Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Pendapat Sil Joni Terkait "Kultur Literasi dan AKM"

Suara BulirBERNAS
Tuesday, September 6, 2022 | 16:55 WIB Last Updated 2023-02-08T08:09:36Z

 

Pendapat Sil Joni Terkait "Kultur Literasi dan AKM"
Pendapat Sil Joni Terkait "Kultur Literasi dan AKM"


Oleh: Sil Joni*


Ketika mengikuti pelatihan penyusunan soal berstandar Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) di SMK Stella Maris, seorang teman guru bergumam secara spontan. "Ternyata, budaya baca-tulis (literasi) sangat penting. Mulai sekarang, saya harus paksa diri untuk berlatih membaca dan menulis", ungkapnya dengan nada optimis.


Beliau sadar bahwa penyusunan soa-soal berstandar AKM mengandaikan kemampuan literasi dari para guru. Betapa tidak. Hampir semua bentuk soal itu, dikemas dalam bentuk narasi sebagai stimuli. Soal AKM yang berbobot, tentu mencerminkan seberapa jauh budaya literasi terintenalisasi dalam diri para guru.


Suka tidak suka, dalam AKM guru memang dituntut untuk menyusun atau merumuskan soal yang bisa meransang peningkatan kompetensi dasar siswa dalam bidang literasi dan numerasi.


Baca: Tiga Batu Tungku "Kurikulum Merdeka"


Karena itu, ucapan teman di atas menjadi momentum titik balik bagi guru untuk kembali secara serius menggumuli aktivitas literasi, baik di sekolah maupun di rumah.


Sejak tahun 2021, model evaluasi dalam bentuk Ujian Nasional (UN) tidak diterapkan lagi. Sebagai gantinya, Kementerian Pendidikan dan kebuadayaan (Kemedikbud) memperkenalkan 3 instrumen baru, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan. Pergantian itu tentu saja membawa efek tersendiri. Anggota komunitas pada tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan menengah, masih belum akrab dengan pola asesmen yang baru itu.


Tidak heran, jika dalam kenyataannya masih ada guru dan peserta didik yang mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan model evaluasi yang baru itu. Memang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sudah menjelaskan bahwa perubahan mendasar pada Asesmen Nasional tidak lagi menyangkut pengevaluasian capaian peserta didik secara individu, akan tetap mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan secara holistik berupa input, proses, dan hasil.


Baca: "Para Filsuf Agama" dalam MGMP Agama Katolik


Tetapi, penjelasan ringkas ini tidak selalu mudah untuk diterapkan. Kita masih menemukan semacam ‘salah paham’ terkait dengan Asemen Kompetensi Minimal (AKM) bidang literasi dan numerasi ketika dibandingkan dengan Ujian Nasional (UN). Ada yang secara latah mengira bahwa AKM itu identik dengan UN. Selain itu, ada juga yang menilai bahwa AKM literasi sama dengan UN Bahasa Indonesia dan AKM Numerasi identik dengan UN Matematika.


Seperti biasa, argumentasi peningkatan ‘kualitas pendidikan’ dikredit oleh pihak Kementerian dalam menjustikasi kebijakan pergantian itu. Mendikbud mengharapkan perubahan standar kelulusan dari Ujian Nasional menjadi Asesmen Nasional bisa mendorong perbaikan mutu pembelajaran dan hasil belajar peserta didik di Indonesia. AKM literasi dan numerasi dilihat sebagai instrumen strategis dalam menggenjot mutu pendidikan itu.


AKM: Bukan ‘Ujian Kecerdasan’ Mata Pelajaran Tertentu


Makna AKM lebih luas dan dalam dari sekedar ‘evaluasi kecerdasan siswa’ dalam mata pelajaran tertentu. AKM tidak berurusan langsung dengan satu mata pelajaran, tetapi bersifat integratif dan lintas mata pelajaran. Itu berarti apa pun mata pelajarannya, para siswa diharapkan memiliki kompetesi dalam bidang literasi dan numerasi. Kemampuan membaca dan berpikir logis-matematis itu merupakan kompetensi minimal yang ‘semestinya’ dikuasai oleh semua peserta didik.


Asesmen Nasional adalah program penilaian terhadap mutu setiap sekolah dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah. Mutu satuan pendidikan dinilai berdasarkan hasil belajar murid yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran. Informasi-informasi tersebut diperoleh dari tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.


Jadi, AKM itu tidak berbasis mapel (mata pelajaran). Jangan sampai guru menanyakan spektrum kompetensi dasar dari Mapel tertentu atau kisi-kisi soal AKM untuk setiap mapel. Mengapa? AKM itu bukan Ujian Nasional untuk mata pelajaran tertentu.


Seluruh mapel memilki kontribusi yang sama dalam memberikan ilmu dasar kepada anak baik secara eksplisit maupun implisit. Ilmu dasar yang dimaksud adalah literasi membaca dan literasi numerasi.


Dua hal tersebut bisa disokong oleh berbagai mata pelajaran. Literasi tidak menjadi kompetensi yang dimonopoli oleh mapel Bahasa Indonesia. Demikian pun, dengan numerasi, bukan bidang kompetensi eksklusif mapel Matematika. Tetapi, mungkin untuk teks-teks yang sifatnya sastra daya dukungnya ada di Bahasa. Lalu untuk numerasi, konten-konten terkait Aljabar itu didukung oleh Matematika.


Untuk itu, diharapkan agar setiap guru mapel bisa mempersiapkan para siswa dalam mengikuti AKM. Artinya, proses pembeljaran dalam kelas mesti berorientasi pada pencapaian kompetensi minimum terkait literasi dan numerasi. Jadi, semua guru mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mendorong dan mengarahkan siswa untuk terbiasa menghadapi soal-soal bernuansa literasi dan numerasi.


Bagaimana pun juga, “soal dan pembelajaran” merupakan dua mata pisau yang saling terkait. Guru tidak bisa memberikan soal jenis AKM jika pembelajarannya juga tidak mengakomodasi unsur literasi dan numerasi.


AKM literasi dan numerasi ini diikuti oleh seluruh satuan pendidikan/ sekolah tingkat dasar dan menengah di Indonesia, serta program kesetaraan yang dikelola oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).


Asesmen Nasional yang terdiri dari 3 instrumen (AKM, Survei Karakter, dan Survei Lingkungan yang diikuti oleh sebagian peserta didik kelas V untuk jenjang SD, kelas VIII untuk SMP, dan XI untuk SMA/SMK yang dipilih secara acak oleh Pemerintah. Pemilihan ini akan mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi. Satuan pendidikan tidak diperkenankan mengganti sampel murid karena dapat memengaruhi hasil dan tindak lanjut perbaikan pembelajaran.


Pada prinsipnya AKM dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. AKM bisa memberikan informasi mendetail seputar proses pendidikan. Informasi yang didapat saat asesmen biasanya sangat akurat dan dibutuhkan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan.


Asesmen Nasional dilakukan untuk mengevaluasi kinerja satuan pendidikan dan sekaligus menghasilkan informasi untuk perbaikan kualitas belajar mengajar, yang kemudian diharapkan berdampak pada karakter dan kompetensi murid.


Informasi dari survei lingkungan belajar diperlukan untuk merumuskan dan menguji dugaan tentang mengapa murid di sekolah tertentu memiliki hasil belajar yang baik atau buruk.


Indikator AKM


Sebetulnya, indikator AKM itu sudah dinyatakan secara tersirat dalam judul tulisan ini. Bahwasannya, literasi dan numerasi merupakan indikator dalam penilaian AKM. Literasi dan numerasi merupakan kemampuan atau kompetensi yang mendasar dan dibutuhkan oleh semua murid, terlepas dari apa profesi dan cita-citanya di masa depan.


Kedua kompetensi ini, seperti telah disinggung pada bagian terdahulu, perlu dikembangkan secara lintas mata pelajaran tidak hanya melalui pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika. Hal ini pun bertujuan untuk mendorong guru semua mata pelajaran untuk lebih fokus pada pengembangan kompetensi membaca dan berpikir logis-sistematis.


Secara sederhana literasi diartikan sebagai kemampuan baca-tulis. Tetapi, dalam AKM, fokus perhatian kita adalah kemampuan membaca. Literasi membaca tidak hanya menyangkut kepandaian membaca secara literal atau pengenalan aksara saja, tetapi meliputi kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah, dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga Indonesia dan warga dunia agar dapat berkontribusi secara produktif di masyarakat.


Adapun literasi numerasi meliputi kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat Matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai jenis konteks yang relevan untuk individu sebagai warga negara Indonesia dan dunia.


Murid kelas V akan mengerjakan 30 soal untuk masing-masing literasi membaca dan numerasi. Sedangkan murid kelas VIII dan XI akan mengerjakan 36 soal. Tidak ada skor/nilai minimum dalam AKM. AKM melaporkan persentase murid dalam setiap level kompetensi. Diharapkan semua murid mencapai level kompetensi cakap atau mahir. Agar bisa menguasai Asesmen Nasional, murid harus mempelajari konsep setiap materi pelajaran dengan baik, bukan menghafal  materi.


Tipologi Soal


Pada bagian ini saya hanya memaparkan bentuk soal AKM literasi. Untuk diketahui bahwa kendati ada sekian model soal, tetapi umumnya soal-soal itu dikemas dalam bentuk wacana, narasi, teks atau bacaan. Penjelasan lebih detail tentang tema ini bisa dibaca dalam buku “Detik-Detik Asesmen Nasional AKM Literasi yang ditulis oleh Bacthtiar Mima Mustriana, dkk terbitan Intan Pariwara, 2020.


Dalam buku itu, setidaknya ada 5 model soal untuk mengetahui dan memetakan potensi literasi anak. Pertama, pilihan ganda (sederhana). Seperti biasa, dalam model soal seperti ini, para siswa harus memilih satu jawaban benar dari beberapa pilihan jawaban yang disediakan.


Kedua, pilihan ganda kompleks. Jika pada pilihan ganda sederhana, hanya ada satu opsi yang benar, maka dalam pilihan ganda komplek, lebih dari satu (bisa dua atau tiga) jawaban yang benar. Oleh sebab Itu, para siswa harus mampu mengidentifikasi model soal yang ada dalam AKM itu.


Ketiga, menjodohkan. Model soal seperti dimaksudkan untuk mengukur kemampuan mencocokkan, menyesuaikan, dan menghubungkan antara dua pernyataan yang disediakan.

Baca: Menjadi "Guru Merdeka"


Keempat, isian atau jawaban singkat. Soal seperti ini menuntut ketelitian dan ketepatan sebab kita diminta untuk menjawab secara singkat berupa kata, frase, atau angka berdasarkan isi teks yang disiapkan.


Kelima, esai atau uraian. Tujuannya, tentu saja agar para siswa bisa menuangkan gagasan atau pendapat secara tertulis berdasarkan isi sebuah bacaan (wacana).


Tips dan Kebiasaan Mengerjakan AKM


Dari uraian di atas, meski AKM tidak dijadikan indikator tunggal soal kemampuan kognitif anak, tetapi model soal yang ditawarkan tidak bisa dianggap enteng. Model soal dalam AKM, hemat saya membutuhkan persiapan serius agar anak bisa mengerjakan soal-soal itu dengan baik.


Oleh karena itu, agar bisa mudah mengerjakan AKM, anak perlu melakukan beberapa kebiasaan penting yang mendukung. Berikut beberapa unsur penting yang perlu menjadi sebuah kebiasaan agar anak bisa mengerjakan AKM dengan mudah.


Pertama, gemar membaca. Literasi berhubungan erat dengan ‘kultur membaca’ yang dipupuk secara intensif. Gemar membaca adalah poin kunci dalam mengasah potensi literasi.


Kemampuan literasi menjadi salah satu indikator dalam AKM. Maka sangat penting bagi murid untuk memiliki kebiasaan gemar membaca. Kebiasaan ini akan membuat murid bisa lebih mudah memahami isi bacaan. Tentu ini akan sangat dibutuhkan dalam mengerjakan soal AKM nantinya.


Kedua, sering mengerjakan latihan soal. Lakukan kebiasaan mengerjakan latihan soal AKM. Dengan tekun berlatih, anak akan dengan gampang mengetahui model soal dan dengan sendirinya bisa menjawab soal sesuai dengan instruksinya.


Ketiga, baca soal dengan teliti dan hati-hati. Kebiasaan murid adalah tidak membaca soal dengan baik namun berambisi untuk melihat pilihan jawaban yang tersedia. Ini suatu kekeliruan yang sering dilakukan oleh murid. Murid akan bingung sendiri ketika pilihan yang tersedia terkesan hampir sama. Oleh sebab itu penting untuk membaca dan memahami pernyataan soal dengan teliti dan berhati-hati. Kebiasaan mengerjakan soal harus diubah. Baca soal dengan teliti dan hati-hati.


Keempat, kerjakan terlebih dulu soal yang dianggap paling mudah. Kebiasaan murid mengerjakan soal dimulai dari nomor 1 sampai seterusnya secara berurutan. Tidak perlu seperti itu. Jika terasa sulit nomor satu, tinggalkan saja kemudian lanjutkan soal berikutnya yang dirasa lebih mudah. Ubah kebiasaan mengerjakan soal secara berurutan, ganti dengan mengerjakan soal-soal yang dianggap mudah terlebih dahulu.


Kelima, cari dan coret pilihan jawaban yang salah. Jika kebiasaan nomor (2) sudah dilakukan, kebiasaan selanjutnya yang harus dilakukan adalah melihat kembali soal yang agak sulit. Caranya, cari pilihan yang dianggap salah kemudian coret sehingga tersisa satu pilihan. Nah, pilihan inilah yang dianggap sebagai pilihan yang benar dan diisikan pada lembaran jawaban.


Keenam, perhitungkan jumlah soal dan target nilai. Kebiasaan yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah memperhitungkan jumlah soal dan jumlah target nilai. Jika jumlah soal 50 butir, berarti nilai 1 soal adalah 0.2. Jika benar menjawab sebanyak 25 butir soal maka akan memperoleh nilai 5.0. Untuk memperoleh nilai minimal 6.0 harus menjawab benar sebanyak 24 soal.


Ketujuh, jangan biarkan ada jawaban kosong. Ini kebiasaan penting. Sebelum diserahkan kepada pengawas ujian, pastikan semua soal sudah terjawab dalam lembaran jawaban. Jika ada beberapa soal yang betul-betul tidak bisa mengerjakannya, jawab saja dengan cara menebak atau memilih secara acak salah satu pilihan. Ini masih berpeluang untuk menjawab pilihan yang benar ketimbang dibiarkan kosong.


Kedelapan, pahami dengan baik perintah soal. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat lima bentuk soal AKM literasi. Para siswa mesti mengetahui model atau bentuk dari setiap soal yang disediakan. Dengan Itu, mereka bisa menjawab sesuai dengan karakteristik atau perintah khusus dalam soal itu.



*Penulis adalah Staf Pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pendapat Sil Joni Terkait "Kultur Literasi dan AKM"

Trending Now

Iklan