Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

"Hanya Menunda"?: Kesadaran Telat Rezim yang Panik

Monday, August 8, 2022 | 15:06 WIB Last Updated 2023-02-09T07:56:12Z
"Hanya Menunda"?: Kesadaran Telat Rezim yang Panik
 "Hanya Menunda"?: Kesadaran Telat Rezim yang Panik



Berhadapan dengan 'gelombang resistensi' masyarakat sipil terkait kebijakan menaikan tiket masuk (entrance fee) ke Pulau Komodo dan Pulau Padar, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT memperlihatkan raut kuasa yang tak gentar. Alih-alih meninjau kembali kebijakan itu, justru Pemprov tetap 'ngotot' dan tidak peduli dengan gerakan protes tersebut.


Baca: Mengais "Serpihan Filsafat" pada Sepotong Senja


Meski kebijakan itu, tidak ditopang dengan basis regulasi yang kokoh, Pemprov tetap bertahan pada posisi awal. Menaikan harga tiket ke Komodo, Padar dan beberapa spot wista di sekitarnya seakan-akan menjadi 'opsi efektif yang bersifat absolut' terhadap keberhasilan skema implementasi proyek konservasi terhadap reptil purba (Komodo). Gemuruh suara protes publik tak diindahkan. Pemprov merasa diri sebagai 'pemilik dan pelaksana kebenaran tunggal' ketika berbicara soal masa depan konservasi dan binis pariwisata di Komodo, Padar dan sekitarnya.


Tidak hanya sampai di situ. Pemerintah merasa perlu 'mengerahkan aparat' untuk mengamankan aksi para demonstran yang berlangsung secara kolosal dan massif di Labuan Bajo. Tidak tanggung-tanggung, terhadap aksi unjukrasa dan rencana 'pemboikotan' pelayanan jasa wisata di Labuan Bajo dan sekitarnya, negara dengan cepat membaptis kondisi tersebut dengan sebutan 'Siaga Satu'. 


Status siaga satu itu, seolah-olah memberi kesan kuat bahwa Labuan Bajo sedang dalam situasi berbahaya, darurat kekerasan sipil yang dijadikan basis justifikasi bagi aparat untuk melakukan tindakan represif kepada para demonstran. Padahal, aksi unjuk-rasa itu, sebetulnya masih dalam derajat yang wajar. Kita tidak melihat atau membaca kabar soal aksi destruktif dan anarkis yang dilakukan para demonstran dalam aksi tersebut. 


Baca: Jangan Katakan "Aku Tidak Pandai Bicara" (Refleksi Misa Perutusan Cakades)


Namun, setelah situasi kota Labuan Bajo kembali 'normal, aman, nyaman, dan terkendali', tiba-tiba, Pemprov NTT 'berubah sikap'. Tekanan dari publik sudah tidak terlihat lagi. Logisnya, ketika tidak ada lagi suara protes, semestinya Pemprov 'semakin percaya diri' untuk memberlakukan kebijakan menaikan tarif masuk ke Pulau Komodo dan Pulau Padar, dari 200 ribu menjadi 3,75 juta per individu per tahun yang mulai berlaku 1 Agustus 2022 itu. 


Tetapi, Hari ini, Senin (8/8/2022) kita mendengar kabar yang cukup mengejutkan. Raut kuasa yang angkuh dan sangker itu, tiba-tiba tampil agak lunak. Perubahan sikap itu, disampaikan secara gamblang oleh Kepala Dinas Pariwisata Provinsi NTT, Zet Sony Libing. Istilah yang dipakai adalah pemberian dispensasi sesuai harga awal sampai tanggal 31 Desember 2022. Artinya, Pemprov hanya 'menunda pemberlakuan' dari kebijakan menaikan tarif itu.


Sony menegaskan bahwa pemberian dispensasi itu diambil berdasarkan arahan teknis dari bapak presiden dan bapak Gubernut NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Tidak dijelaskan secara rinci 'materi arahan teknis' dari Presiden dan Gubernur itu. Pun, kita tidak tahu apa alasan utama sehingga presiden dan gubernur mengeluarkan 'arahan teknis' terkait pemberlakukan kebijakan naiknya harga tiket ke Komodo dan Padar.


Lebih lanjut, menurut Sony untuk mengisi waktu 5 bulan ke depan, Pemprov akan melakukan sosialisasi dan dialog dengan berbagai kalangan di Labuan Bajo. Ini aneh. Sebelumnya, Pemprov berdalih bahwa upaya sosialisasi dan dialog itu sudah dilakukan. Bahkan, hasil riset dari para ahli soal 'status kerentanan biawak Komodo ke kondisi kepunahan' juga sudah diprensentasikan yang dijadikan dasar untuk 'segera' memberlakukan kebijakan menaikan harga tiket itu. 


Sebetulnya, sudah berkali-kali para aktivis berteriak agar kebijakan itu ditinjau lagi. Para pelaku wisata di Labuan Bajo secara konsisten mendesak Pemprov untuk melakukan sosialiasi dan diskusi yang matang dengan para pemangku kepentingan di Mabar. Namun, sayangnya suara para aktivis itu tidak direspons dengan baik.


Tetapi, entah mengapa, pernyataan bela diri semacam itu, tidak lagi dipakai oleh Kadis Pariwisata Propinsi ini. Alih-alih bela diri, justru Pemprov terlihat agak 'rendah hati' dan mulai mendengar pandangan alternatif dari pihak lain.


Kebijakan dispensasi dan penundaan ini, demikian Sony diambil berdasarkan masukan dari para tokoh agama dan masyarakat. Kita tidak tahu siapa-siapa dari kalangan 'tokoh agma dan tokoh mnasyarakat' yang memberikan saran atau masukan ke pihak Pemprov. Pun, publik tidak tahu pasti perihal 'isi saran atau opini' dari para tokoh itu sehingga langsung dijadikan acuan bagi Pemprov dalam 'menunda' pelaksanaan kebijakan itu.


Kalau mau jujur, jauh sebelum 'tokoh agama dan tokoh masyarakat' itu bersuara, para aktivis di Labuan Bajo yang umumnya berkarya dalam bidang pariwisata sudah sangat konsisten dan telaten memberikan catatan kritis sekaligus meminta Pemprov untuk membuat kajian yang lebih komprehensif sebelum kebijakan itu diimplementasikan. Tetapi, sekali lagi, suara para aktivis itu, menguap begitu saja dalam ruang kekuasaan.


Perubahan sikap soal pemberlakukan kebijakan 'kenaikan harga tiket' ini, menunjukkan bahwa rezim ini 'sadar telat' perihal dampak buruk sebuah kebijakan. Pemberlakuan kebijkan itu (mulai 1 Agustus kemarin) mengindikasikan bahwa rezim ini 'terlalu gegabah' dan hanya dilatari oleh nafsu memburu untung dalam mendesain dan mengekesekusi sebuah kebijakan publik. 


Sebuah kebijakan yang tidak matang atau prematur, ketika dipaksakan untuk diterapkan, sudah pasti menuai kontroversi. Itulah yang terjadi dengan kebijakan Pemprov soal kenaikan tarif masuk Taman Nasional Komodo (TNK) khususnya di Pulau Padar dan Pulau Komodo. Publik 'terpaksa' atau lebih tepat dipaksa mengikuti sebuah kebijakan yang prematur atau tidak matang tersebut. Akibatnya adalah suara protes melengking dan menderu di seluruh penjuru Kabupaten ini.


Ketika tokoh agama dan tokoh masyarakat bersauara, rezim ini mulai 'panik(?). Pemrov yang sebelumnya tampil sangat 'garang' dan konsisten, kali ini, harus berubah. Untuk sementara kebijakan itu tidak berlaku. Perubahan harga tiket masuk ke Komodo dan Padar akan berlaku secara resmi pada 1 Januari 2023.


Apakah perubahan sikap ini hanya sekdar untuk 'menenangkan suasana' dan memberikan semacam kepuasaan sesaat bagi kelompok yang tidak setuju dengan kebijakan itu? Pasalnya, Pemprov sebetulnya tidak menjawab akar soal mengapa publik keberatan dengan kebijakan itu, tetapi hanya untuk memberikan penghiburan psikologis.



Oleh: Sil Joni*

*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Hanya Menunda"?: Kesadaran Telat Rezim yang Panik

Trending Now

Iklan