Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Perjumpaan Terakhir Di Bawah Pohon Ara

Thursday, May 26, 2022 | 21:18 WIB Last Updated 2022-05-26T14:31:00Z

 

Perjumpaan Terakhir Di Bawah Pohon AraPerjumpaan Terakhir Di Bawah Pohon Ara

Oleh: Dominikus Siong, SMM

 

Kulihat mata ara berkaca-kaca saat kulantunkan petikan dawai kecapi menitih mata hari. Begitu sederhananya kami membangun sebuah kecerian kecil di pelosok desa yang diparfumi aroma bunga kayu ara mengharmoni musim yang memanja kami anak-anak desa.

Aku adalah anak petani yang berpeluhkan abu-abu tanah bakar beraromakan keringat tanah hangus. Di suatu kesempatan aku kelilipan pesona seorang gadis desa yang tak pernah kujumpai selama bertahun-tahun bekerja di lahan karet ayahku, sebut saja namanya Ara. Rupanya yang memanja laksana senja memohon peluk, membuat aku sempat terkesima. Waktu pun cepat berlalu aku sudah sangat biasa melihat wajahnya di setiap kali aku berangkat kerja dengan topi sobekku di kepala juga celana yang seadanya. Entah kenapa dengan sekejap mata aku sampai tak mampu berkata-kata walau hanya melihatnya saja. Gejolak di dada tak terkira seperti bara api yang siap menghangus kayu-kayu kering di ladang ayahku. Puncaknya sampai pada aku mulai memberanikan diri menyapa si ara. “A, A, Ara!”, kataku menyapa dengan tergesa-gesa seraya gagap mengungkap kata. “Iya, bang!” katanya menjawab tanyaku padanya. Seketika itu aku diam tak berkata satu kata pun seperti bara api padam diguyur hujan.

Waktu pun berlalu, enam bulan sudah kami saling mengenal satu sama lain, meski dibangun atas dasar kata-kata yang terbata-bata namun lama-lama relasi semakin menggila sampai kami lupa bahwa aku dan dia berlatar belakang keluarga berbeda, dia anak orang kaya aku hanya seorang anak petani yang tak berpunya, kecuali seblok kebun karet, padi dan beberapa jagung tua di ladang. Namun kulihat mata ara berkaca-kaca saat kulantunkan petikan dawai kecapi menitih mata hari. Begitu sederhananya kami membangun sebuah kecerian kecil di pelosok desa yang diparfumi aroma bunga kayu ara mengharmoni musim yang memanja kami anak-anak desa. Kami tak punya waktu khusus berjumpa tetapi selalu ada musim yang memperjumpakan kami dengan sendirinya. Musim yang selalu kami nanti-nantikan adalah saat di mana bunga kayu ara mulai mekar dan menyebarkan aromanya di seluruh seantero desa kami tercinta.

Baca: Derita Sang Hamba Sebatang Kara

Pada musim itu kami biasanya bermain-main di bawah naungan kayu ara dengan guguran bunganya dari atas sisa-sisa burung enggang dara menyapih anak-anaknya. Kami tak tahu relasi apa yang tengah kami bangun, namun tak sedikit pun dari benak kami saling melukai, tetapi semuanya berjalan dengan begitu indahnya, namun aku tak pernah meninggalkan pekerjaanku di ladang.

Tibalah saatnya dimana ara mulai membicarakan sesuatu yang tak pernah kupikirkan. Dengan bercucuran air mata ia menghampiriku di musim yang berbeda di mana kayu ara menguning siap menggugurkan daunnya demi menyambut tunas-tunas baru di musim berikut. Dengan berat ia berkata: “bang, aku mau bercerita!”, “Iya aku siap mendengarkan”, jawabku padanya.

“Bang, kuharap nuan ndak kecewa dengan aku bah, aku sebetulnya berat mau mengatakan ini ke abang, tapi mau gimana agik, hal ini memang harus aku katakan, sebab kalau ndak aku katakan takutnya nuan salah sangka dan nuan sebelumnya udah tahu bahwa kita ini berbeda, namun bagiku itu bukan persoalannya, tetapi kata orangtuaku aku harus segera ke kota nuntut ilmu dan sekolah setinggi-tingginya biar masa depanku cerah. Orang tuaku ndak mempersoalkan aku dengan nuan bang, mereka setuju-setuju jak kalau aku dengan abang, soalnya abang orangnya rajin, baik dan suka menolong orang lain, tetapi orangtuaku bilang bahwa abang tidak akan cukup dengan itu saja tanpa sekolah lebih tinggi lagi, dunia ini semakin maju. Jadi, bang beberapa hari agik aku harus pergi Ke Jawa aku harus melanjutkan kuliahku di sana. Entah sampai kapan aku ndak tahu. Tapi abang harus ingat bahwa aku pasti ndak akan melupakan abang”.

Baik ara, kataku padanya seraya memahami maksudnya. Kalau boleh aku pun mau bercerita. Iya bang, sebelumnya terimakasih udah mau mendengarkan aku. Iya, ara aku sangat tersentuh dengan sharingmu itu. Aku juga berterimakasih karena nuan udah mau bercerita itu ke aku. “Iya bang”!.

Baca: Keunikan Waerebo DiTengah Kerusakan Ruas Jalan Pariwisata

“Ara, nuan tahu bahwa aku sebetulnya udah lama memahamimu dan bahkan saking sayangnya aku ke kamu di saat gugur daun-daun ara yang menguning pun kujadikan itu momen dimana aku mesti mampu menerima, kalau-kalau aku pun kelak menggugur dalam waktu dan musim yang semakin tak tentu. Aku anak seorang petani tahu apa artinya merawat padi, dan pada saat yang sama aku tahu apa rasanya ketika padi-padiku tidak memberi hasil melimpah di musim panen, namun demikian cintaku pada padi-padiku takkan pernah berubah sebab bagaimana pun hasil itu soal jumlah tetapi pemberian padi padaku adalah suatu ungkapan cinta yang hidup walau pun kadang-kadang harus mengalami kegagalan, namun padi tetaplah padi, begitu juga aku, aku tetaplah aku takkan mungkin menjadi kamu. Singkat cerita, Ara, nuan teruskan cita-citamu, entah apa yang terjadi setelah ini aku pun sepertinya akan pergi. Aku berharap kamu tidak perlu memikirkan aku, supaya kamu fokus dengan cita-citamu. Aku tak bermaksud skeptis dengan LDR, tetapi kedekatan akan mengalahkan seribu satu kata-kata bijak yang dilayangkan dari kejauhan. Untuk itu kita tidak perlu menangisi perpisahan, tetapi mari kita sama-sama menangisi diri sendiri yang sedang memastikan masa depan yang belum pasti. Aku harap kita tidak cukup sampai di sini melainkan dapat berjumpa di lain musim dalam aku kamu yang berbeda.

Iya bang, maaf jika aku agak mewek sedikit bang. Kata-kata abang banyak benarnya, kalau boleh aku lanjutkan. Aku sadar bang aku juga makhluk fana, dengan sekejap mata aku akan lenyap seketika, meskipun banyak mantra yang mungkin menawan mata, tetapi tidak bertahan di hadapan masa. Aku pun merasa kayu ara ini, tempat di mana kita tidak pernah saling melukai pun akan hilang lenyap, dalam bayanganku burung-burung Enggang akan kehilangan sarang, yang betina akan menjanda yang jantan akan menduda, anak-anak mereka akan meyatimpiatu sebab kayu-kayu ara ini akan diganti dengan palma yang membuta mata manusia haus kaya, bahkan aroma bunganya yang selama ini mengaroma badan kita akan berubah menjadi zat kimia. Maafkan jika dugaan itu berlebihan untuk itulah ayahku membuka wawasanku ke luar sana, sebab bagaimana pun dunia ini bukan milik kita tetapi milik orang kaya baik dari dalam sini mau pun dari luar sana. Bang, apa pun jadinya kita nanti, abang harus ingat bahwa kita pernah mengenal musim-musim yang indah di desa kita. Aku bersyukur bisa banyak belajar menghargai setiap titik-titik harum semerbak bunga kayu ara”. Bang, ingat aku ya!

Baca: Menjelang HariLingkungan Hidup Sedunia, WALHI NTT lakukan Roadshow media di Kota Kupang

Semenjak perbincangan bermakna itu kami utarakan, pada saat itu juga kami memutuskan untuk bepergian namun ke tempat yang berbeda.

Hari-hari berlalu, minggu-minggu pun bergulir bahkan bulan-bulan pun menahun. Tibalah suatu ketika dimana aku mengikuti webinar online via Zoom, sebab masa itu wabah virus corona masih melanda seluruh dunia. Ada pun tema webinar itu tentang “Tangisan Alam memanggilmu” yang dibawakan oleh seorang Profesor filsafat di sebuah Perguruan Tinggi di Malang, sebut saja Armada. Dalam ulasannya ada satu frasa yang mengingatkan aku akan sebuah pengalaman di masa lalu yang mengantar aku pada satu titik di mana aku bisa menjadi orang yang berani melepaskan apa yang sebetulnya berharga dalam hidupku. Frasa itu berbunyi “alam menangis karena relasionalitas ciptaan tak lagi harmonis”.

Sepuluh tahun kembali kukenang di mana aku pernah mengenal seorang gadis kaya di desa kala itu. Lalu aku bergegas mengambil androidku (handphone) dan searching di media sosial mencari nama gadis itu yakni Ara. Lewat Facebook, kutemukan akunnya, untuk memastikan bahwa itu dia kulihat-lihat postingan dan profilnya. Meskipun sudah jauh berbeda, akan tetapi ada garis-garis senyumnya yang memudahkan aku tahu itu dia. Lalu kuinbox dia, kebetulan fbnya aktif. Hallo! sapaku dari kejauhan, Betul ini dengan Ara? Beberapa waktu kemudian saya melihat peringatan “sedang mengetik”, tanda bahwa dia sedang menulis sesuatu. Tak lama kemudian satu pesan masuk, bergegas aku mebukannya dan tulisnya di sana: “hai, hallo juga, iya betul ini dengan Ara. Tanya ara kembali, maaf ini dengan siapa ya? Aku sedikit terdiam, ternyata sepuluh tahun itu sangat cukup untuk melupakan kenangan di masa lalu. Atau mungkin dia sibuk dan tidak mengecek terlebih dahulu profil saya. Lalu aku menjawab: “o iya ini dengan aku ‘si anak petani’ dulu yang pernah bermain-main denganmu di bawah kayu ara tu bah, ingat ndak?” Jawabnya: oaawalaah abang ya? Iya aku. Bagaimana kabarnya sekarang bang? Seraya bertanya, aku baik-baik aja Ra. Kalau Ara apa kabar? Ara: aku baik-baik juga di sini, o iya bang, abang di mana sekarang? Dan kuliah atau apa ni? Kalau aku di Malang, iya aku sedang melanjutkan S2 di sini, kalau nuan di mana sekarang? Sejenak percakapan berhenti beberapa menit.

Kurang lebih 30 menit aku menunggu jawaban, bahkan sampai 1 jam. Namun pertanyaan itu tidak dijawab. Aku kembali ke materi webinar sambil menunggu jawaban darinya, akan tetapi belum juga muncul pemberitahuan.  Tiba saatnya dimana webinar tersebut selesai dan saya pun harus kembali ke kamar untuk persiapan makan malam. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.15 WIB, tanpa bermaksud menunggu jawaban atas pertanyaanku dari Ara sebelumnya, lalu aku membuka Fb dan kulihat di messenger memiliki 5 buah pesan, salah satunya dari Ara. Aku langsung menuju pada pesan dari Ara, ternyata oh ternyata rupanya sama seperti ketika dia hendak pergi dari desa menuntut ilmu ke jawa, dia rupanya menuliskan curhatannya selama sepuluh tahun dalam sebuah tulisan setidaknya 6 halaman. Lalu file itu aku buka isinya kurang lebih demikian:

“Bang maaf jika aku seharian ini tidak membalas inbox abang, tapi aku rasa terlalu penuh memori abang kalau aku ketik di messenger baiklah aku tuliskan di kertas digital ini:

Bang, semenjak aku pisah dari abang aku merasa ada sesuatu yang hilang dari diriku itu bukan cinta dan juga bukan nafsu lelaki dan atau perempuan, tetapi sesuatu itu yang tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Bang, abang harus tahu bahwa aku sudah kehilangan ayahku, dia meninggal ketika aku baru semester tiga kurang lebih delapan tahun yang lalu. Jadi, ada dua hal penting dalam hidupku yang telah hilang dari dalam diriku yang pertama, abang dan yang kedua adalah papaku. Di samping itu semua aku sudah kehilangan dirikusendiri, sebab aku terlena dengan kekayaan orang tuaku dan pada saat aku tengah berjuang kuliah tiba-tiba ayahku meninggal karena kecelakaan tunggal papaku meninggal di TKP, sejak saat itu aku harus bertanggung jawab atas hutang ayahku akhirnya aku dijodohkan dengan seorang kaya dari negeri tetangga yakni Malaysia, aku dengan terpaksa mengiyakan hal itu, hingga kini aku sungguh menderita, ini bukan bermaksud untuk menggoda bang, Cuma aku menganggap abang sebagai abangku sendiri yang sejak semula tidak pernah culas terhadap aku. Iya, aku sungguh menderita, mengapa tidak, sebab semenjak aku menjadi bagian dari keluarga investor kaya itu aku dipaksan untuk menjual semua lahan milik bapakku dan abang tahu semua itu bahwa bapak selama hidupnya tidak pernah mau membabat hutan rimba miliknya ribuan haektar itu, sebab baginya lebih baik makan singkong rebus dari pada makan enak-enak tetapi alam rusak.  Namun dengan terpaksa lagi-lagi aku iyakan suruhan suamiku, aku sungguh menyesal sebab sekarang aku sudah tidak dihiraukannya lagi, dia sekarang sudah memiliki isteri baru dan semua harta milik kami dia klaim semua bahkan harta benda peninggalan ayahku. Abang mungkin belum pulang, coba abang lihat, hutan kayu ara di desa kita benar-benar sudah tidak ada lagi, aku sungguh tertekan dengan semua ini, sebab apa yang ayah katakan ke padaku dulu benar bahwa “ara-ara ini akan menghilang digantikan dengan hutan palma”.

Baca: Peringatan HariLingkungan Hidup Sedunia, WALHI NTT Lakukan Beberapa Rangkaian Kegiatan di KotaKupang

Aku enggak tahu harus gimana lagi bang, aku di sini dengan seorang anakku baru berusia 5 tahun hasil perkawinanku dengan investor itu berjuang melawan kerasnya hidup. Aku sungguh dicemari, tak ada lagi rupaku yang dulu, semua semacam berubah seketika. Bahkan adat dan budaya serta agamaku berakhir di atas perkawinan tidak sah di atas kertas. Nyata sudah neraka di dalam dunia kita, aku baru-baru ini mendapat informasi bahwa perkebunan sawit akan melangit di masa ini, tambah lagi rencana IKN akan dipindahkan ke Pulau Dayak. Itu baik juga untuk kebaikan anak cucu kita, namun riskan untuk enggang-enggang liar yang dulu berjaya di alam kita. Aku katakan bang “aku telah mati, ara telah mati, ara akan mengabadi kembali ke forma-ilahi”.

Cukup sekian tulisan ini kubuat demi kamu yang akan melanjutkan hidup dengan caramu, aku telah gagal menjaga ara-mu dan enggang-enggang itu, aku tak berharap abang bisa lebih baik dariku, setidaknya aku pernah tahu abang mampu mengubah hidup ini menjadi baru. Kini aku dan anakku sebentar lagi akan mati sebab corona Umicron telah menggerogoti aku dan anakku, kami saat ini di ruang Isolasi darurat no kamar 1072009. Bang, bawa kami dalam doa-doa suci abang, agar kelak kita bisa berjumpa di taman surga di mana ara-ara abadi membungai hari-hari abadi kita di surga nanti dan burung-burung enggang itu berkisah tentang kita selama di desa itu.

Tulisan itu tidak aku jawab, namun satu pelajaran berarti yang kupetik bahwa cinta itu tidaklah hilang namun hanyalah diubah.

 

Malang, Selasa, 24 Mei 2022

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Perjumpaan Terakhir Di Bawah Pohon Ara

Trending Now

Iklan