Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Pariwisata yang Rentan Bencana (Politik)

Suara BulirBERNAS
Tuesday, September 6, 2022 | 16:20 WIB Last Updated 2023-02-08T08:11:01Z

 

Pariwisata yang Rentan Bencana (politik)
Pariwisata yang Rentan Bencana (politik)



Oleh: Sil Joni*


Industri pariwisata di Indonesia, sebelum pandemi Covid-19 menerjang publik global, mengalami kemajuan yang signifikan. Bidang turisme bahkan diprediksi sebagai sumber pemasukan devisa negara terbesar. 


Namun, ekpektasi yang besar itu, menjadi berantakan ketika dunia dilanda bencana. Aktivitas industri pariwisata sempat lesu atau mati suri. Ketika Covid-19 mulai melandai, kegiatan kepariwisataan, termasuk di destinasi super prioritas Labuan Bajo, mulai berjalan normal.


Baca: Mengeksplorasi 'Keindahan Labuan Bajo' Melalui 'Film Pendek'


Kendati demikian, situasi pasar pariwisata kita cenderung tidak stabil atau fluktuatif. Ini menunjukkan bahwa pariwisata merupakan industri yang sangat rentan dengan bencana, baik bencana alam (natural disaster) maupun bencana politik (man made disaster). 


Situasi politik yang kurang kondusif tersebab oleh pengambilan kebijakan publik yang cenderung menuai kontroversi, ternyata bisa memengaruhi daya kinerja pariwisata. Situasi di Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai destinasi wisata unggulan di Mabar, bisa menjadi contoh kerentanan industri pariwisata terhadap turbulensi politik.


Diberitakan bahwa arus kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Komodo selama bulan Agustus tahun 2022 ini, terutama wisatawan domestik, sangat menurun jika dibandingkan dengan bulan Juli kemarin. 


Turunnya arus kunjungan wisatawan itu, ternyata menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Pius Baut disebabkan oleh dua hal berikut. Pertama, polemik kenaikan tiket ke TNK. Kedua, faktor kenaikan tarif angkutan pesawat udara. 


Menurut mantan Camat Lembor ini, untuk mengatasi masalah penurunan jumlah kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo, pihaknya akan segera melakukan koordinasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bersama pemangku kepentingan terkait lainnya.


Baca: "Salam Festival Golo Koe, Salam Pariwisata Holistik"


Langkah itu sudah tepat. Tetapi, masalahnya adalah Kemenparekraf dan Pemerintah Propinsi NTT sendiri yang menciptakan polemik kenaikan tarif itu. Pertanyaannya adalah apakah Dinas Parekraf Mabar mempunyai posisi tawar yang bagus untuk bisa mengubah atau meninjau kembali kebijakan itu? Bukankah dalam praksisnya selama ini kebijakan pariwisata bersifat sentralistis dan elitis?


Soal anjiloknya jumlah kunjungan ke TNK, pihak Dinas menyodorkan data yang valid. Data itu menunjukkan bahwa jumlah kunjungan bulan Agustus mengalami penurunan menjadi 7.169 orang jika dibanding dengan jumlah kunjungan pada Juli 2022 yaitu 15.332 orang.


Tetapi kata dia, dua komponen total arus kunjungan ini masih terlalu rendah jika dibandingkan 3 tahun sebelum masa pandemi. Saya kira, hal ini bisa dimaklumi sebab pandemi Covid-19 sudah mulai reda. Namun, bencana pandemi tentu bukan faktor tunggal soal tren kunjungan yang menurun itu. Saya setuju bahwa  isu terkait masalah kepariwisataan sangat sensitif jika isu itu berskala luas dan negatif. Artinya, kondisi politik di daerah juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan aktivitas pariwisata.


Menariknya adalah fakta arus kunjungan yang melorot itu tidak berlaku untuk wisatawan mancanegara (internasional). Diberitakan bahwa jumlah kunjungan wisatawan asing ke Labuan Bajo mengalami peningkatan dari 10.438 orang pada Juli 2022 menjadi 12.041 orang pada Agustus 2022. Tentu, ini sebuah berita yang menggembirakan. 


Selain dua faktor di atas, situasi politik-ekonomi pada tingkat global menjadi salah satu variabel penentu naik dan turunnya tingkat kunjungan ke sebuah destinasi wisata. Pengamat pariwisata lokal Bartholomeus Amidi menyebut selain dua isu yang terjadi, baik itu kenaikan tiket ke  TNK maupun tiket jasa angkutan udara, aspek lain yang dipertimbangkan para wisatawan adalah persoalan inflasi yang terjadi secara global.


Dia juga berharap pemerintah dari pusat hingga ke daerah khususnya pemerintah di destinasi pariwisata, segera memberi jaminan kepada semua pihak baik dalam dan luar terhadap beberapa aspek permasalahan tadi, terutama soal tiket ke TNK mesti berjalan normal atau tidak naik.


Suara kritis semacam ini memang perlu digaungkan secara reguler. Kita menunggu respons positif dari para pengambil kebijakan dalam mengatasi persoalan turunnya jumlah kujungan ke TNK pada bulan Agustus kemarin. Sebuah 'pertobatan politik' mesti diambil agar pariwisata kita tidak 'dicekik' oleh bencana buatan manusia (politis).


Pemerintah mempunyai tanggung jawab etis-politis untuk meningkatkan kinerja sektor pariwisata. Pengalaman bulan Agustus menjadi pelajaran berharga. Pemerintah segera mengambil langkah-langkah signifikan agar faktor-faktor yang memengaruhi turunnya arus kunjungan wisatawan, segera diatasi.


Dengan itu, kondisi aktivitas industri pariwisata di Indonesia yang mengalami perkembangan yang luar biasa pesat sebelum pandemi Covid-19, bisa terulang dan bahkan melebihi kenyataan sebelumnya. Data World Travel and Tourism Council (WTTC) melaporkan bahwa Top-30 Travel and Tourism Countries Power Ranking yang didasarkan pada pertumbuhan absolut pada periode tahun 2011 dan 2017 untuk empat indikator perjalanan dan pariwisata utama menunjukkan Indonesia berada pada nomor 9 sebagai negara dengan pertumbuhan pariwisata tercepat di dunia. Dalam daftar yang dikeluarkan tersebut, China, Amerika Serikat, dan India menempati posisi tiga besar. 


Baca: Pariwisata Mabar Pasca "Festival Golo Koe"


Kita tahu bahwa pariwisata Indonesia memiliki banyak keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif sehingga menjadi salah satu penghasil devisa terbesar. Pada tahun 2019, industri pariwisata menyumbang devisa terbesar yaitu US$ 20 Miliar. Dampak devisa yang masuk langsung dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. 


Namun di balik itu semua, industri pariwisata sangat rentan terhadap bencana, baik bencana alam maupun bencana politik, apabila tidak dikelola dengan baik, dampaknya akan mempengaruhi ekosistem pariwisata dan pencapaian target kinerja pariwisata. Pariwisata seringkali diasosiasikan dengan kesenangan, dan wisatawan melihat keamanan dan kenyamanan sebagai satu hal yang esensial dalam berwisata.  Bencana merupakan salah satu faktor yang sangat rentan mempengaruhi naik turunnya permintaan dalam industri pariwisata.



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pariwisata yang Rentan Bencana (Politik)

Trending Now

Iklan