Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Mitos “Orang Sakti, Kaki, dan Mego” dalam Perspektif Feminitas-Kosmologis Suku Sara, Ngada

Monday, April 4, 2022 | 21:07 WIB Last Updated 2022-04-04T14:07:38Z

 

Mitos “Orang Sakti, Kaki, dan Mego” dalam   Perspektif Feminitas-Kosmologis Suku Sara

Mitos “Orang Sakti, Kaki, dan Mego” dalam Perspektif Feminitas-Kosmologis Suku Sara, Ngada


Bumi ini merupakan warisan Mego yang senantiasa menjaga dan memelihara alam. 

Upaya menyelamatkan bumi kembali didengungkan setelah Pandemi Covid-19 merusak tatanan dunia. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium, pandemi ini rupanya dipicu oleh virus SARS-CoV-2 yang berasal dari kelelawar hutan. Fakta ini membuktikan bahwa kerakusan manusia modern untuk mengeksploitasi alam dengan semena-mena bisa menjadi pedang makan tuan. Praktik kapitalisme yang merambah hutan dan satwa liar secara masif dapat memberi kemungkinan akan penularan virus yang baru.

Baca: Kepala Desa Ruwuk, Bene Bir Beri Apresiasi Terkait Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 Tahap II  

Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, mengingatkan semua negara untuk mengatur ulang ekonominya dengan mempertimbangkan aksi-aksi proiklim. Tidak ada yang lebih penting dilakukan sekarang ini selain menangani krisis iklim seiring dengan mengatasi Pandemi Covid-19. Indonesia dengan hutan hujan tropis terbesar ketiga dunia bisa menjadi aktor utama mewujudkan visi pro-iklim ini. Dengan meratifikasi perjanjian Paris pada 2016 silam, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen secara swadaya hingga 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030 (Tempo, 2020).

Kesadaran akan urgensinya pemeliharaan lingkungan hidup sebenarnya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Jauh sebelum konferensi tingkat internasional berseru tentang aksi pro-iklim, masyarakat Indonesia sudah memiliki konsep-konsep kosmologis Salah satunya ialah mitologi “Orang Sakti, Kaki, dan Mego” dari Suku Sara, Ngada, Flores yang mengingatkan mereka akan tanah sebagai ibu yang memberi kehidupan (Dua, 2015).

Baca: Internalisasi Keutamaan dalam Aktus Dodo Masyarakat Manggarai

Dikisahkan bahwa Orang Sakti mempunyai dua orang anak yang bernama Kaki (laki-laki berumur 25 tahun) dan Mego (perempuan berumur 23 tahun). Pada suatu hari, sang ayah hendak meninggalkan bumi dan memercayakan segalanya kepada salah satu dari kedua orang anaknya. Syaratnya mereka harus menunjukkan kepada sang ayah cara memelihara bumi dengan menanam padi selama tujuh hari. Sebagai laki-laki, Kaki menerima persyaratan sang ayah dengan bangga karena merasa diri mampu mengolah tanah. Ia menebang pohon dan membajak tanah untuk dijadikan lahan pertanian. Sebaliknya, Mego merasa tidak sanggup menerima persyaratan tersebut karena waktunya terlalu singkat. Akhirnya, ia memutuskan untuk menanam padi di antara pohon-pohon tanpa harus merusak hutan. Ia percaya tanah sebagai pemberi kehidupan akan menumbuhkan padinya. 

Pada hari yang ditentukan, mereka hendak melaporkan hasil kerja mereka kepada sang ayah. Ternyata, sang ayah sudah meninggalkan bumi. Mego merasa aman karena masih memiliki tanah, padi, dan hutan sebagai sumber kehidupannya. Sebaliknya, Kaki hanya bisa bergantung pada Mego sebab tidak ada lagi yang tumbuh di atas tanahnya karena sepeninggal sang ayah, tidak ada lagi penciptaan baru (Dua, 2015). Demikianlah, tanah milik Mego menjadi sumber kehidupan di bumi.  

Mikhael Dua dalam artikel berjudul “Orang Sakti Itu Sudah Tiada: Diskusi Mengenai Cinta Tanah Air dan Lingkungan” menjelaskan kosmologi Suku Sara yang terdiri atas langit (dunia transenden yang tak terjangkau), dunia kehidupan manusia sehari-hari, dan dunia nenek moyang yang memiliki hubungan dengan dunia kehidupan manusia (Dua, 2015).  Berdasarkan mitos di atas, Kaki dan Mego merupakan nenek moyang Suku Sara yang dekat dengan manusia dan menjadi penghubung kepada dunia langit.  

Menurut mitos tersebut, Mego merepresentasikan manusia yang sangat menghargai tanah sebagai ibu yang melahirkan segala sesuatu. Tanah menjadi ibu yang senantiasa melahirkan dan merawat kehidupan. Sebaliknya, Kaki menggambarkan ciri manusia modern yang ambisius menguasai alam. Bagi mereka alam tidak lebih dari sumber ekonomi yang layak dieksploitasi demi kesejahteraan manusia. Padahal manusia tidak dapat berkuasa sepenuhnya atas alam, sebagaimana tokoh Kaki yang gagal dalam mitos Suku Sara.

Baca: Ingat! Perempuan, Bukan Barang Kepunyaan Laki-Laki (Feminisme)

Konsep feminitas-kosmologis di atas pada hemat saya memberi dasar bagi masyarakat Suku Sara dalam memandang alam semesta. Menurut kaca mata budaya mereka, bumi ini merupakan warisan Mego yang senantiasa menjaga dan memelihara alam. Sebagai ibu, tanah harus dijaga sehingga terus memberi kehidupan bagi segala sesuatu. Konsekuensi logisnya ialah segala macam bentuk tindakan yang merusak lingkungan hidup merupakan tindakan yang salah. Penebangan hutan, penambangan liar dan berbagai aktivitas destruktif lainnya tidak dapat dibenarkan. Manusia tidak memiliki hak mutlak atas tanah yang diinjaknya. Tumbuh-tumbuhan dan binatang juga mempunyai kebutuhan yang sama atas tanah.

Menurut pandangan biosentrisme, manusia hanyalah salah satu entitas di antara entitas yang lain di muka bumi sehingga maniscayakan suatu relasionalitas di antaranya. Dasarnya ialah semua organisme mempunyai tujuannya sendiri. Dengan demikian, manusia pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari organisme yang lain. Hal ini disimbolkan oleh Mego yang memilih menanam padi di antara pepohonan karena pohon juga mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri. 

Namun pada kenyataannya, ambisi manusia modern untuk mengeruk kekayaan alam sudah sangat sulit untuk dibendung lagi. Mengatasnamakan manusia sebagai entitas tertinggi, alam pun disubordinasikan pada nomor yang kesekian (Sardono, dkk, 2021). Di Indonesia, hal ini sungguh nyata dalam ratifikasi undang-undang yang mengaburkan prinsip pemeliharaan lingkuangan hidup. Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi indikasi kekeliruan arah yang dipilih pemerintah. Undang-undang sapu jagat alias omnibus law ini memudahkan konversi hutan untuk kepentingan industrialisasi. Pasal-pasal yang mengancam hutan itu jelas mengabaikan fakta bahwa deforestasi adalah penyumbang utama kerusakan bumi ini (Tempo, 2020). Pada tahun 2019 misalnya menjadi tahun terparah kerusakan lingkungan hidup akibat ulah manusia. Kebakaran hutan, penambangan liar, dan banjir terjadi di banyak tempat di wilayah Indonesia (Sardono, dkk, 2021).

Oleh karena itu, program ekonomi hijau yang dicanangkan oleh pemerintah harus direalisasikan dengan baik. Pengeksploitasian secara masif atas lingkungan hidup harus dihentikan karena dapat membawa dampak yang merugikan manusia. Dalam mitologi Suku Sara, hal tersebut disimbolkan oleh kerakusan Kaki yang menanam padi dengan mengabaikan kehidupan organisme yang lainnya. Di dunia nyata, Pandemi Covid-19 adalah contohnya. Penggundulan hutan memperbesar peluang interaksi manusia dengan hewan liar sehingga memungkinkan bagi virus zoonasi seperti SARS-CoV-2 melompat lintas spesies dan berbagai kuman kepada manusia (Tempo, 2020). 

Baca: Pemerintah Daerah Se-Sumba Segera Menetapkan Tanjung Sasar Sebagai Cagar Budaya Sumba

Akhirnya, tanah adalah ibu yang melahirkan, memelihara, dan menumbuhkan kehidupan. Alam hendaknya terus dipelihara dan dijaga agar tetap memberikan kehidupan kepada manusia. Tindakan Mego yang menanam padi di antara pepohonan tanpa harus merusak hutan memberikan beberapa nilai penting. Pertama, tanah sebagai ibu mempunyai cara tersendiri untuk memberi kehidupan kepada seluruh organisme yang ada di bumi. Kedua, selain manusia, bumi juga didiami oleh organisme lain sehingga harus saling memelihara. Ketiga, kerakusan manusia modern dalam mengeskploitasi alam hanya akan merusak dirinya, sebagaimana Kaki dalam mitologi Suku Sara dan Pandemi Covid-19 dalam kehidupan nyata. 


(Vincent Masut/BernasINDO)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mitos “Orang Sakti, Kaki, dan Mego” dalam Perspektif Feminitas-Kosmologis Suku Sara, Ngada

Trending Now

Iklan