Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Derita Sang Hamba Sebatang Kara

Tuesday, May 24, 2022 | 14:21 WIB Last Updated 2022-05-24T07:42:23Z
Derita Sang Hamba Sebatang Kara
Derita Sang Hamba Sebatang Kara


Rumahnya cukup jauh dengan tempat dia bekerja, sehingga harus bagun pagi setiap hari untuk membantu ibunya sebelum berangkat ke tempat kerja.

Namanya Ina, yang merupakan gadis desa dengan cita-cita yang besar tetapi dipatahkan oleh ekonomi yang sulit, sehingga harus putus sekolah karena keluarga yang kurang mampu untuk membiayai pendidikannya. 

Baca: Kepada Wanitaku, Malam, Kamu dan Secangkir Kopi, Teruntuk kamu (Antologi Puisi Ronaldus Sudirman)

Bagi Ina harta yang paling berharga adalah keluarga, karena dia hanya memiliki seorang ibu.

Ina yang ditinggal pergi oleh ayahnya waktu dia berumur 5 tahun, yang kini hanya tinggal berdua dengan ibunya. 

Ina yang merupakan gadis lugu, sudah terbiasa hidup mandiri dan menjadi tulang punggung bagi keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pagi itu dia bangun tidak seperti biasanya. Badannya terasa lelah dengan bola matanya yang masih samar-samar, menatap pada jendela kamar yang bersinarkan cahaya, membuatnya terkejut dan segera beranjak dari kamar tidurnya.

“Oh Tuhan, nampaknya aku bangun terlambat”. Ujarnya dengan keadaan panik.

Hari itu dia terpaksa harus meninggalkan aktivitas seperti biasa dia lakukan, yaitu membantu ibunya memasak dan menyiapkan makanan untuk dimakan ibunya sebelum berangkat kerja. Karena takut dan khawatir dimarahi oleh atasanya dia pun pergi tanpa pamit kepada ibunya.

 Pada hari itu atasan Ina berencana menyampaikan kabar gembira, bahwa dia diangkat menjadi asisten pribadi, karena sudah lama bekerja di Kantor itu. Akan tetapi, hari itu yang sebenarnya menjadi kabar gembira buatnya berubah menjadi kabar buruk. Di mana atasan Ina berubah pikiran, karena hari itu Ina terlambat masuk kerja serta tidak menyampaikan alasan yang jelas. 

Baca: Hati Menjerit Bersama Lirik, Rindu Tertua, Mentari Dari Timur Kota, Rindu Mereka Yang Dulu (Kumpulan Puisi Venansius Alfando Satrio)

"Sudah lama kamu bekerja di sini. Aku tidak menemukan sedikitpun hal yang fatal kau lakukan di Kantor ini. Semuanya baik, sesuai dengan prosedurnya.Tapi mengapa hari ini kau sia-siakan semuanya?” Ujar atasan dengan membelakangi Ina.

"Maaf pak. Saya telah melakukan kesalahan hari ini. Saya janji tidak akan mengulanginya kembali". Ungkapan rasa bersalahnya kepada atasan dengan menundukkan kepalanya sambil memohon.

"Semuanya sudah terlambat. Hari ini saya berencana untuk mengangkat kamu menjadi asisten pribadiku, tapi awal yang baik buatmu hari ini kau sia-siakan. Bagaimana saya bisa mempercayaimu?” Sebelum menjadi asisten saja kau terlambat". Ujar atasan sambil menatapnya dengan kecewa.

"Sekali lagi saya minta maaf pak, saya berjanji tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Beri saya kesempatan pak". Memohon kepada atasannya untuk memaafkan kesalahan yang ia lakukan dan berharap atasan tetap mengangkatnya untuk menjadi asisten pribadi."

"Sudahlah saya memaafkan kamu, tapi saya tidak bisa mengangkat kamu untuk menjadi asisten pribadiku. Silahkan kembali bekerja!" Menyuruh Ina untuk kembali melakukan pekerjaannya.

Hari itupun Ina kembali bekerja seperti biasanya, yakni tetap menjadi pegawai biasa. Dia sedikit kecewa, karena atasannya berubah pikiran. Akan tetapi, dia harus menerima keputusan dari atasanya itu.

"Sudahlah, mungkin belum rejekinya". Dalam hati Ina berujar, sambil melakukan pekerjaannya. 

Hari sudah nampak sore, saatnya Ina harus kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, situasi nampaknya sepi. 

"Bu…bu…bu". Suara Ina memanggil ibunya berkali-kali dari ruangan tamu.

Tidak ada suara yang seperti biasa ibunya menjawab, ketika dia panggil pada saat pulang kerja.

Ina sadar, kalau tadi pagi dia pergi tanpa pamit dan tidak menyiapkan makanan untuk ibunya. Dia pun segera bergegas dari ruang tamu menuju ke kamar ibunya dengan sedikit panik.

Sesampainya di kamar, dia terkejut karena melihat ibunya hanya berbaring dan tidak menjawab ketika dia meanggil ibunya.

"Bu…bu…bu". Sambil memeluk dan memegang tangan ibunya.

Dia sangat panik dan ketakutan, menggerakkan tubuh ibunya dan memanggil sambil berteriak dengan suaranya yang keras.

Beberapa saat kemudian tetangga pun datang ke rumah Ina, karena mendengar suaranya yang keras memanggil ibunya.

"Ada apa dengan Ibumu nak?" Tanya bu Siti dan tetangga yang lainnya.

Baca: Mata Air Waekelambu, Jangan Mundur, Hardiknas, Berdamai, Tunggang-langgang Jalan Wetik Wol Rejing (Karya Fransiskus Ndejeng)

"Bantu saya bu, ibuku tidak menjawabku". Ujar Ina pada ibu Siti dengan tetangga yang lainnya.

Ibu siti pun memegang denyut nadinya dengan penuh hati-hati.

"Ada apa dengan ibu saya bu?" Tanya Ina kepada bu siti sambil meneteskan air mata.

"Nak, ibu kamu sudah tidak ada lagi". Menatap ke arah Ina dengan sedih.

"Maksudnya bu? Jangan mengada-ada bu". Sambil menangis memeluk ibunya.

"Ibumu sudah meninggal nak." Memegang bahu Ina sambil menangis, karena tidak tega melihat Ina ditinggal pergi oleh ibunya.

"Tidak bu, ibuku hanya tertidur". Menangis dan berteriak setelah mengetahui kalau ibunya sudah meninggal.

"Maafkan Ina bu, Ini semua salah Ina. Kenapa ibu tinggalkan Ina sendiri. Ina sudah tidak punya siapa-siapa lagi bu. Bangun bu, bangun!" Memeluk ibunya dengan tangisannya yang sedih.

Hari sudah nampak sore, ibunya pun dimakamkan dekat pemakaman ayahnya. 

Hati Ina seperti tertusuk tombak, karena dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

Suasana rumah berubah seketika dia rasakan. Dia harus menerima semuanya, walaupun itu berat untuk dia rasakan.

Kini Ina harus menjalankan semuanya dengan sendiri, karena dia telah kehilangan orang yang dia sayangi.

Keesokan harinya, dia bangun dan menatap pada ranjang, di mana seperti biasa dia lakukan sebelum menuju ke dapur, menyiapkan makanan untuk dimakan oleh ibunya, sebelum berangkat kerja.

Hatinya kembali sedih, seperti tertusuk tombak. Dia pun memutuskan untuk tidak pergi bekerja hari itu. Dia hanya bisa menangis seharian dan berkunjung ke pemakaman ibuunya.

Beberapa minggu kemudian, dia mendapatkan surat dari kantor, bahwa dia dipecat oleh atasan karena satu minggu tidak pernah masuk Kantor. 

Bagi dia pekerjaan tidak ada gunanya lagi, karena dia menyesal ibunya meninggal karena kelalaiannya.

“Andai waktu itu saya bangun tidak terlambat, pasti saya tidak kehilangan ibu”. Dalam hatinya berujar, sambil menangis.

Satu bulan kemudian, Ina merasa jenuh karena dia tinggal di rumah itu sendirian, tanpa ibunya yang biasa menemaninya dan bercerita setiap malam sebelum tidur.

Ina sudah terbiasa sendiri tanpa ada seorang pun yang menemani hidupnya. Dia telah kehilangan seorang ibu, serta pekerjaan.

Hari itu dia memutuskan untuk mencari pekerjaan lagi, demi sebuah nasib. Akan tetapi, seharian usahanya sia-sia. Tidak ada satupun yang menerimanya untuk bekerja.

Hampir seminggu dia mencari pekerjaan, tetapi hasilnya sama saja, yakni tidak ada satupun yang menerimanya untuk bekerja.

Pada saat itu pula, tergeraklah hati dan pikirannya untuk kembali melamar di tempat lama dia bekerja.

Sesampainya di Kantor itu, dia diterima lagi untuk bekerja. Dia pun senang, karena akihrnya dia mendapatkan kembali pekerjaanya itu.

Atasannya meminta Ina, agar tidak lalai lagi dalam pekerjaanya itu dan meminta Ina untuk menjelaskan, mengapa dia tidak ke Kantor selama satu minggu, tanpa adanya pemberitahuan.

Dia pun menjelaskan semuanya kepada atasan. Setelah atasan mendengar semua penjelasan dari Ina, atasan meminta maaf kepada Ina atas keputusan yang telah mereka keluarkan.

“Mina maaf ya Na, saya sebagai atasan menyampaikan belasungkawa atas kepergian ibumu”. Sambil melihat ke arah Ina.

“Tidak apa-apa Pak. Terima kasih, karena telah menerima saya untuk kembali bekerja di Kantor ini”

Akhirnya percakapan antara keduanya usai, Ina pun kembali ke rumah.

Keesokan harinya, Ina bangun dengan semangatnya yang bergelora untuk memulai hari barunya. Sesampainya di Kantor, atasannya memanggil Ina untuk menghadap. 

Dia terkejut dan senang, karena atasannya meminta dia untuk menjadi asisten pribadinya.

Benar yang dia katakan dulu "mungkin belum rejekinya". Tibalah waktunya, harapannya yang dulu telah terwujud.

Dia berjanji pada dirinya, untuk tidak lalai dengan pekerjaannya itu dan berusaha untuk menjadi pribadi yang baik, walaupun hanya hidup sebatang kara. 


Oleh: Venansius Alfando Satrio

Mahasiswa Unika St.Paulus Ruteng

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Derita Sang Hamba Sebatang Kara

Trending Now

Iklan