Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Pancasila sebagai Local Wisdom di Tengah Kemelut Modernitas

Suara BulirBERNAS
Tuesday, March 29, 2022 | 08:34 WIB Last Updated 2023-03-28T03:04:49Z
Pancasila sebagai Local Wisdom di Tengah Kemelut Modernitas
Pancasila sebagai Local Wisdom di Tengah Kemelut Modernitas (ilustrasi: kompas)






Mereguk Dari Sumber Sendiri: Pancasila sebagai Local Wisdom di Tengah Kemelut Modernitas 


Memasuki abad ke-21 ini dunia diwarnai oleh berbagai macam hasil kreasi pengetahuan manusia sebagai dampak dari modernitas. Berbagai macam teori baru, pandangan hidup dan alat-alat teknologi canggih (smart technology) menghiasi jagat ini. Realitas ini barangkali tidak pernah dibayangkan beberapa abad sebelumnya, misalnya ketika James Watt menemukan mesin uap.  Terakhir manusia menyebut dirinya telah memasuki era baru yang disebut Revolusi Industri 4.0. Berbeda mencolok dengan ketiga revolusi industri sebelumnya, era 4.0 ditandai dengan semakin berkembangnya internet yang diikuti teknologi baru data sains, kecerdasan buatan (artificial inteligence), robotik, dan teknologi nano.  


Baca: Melampaui Kenangan (Tanggapan Atas Opini Silvester Joni)


Terlepas dari kemajuan yang pesat dalam banyak aspek kehidupan, modernitas juga menyimpan banyak pengaruh buruk. Tjandrawinata (2016) menjelaskan bahwa metode kerja Revolusi Industri 4.0 telah menyatukan bioteknologi dengan digital sehingga berpengaruh pada cara manusia membangun pola komunikasi, interaksi dan paradigma yang sama sekali baru. Hal ini sungguh nyata dalam wajah individualisme, sekularisme, kapitalisme, dan gaya hidup kosmopolitanisme. Berbagai macam wajah ini dengan mudah dan cepat mempengaruhi masyarakat dunia yang terhubung dalam jaringan global.  


Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global juga turut merasakan dampak buruk kemajuan ini. Persoalan utama yang terjadi ialah krisis identitas. Manusia Indonesia tenggelam dalam pusaran globalisasi yang mengaburkan nilai-nilai kebangsaan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi yang pesat menciptakan manusia Indonesia yang sekular atau sistem ekonomi kapitalis yang melahirkan konsumerisme dan kosmopolitanisme.  Akibatnya nilai-nilai religiusitas-kultural Indonesia diabaikan, bahkan dianggap kuno karena ketinggalan zaman. Kaum muda menjadi kelompok terentan akan bahaya ini.  


Baca: Mencintai Almamaterku: “SMPK Rosamistika Waerana“


Pertanyaannya ialah bagaimana cara agar manusia Indonesia tetap mempertahankan nilai-nilai keindonesiaannya sembari tetap memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi? Jawabannya, manusia Indonesia harus menemukan sendiri jati dirinya; historisitas, dasar hidup, dan way of life-nya. Hemat penulis, semuanya itu terangkum dalam kelima sila Pancasila. Pancasila merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia yang digali dari sumber sendiri, yaitu kebudayaan bangsa Indonesia.  


Pancasila merupakan philosophische Grondslag-(fundasi filosofis). Hal ini pertama kali disampaikan oleh Bung Karno dalam sidang 1 Juni 1945 untuk membahas dasar negara Indonesia merdeka. Bung Karno berkata dalam pidatonya: “Philosophische Grondslag itulah fundamen, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalamdalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.”  Menurut Armada Riyanto (2015), konsep-konsep filosofis tentang “jiwa bangsa”, “cita-cita bangsa”, “perasaan bangsa”, atau bahkan “filsafat bangsa” telah mulai menjadi pergulatan Bung Karno sejak tahun 1925/1926, meskipun yang disebut “bangsa” masih dalam imajinasi semata. Lebih lanjut Armada Riyanto menjelaskan bahwa secara mengagumkan Bung Karno menggali ingredients dari Philosophische Grondslag tersebut dari nilai-nilai budaya dan kearifan bangsa Indonesia sendiri. Kristalisasi dari ingredients inilah sila-sila dalam Pancasila. Dengan demikian, Pancasila menjadi identitas dan jati diri manusia Indonesia. 


Menggali jati diri bangsa Indonesia dalam Pancasila merupakan suatu aktivitas mereguk air dari sumber sendiri. Dikatakan sebagai sumber sendiri karena Pancasila digali dari kearifan lokal manusia Indonesia. Kearifan lokal ialah filsafat yang hidup di dalam hati masyarakat, berupa kebijaksanaan akan kehidupan, way of life, ritus-ritus adat, dan sejenisnya yang melukiskan kedalaman batin manusia dan keluasan relasionalitasnya dengan sesama, serta menegaskan keluhuran rasionalitas hidupnya (Riyanto, 2015). Maka tidak heran bila Bung Karno menyebut Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia.  


Apa artinya Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia? Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila lahir dari hidup seluruh manusia Indonesia yang berasal dari 300 kelompok etnis dan 1.300 suku dengan adat istiadatnya masing-masing di seluruh wilayah Indonesia. Pancasila bukan hanya milik orang Jawa atau Sumatra, tapi seluruh manusia Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote. Di bawah semboyan bhineka tunggal ika, Pancasila menjadi kearifan lokal bersama. Hal ini penting dalam menghadapi kemelut modernisme yang membawa krisis pada identitas diri. 


Baca: Dia milik-Mu, Bukan Aku (Puisi Vivinsia Daro)


Manusia Indonesia dipanggil untuk kembali ke dalam dirinya; historisitas, dasar hidup, way of life-nya, yakni Pancasila sebagai local wisdom asalinya. Oleh karena itu, setiap suku bangsa di Indonesia harus menyadari bahwa Pancasila merupakan produk lokal kebudayaan mereka yang disatukan. Hal tersebut dapat ditemukan dalam unsur-unsur yang membentuk kelima sila Pancasila.  


Sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” misalnya sudah terkandung dalam kepercayaan orang Manggarai Flores akan Mori Keraeng sebagai Wujud Tertinggi atau keyakinan masyarakat Batak Toba akan Mulajadi Na Bolon sebagai Sang Asal Mula Yang Mahabesar dan Petara atau Jubata dalam kepercayaan suku Dayak.  Jadi, sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sudah dihidupi oleh beragam suku bangsa di Nusantara jauh sebelum agama-agama dari luar masuk ke Indonesia. 


Hal yang sama juga tampak dalam penghayatan sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dalam filosofi urip iku mung mampir ngombe (hidup hanyalah sebuah persinggahan untuk minum) masyarakat Jawa Timur yang menyediakan kendi air di depan rumah sebagai wujud kemanusiaan terhadap sesama yang lewat. Sila “Persatuan Indonesia” dalam filosofi Tongkonan kebudayaan Toraja yang disimbolkan dengan rumah adat tempat mereka mengambil keputusan atau memecahkan persoalan. Sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” dalam kearifan lokal Triangtu atau Tilu Tangtu Masyarakat Sunda yang menjunjung nilai-nilai demokrasi. Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dalam konsep memayu hayuning buwono dalam kearifan Jawa yang memperhatikan keutuhan persatuan manusia dengan sesama, alam, dan Tuhan.  


Jadi, Pancasila merupakan jati diri bangsa Indonesia, yang digali dari kearifan lokal berbagai macam suku. Pancasila bukanlah ideologi impor negara asing, melainkan jiwa asli manusia Indonesia. Pemahaman ini harus dimengerti dengan baik oleh seluruh manusia Indonesia yang saat ini sedang kehilangan identitas dirinya akibat pengaruh buruk modernitas.  


Oleh karena itu, tidak ada cara lain yang dapat dilakukan selain menguatkan kembali identitas diri sebagai manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila. Namun berbeda dengan proses internalisasi sebelumnya yang berlangsung dalam kelas-kelas formal, pendidikan Pancasila juga harus dilaksanakan dalam keluarga atau kelompok budaya tertentu. Poin penting yang harus diperhatikan di sini ialah memperkenalkan generasi muda pada nilai-nilai kebudayaan lokal. Misalnya dengan mengadakan pentas budaya, mengikuti upacara-upacara kebudayaan lokal, penelitian, ataupun internalisasi langsung dalam keluarga. Hanya dengan cara ini, manusia Indonesia tetap merasa akrab dengan jati dirinya tanpa harus menolak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 





Oleh: Vincent Masut

Penulis adalah Mahasiswa STF Widya Sasana Malang, Jawa Timur

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pancasila sebagai Local Wisdom di Tengah Kemelut Modernitas

Trending Now

Iklan