bahwa aktivitas (baca-tulis) direduksi hanya sebatas 'menulis komentar'. Ada yang menilai bahwa dirinya sudah menghidupkan 'budaya literasi', khususnya menulis melalui ribuan komentar pendek di media sosial. Keseringan 'berkomentar' dipatok sebagai 'prestasi literasi' yang mengagumkan. 


Tetapi, masalahnya adalah 'komentar' tersebut bersifat parsial atau sepotong. Kita semakin tidak terbiasa untuk berpikir mendalam dan komprehensif. Komentar-komentar yang dilepaskan di ruang publik digital, umumnya belepotan dengan 'limbah emosi'. Rasionalitas terdepak. Kita hanya 'mengirim' letupan emosional yang bersifat sesaat dan egoistis. 


Karena itu, tidak heran jika fenomena komentar, terutama di media sosial, tidak jarang menimbulkan keresahan dan bahkan konflik. Sejak media sosial berkembang, orang semakin mudah menyebarkan segala macam omongan, dan berkomentar sesuka hati, mulai dari kabar serius sampai desas desus politik, perang ideologi, rasisme, dan sebagainya. Alih-alih memperkuat budaya literasi, selebrasi terhadap 'budaya komentar' merupakan ekspresi kedangkalan berpikir yang bisa dibaca sebagai 'terputusnya' budaya literasi. 


Selain itu, pesona buku kertas mulai redup. Para pengguna media sosial lebih banyak 'mengkonsumsi' informasi atau berita sensional dan murahan dalam ruang internet. Membaca berita atau tulisan picisan dianggap 'memiliki hobi membaca'. Bagaimana mungkin wawasan dan tingkat kemampuan berpikir kritis bisa berubah, jika tidak mendapat asupan bacaan yang berkualitas?


Pengguna media sosial yang telah menghidupkan kultur literasi secara konsisten, biasanya tidak cepat 'tergoda' untuk percaya begitu saja dengan tampilan luar sebuah berita atau tulisan. Berpikir dan bertindak instan menjadi 'pemali' bagi seorang yang terbiasa dengan aktivitas literasi. 


Setiap potongan informasi yang disodorkan, selalu ditanggapi secara kritis. Fragmen berita itu coba dilihat dari perspektif, sebelum memberikan komentar dan menyebarkannya ke komunitas yang lebih luas. Namun, barangkali karena usaha untuk memeriksa terlebih dahulu suatu kabar memerlukan lebih banyak energi ketimbang menyebarkannya, maka kebanyakan dari pengguna media sosial akhirnya hanya berlomba-lomba dalam meneruskan kabar. Setidaknya, dengan cara seperti itu, kita dapat dianggap update, mengikuti perkembangan zaman.


Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa teknologi digital turut berperan dalam melahirkan budaya komentar. Siapa saja boleh komentar, tidak peduli apakah komentar tersebut menyakiti, melukai bahkan menyingkirkan orang lain. 


Dapat dikatakan bahwa teknologi hari-hari ini juga telah berperan melahirkan “setan gundul” yang membuat orang lain menjadi korban. Celakanya, kepekaan manusiawi untuk melihat sebuah persoalan dari sisi korban, semakin tererosi saat ini. Posisi sebagai pelaku, termasuk dalam hal menyalahgunakan kebebasan dalam berkomentar,  dirayakan dengan antusias.


Memang, di satu sisi banyaknya pilihan informasi di media sosial barangkali adalah suatu keistimewaan yang dapat dinikmati generasi digital saat ini. Namun di sisi lain, hal ini turut berdampak pada pemilihan bacaan yang akan kita lahap setiap hari. Kita tergesa-gesa untuk memilih bacaan dengan judul yang kontroversial, lantas ketika belum selesai dengan satu bacaan, akan ada bacaan lain yang menyita perhatian. 


Ritme seperti ini tidak jarang dan barangkali memang sulit dihindari, sehingga pada akhirnya kita tidak fokus dan menganalisa dengan setengah-setengah suatu permasalahan. Jika kondisi ini berjalan secara konstan, maka tentu saja memengaruhi tingkat kedalaman dan keluasan cara berpikir kita. Generasi yang terlatih dalam iklim taradisi pemikiran yang mendalam dan bermutu, semakin sulit ditemukan ketika tidak ada terobosan yang berarti untuk keluar dari 'belenggu media sosial'.


Gejala 'menurunnya' level kapasitas berpikir manusia yang dipicu oleh penggunaan media sosial yang tidak bijak, telah mendapat atensi serius dari para ilmuwan sosial. Nicholas G. Carr misalnya,  dalam bukunya The Shallow; What The Internet is Doing to Our Brains secara ekstrim menyebut fenomena pengalihan atau distraksi melalui internet ini sebagai suatu kedangkalan cara pikir. 


Kita boleh saja 'tidak setuju' dengan pendapat Nicholas ini. Tetapi, rasanya ketika kita terbiasa untuk berpikir setengah-setengah (sepotong-sepotong), mendewakan emosi, suka berbagi hal sensasional, berkomentar lepas, maka sebuah kemustahilan kita bergerak ke level pemikiran yang mendalam, luas, kaya perspektif, komprehensif, berbobot, dan bersifat konstruktif. Budaya literasi sulit bertumbuh di tengah semaraknya 'budaya komentar lepas' di media sosial itu.


Media alternatif (new media) bertumbuh subur bak cendawan di musim hujan saat ini. Fenomena itu, di satu sisi, dilihat sebagai 'terbitnya kanal baru' dalam membaca realitas yang terpotret oleh media arus utama (media cetak). Publik pembaca mempunyai variasi alternatif dalam menaangkap kebenaran yang diusung dalam sebuah realitas tekstual (wacana).


Namun, pada sisi yang lain, media dalam jaringan (daring) sebagai media altenatif itu juga tengah mempertaruhkan kualitasnya. Eksistensinya  dan kontribusinya terus diuji. Media daring memang dituntut lebih kreatif dalam merebut perhatian pembaca. Namun, alih-alih kreatif, kebanyakan media justru terjebak dalam euphoria kecepatan informasi namun cenderung lalai dalam akurasi dan verifikasi data. Isu sensasional kemudian menjadi lahan untuk berebut rating dan klik. Ketika media cenderung 'memuja klik', maka besar kemungkinan media itu hanya 'memungut berita sampah' dalam konten pemberitaannya. 


Pengkultusan terhadap isu-isu sensasional, menjadi latar ideal tumbuhnya budaya komentar. Umumnya, manusia 'terpikat' dengan hal-hal sensitif. Kita lebih tertarik pada sensasi ketimbang substansi, kulit daripada isi. Setiap berita yang dinilai sensasional dan mengundang perdebatan, maka akan muncul puluhan komentar dari banyak pembacanya. Isinya pun beragam, ada yang berupa cacian, pujian, hingga beragam produk jualan online.


Tragisnya, media di kekinian sangat 'piawai' mengemas isu yang sesuai dengan 'selera pasar' itu. Demi dan atas nama 'bisnis', yang sensasional dieksploitasi secara massif. Konten pemberitaan yang mengundang rasa ingin tahu dan perdebatan, didesain semenarik mungkin. Akibatnya, publik pembaca tidak pernah 'tercerahkan' dan berankak ke tradisi pemikiran yang lebih berkualitas.


Saya kira, sudah ada semacam kesadaran bersama terkait dengan 'bahaya' terselubung dari budaya komentar ini. Karena itu, dalam pelbagai grup media sosial, biasanya admin membuat semacam 'mekanisme pembatasan atau penyaringan terhadap komentar yang boleh dilepaskan dalam gurp itu. 


Situs berita kenamaan di Amerika; New York Times pun telah memperlakukan filter (penyaringan) atas komentar-komentar yang masuk dalam situs berita online mereka. Sebelum ditampilkan di bawah tiap artikel, setiap komentar harus mendapatkan persetujuan dari moderator yang terdiri dari para jurnalis The New York Times. Tentu, sangat bijak jika situs atau portal media kita juga menggunakan metode yang sama untuk membatasi dan menyaring komentar yang masuk dalam situs berita tersebut.


Hal sama berlaku untuk grup WhatsApp (WA) yang semakin digemari oleh para netizen saat ini. Para admin grup mesti memfilter jenis berita, artikel opini, dan komentar yang hendak dibagi dalam grup WA itu. Tidak semua komentar atau tanggpan terhadap sebuah 'isu', pantas disebarkan dalam ruang itu.


Saya sendiri, lebih sering tampil sebagai 'penyimak' ketika membaca ribuan komentar dalam aneka grup WA yang saya ikuti. Waktu tak cukup untuk 'terlibat' dalam budaya komentar itu. Kesan saya, semakin saya aktif dalam 'berkomentar', saya semakin tidak produktif dalam menulis. Dengan perkataan lain, budaya komentar menjadi salah salah satu faktor penghambat kreativitas dan produktivitas dalam menulis. Jadi, jangan pernah berharap kultur literasi bertumbuh di tengah setting 'budaya komentar' yang kian mekar  itu.



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Budaya Komentar" Vs Budaya Literasi

Trending Now

Iklan