Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Internalisasi Keutamaan dalam Aktus Dodo Masyarakat Manggarai

Saturday, April 2, 2022 | 16:06 WIB Last Updated 2022-04-02T10:21:49Z

 

Internalisasi Keutamaan dalam Aktus Dodo Masyarakat Manggarai   Internalisasi Keutamaan dalam Aktus Dodo Masyarakat Manggarai


Oleh: Martin Sandy*


  Internalisasi Keutamaan dalam Aktus Dodo Masyarakat Manggarai

Manusia dan kebudayaan berhubungan sangat erat. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Manusia di satu sisi menciptakan kebudayaan sebagai cara ia mengada atau bereksistensi di dunia. Sebaliknya, kebudayaan memanusiakan manusia. Karenanya, relasi budaya dan manusia tentu saja saling mempengaruhi.

Ernest Cassier menggarisbawahi suatu kesimpulan bahwa kebudayaan tidak bisa lain dari cara manusia mengada dalam dunianya. Manusia membungkus dirinya dengan berbagai corak atau berbagai fenomen kebudayaan seperti agama, bahasa, kebiasaan, ritus, sistem nilai, paradigma, sistem sosial, dan lain sebagainya. Berbagai fenomen ini tentu tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus diakui bahwa semua itu justru hasil karya dan karsa manusia yang telah dimaklumkan dan mengada sepanjang sejarah peradaban manusia.

Kebudayaan sebagai hasil karya manusia dengan segala bentuk dan sifat serta fungsinya merupakan ekspresi kehidupan dan perkembangan manusia. Semua manusia, baik sekarang maupun akan datang seturut kodratnya berkembang ke arah kemanusiaan yang lebih penuh dan sejati melalui dan dalam kebudayaan. Seturut perspektif ini, maka kebudayaan dari sendirinya memiliki potensi atau fungsi dalam usaha memanusiakan manusia. Fungsi ini dapat ditelusuri dalam berbagai wujud kebudayaan itu sendiri salah satunya dalam aktus kerja.

Dalam kebudayaan Manggarai dikenal suatu aktus kerja yang disebut dodo. Do artinya banyak, dodo (gabung) artinya banyak-banyak. Berdasarkan isi ungkapan, dodo merujuk pada aksi gotong royong. Penggunaan kata ini, selalu terkait dalam ranah pekerjaaan, yaitu sebagai model kerja yang dilakukan secara bergantian dalam semangat gotong royong.

Baca: Budaya Sebagai Patokan Kehidupan Masyarakat Manggarai

Misalnya, duat uma (kerja kebun), jika hari ini bekerja di kebun petani yang satu, maka esoknya akan bekerja di kebun petani yang lain. Karenanya, dalam dodo tidak berlaku hirarki hubungan buruh-majikan dan sistem upahan atau gaji. Prinsipnya, dodo bertujuan untuk meringankan beban pada seorang atau sekelompok orang dan mempererat tali persaudaraan.

Seperti telah dijelaskan bahwa fungsi kebudayaan adalah untuk memanusiakan manusia. Hal ini mengandaikan bahwa suatu wujud kebudayaan dalam hal ini (konteks penulis) aktus kerja, termaklum nilai-nilai yang mempengaruhi dan menunjang kehidupan manusia. Aktus dodo dalam kebudayaan Manggarai tidak hanya dipandang begitu saja sebagai perkejaan biasa.

Dalam aktus dodo, orang Manggarai justru menginternalisasi berbagai keutamaan dan nilai kehidupan. Keutamaan atau nilai-nilai apa saja yang diinternalisasi dari aktus dodo? Sebelum menjawabi pertanyaan ini, terlebih dahulu akan diterangkan konsep yang mengantar pada pengertian yang lebih dalam terkait aktus dodo.

Dodo bisa dikatakan sebagai suatu praksis. Praksis itu sendiri adalah tempat dan saat untuk merepresentasikan segala daya dan kesadaran yang dimiliki seseorang terhadap suatu karya. Seorang filsuf bernama Macintyre (1929) mengetengahkan bahwa praksis membuka lapangan bagi penerapan keutamaan-keutamaan. Dalam praksis itulah keutamaan-keutamaan menjadi bermakna. Keutamaan dipraktekkan untuk memperoleh kebaikan. Makna kebaikan justru teridentifikasi melalui pergumulan langsung individu dengan praktek yang bersangkutan dan dari efek luarannya seperti pujian, hadiah, hasil, dan lainnya.

Dodo sebagai suatu kultur karya dan kerja ialah salah satu bentuk praksis. Sebagai suatu praksis, dodo mewujudkan segala daya dan kesadaran seorang dalam bekerja. Dalam dodo itu, seorang pekerja dapat menghayati dan memaknai keutamaan luhur suatu pekerjaan yang dikenalinya dalam pergumulan dengan pekerjaannya. Dalam aktus dodo terkandung keutamaan atau nilai yang pada gilirannya diinternalisasi orang Manggarai. Menurut saya, ada dua keutamaan yang teridentifikasi dari praktik dodo.

Pertama, keutamaan transenden. Mentalitas orang Manggarai menyingkapkan bahwa kehidupan manusia tidak pernah terpisahkan dari penyelenggaraan yang Ilahi, yang disebut sebagai Mori agu Ngaran, Jari agu dedek. Dari-Nya asal muasal dan sebab musabab kehidupan di dunia ini. Berhadapan dengan Yang Ilahi itu, manusia diundang untuk mengucap syukur dan menyembah.

Dari pengertian ini,  bagi orang Manggarai kerja tidak pernah berarti “begitu saja,”sebaliknya kerja menjadi cara terbaik untuk ambil bagian dalam karya kreatif Yang Ilahi. Melalui dodo orang Manggarai menghayati keutamaan ini di mana mereka bekerja sama dengan Tuhan atau Mori agu Ngaran, Jari agu dedek untuk mengolah dan memelihara bumi. Dengan itu, mereka turut memuliakan Tuhan dan memberi sumbangan terhadap kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Baca: Pater Tuan Kopong MSF Menyoroti Pawang Hujan Mandalika Dan Wajah Asli Agama

Kedua, keutamaan persahabatan. Ikatan hidup kekerabatan orang Manggarai adalah lahan yang subur bagi persahabatan. Orang disebut sahabat dimengerti dari kehadirannya yang mendengarkan, menyapa, saling berdialog, saling membantu, dan bekerja sama. Dalam suasana demikian itu, orang mengalami kepenuhannya sebagai manusia.

Dalam kerja dodo, persahabatan justru menjadi stimulus yang melingkupi kesadaran dan tindakan orang Manggarai. Hal ini terungkap dalam aktus pra dodo, misalnya, dalam ritus lonto leok, dalam nada persahabatan membicarakan bersama segala sesuatu terkait pelaksanaan dodo. Selain itu, terungkap juga dalam pelaksanaannya yang bersifat manusiawi, karena orang Manggarai sadar bahwa yang bekerja ialah manusia-sahabatnya, sehingga selalu ada “momen” untuk beristirahat, makan bersama, dan berbagi cerita. Aspek penting dari relasi persahabatan ini ialah menggariskan suatu relasi intersujektif.

Baca: Mereguk Dari Sumber Sendiri: Pancasila sebagai Local Wisdom di Tengah Kemelut Modernitas

Dalam filsafat yang mengedepankan refleksi eksistensial hidup manusia, persahabatan itu suatu tindakan “penyeberangan”  diri sendiri kepada sesama yang lain secara terus-menerus. Armada Riyanto dalam bukunya Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas (2009) mengetengahkan penyeberangan ini bukan suatu bentuk peleburan atau penghilangan eksistensi sendiri, melainkan  justru pemenuhan diri sebagai manusia yang secara kodrati tidak mungkin hidup sendiri. Sederhananya, masyarakat Manggarai (pelaku dodo) menyadari bahwa rekan “kerjanya-sahabatnya” adalah manusia yang sepadan atau sederajat dengannya.

Demikianlah dodo menjadi seperti guru bagi orang Manggarai dalam belajar dan internalisasi nilai-nilai atau keutamaan. Melalui contoh kecil ini, saya dapat mengamini bahwa kebudayaan pada gilirannya berfungsi dalam memanusiakan manusia. Eksistensi manusia tentu saja dipengaruhi oleh berbagai fenomen yang berada di sekitarnya di mana fenomen-fenomen itu ialah kebudayaan itu sendiri.

Melalui dan dalam interaksi dengan berbagai fenomen kebudayaan manusia mengalami internalisasi berbagai meaningyang kemudian mempengaruhi aspek kognitif dan afektif serta menghantar manusia pada tranformasi diri menuju kepada kepenuhan hidupnya. Dodo a la masyarakat Manggarai telah membantu mereka dalam membentuk kerangka berpikir dan mentalitas dalam memandang dunia, alam, sesama, dan Tuhan.

 

*Penulis adalah mahasiswa STFT Widya Sasana Malang.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Internalisasi Keutamaan dalam Aktus Dodo Masyarakat Manggarai

Trending Now

Iklan