Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Pilkades dan Prospek Demokrasi Desa

Sunday, September 25, 2022 | 19:45 WIB Last Updated 2023-02-08T07:37:39Z

 

Pilkades dan Prospek Demokrasi Desa
Pilkades dan Prospek Demokrasi Desa



Oleh: Sil Joni*


Kontestasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang digelar secara serentak di sebagian Desa pada tanggal 29 September 2022, hampir memasuki masa tenang. Menurut informasi, masa kampanye terbuka dan presentasi visi-misi para kandidat, berlangsung tiga hari, dari tanggal 23 sampai 25 September. Itu berarti, Hari ini, Minggu (25/9/2022) merupakan batas akhir untuk sesi 'kampanye terbuka' itu.


Sangat menarik untuk merespons tingginya antusiasme dan animo publik dalam mengikuti kampanye terbuka para calon kepala desa (Cakades) tersebut. Pelbagai ritual, prosesi, dan seremoni diperlihatkan secara elegan. Publik begitu bersemangat menyaksikan dan memberikan dukungan kepada figur pujaan mereka. Setidaknya, suasana euforia pesta sangat dominan dari setiap fragmen video yang didiseminasikan oleh para kandidat dan para supporter fanatik mereka di ruang publik digital.


Baca: Merindukan 'Sengatan' Legislator (Lokal)


Tetapi, tidak semua Desa menggelar 'acara kampanye terbuka' itu. Desa Nggorang misalnya, entah apa alasannya, kampanye terbuka dilaksanakan secara meriah dan bersifat massal. Para Cakades hanya diberi ruang untuk memaparkan visi-misi politik di hadapan panitia dan di hadapan 5 orang pendukung untuk masing-masing calon. Kita tidak tahu apa urgensi dari acara semacam itu? Mengapa pemaparan visi-misi itu hanya didengar oleh panitia dan pendukung yang sangat terbatas.


Beruntung, ada satu kandidat yang 'tidak mau tunduk' pada kesepakatan bersama itu. Cakades nomor urut empat, pak Silvester, dengan elegan menggelar semacam 'kampanye terbuka' setelah acara pemaparan visi-misi dalam ruangan tertutup pada Sabtu, (24/9/2022). Keberanian Silvester untuk 'keluar' dari kesepakatan bersama, relatif sukses memberi warna pada sesi kampanye untuk konteks Pilkades Desa Nggorang. Sang kandidat coba menjawab kerinduan publik untuk menyaksikan secara langsung bagaimana kemampuan dan kecakapan calon dalam berorasi politik di depan massa politik dalam jumlah banyak. 


Yang lebih miris adalah ada calon dan konstituen yang menilai bahwa 'visi, misi, dan program'  politik itu 'tidak penting'. Akibatnya adalah pemaparan atau presentasi visi-misi itu dibuat seadanya saja. Produk politiknya tidak digodok secara serius, dikuasai dengan baik, dan dipresentasikan dengan gaya yang memukau di depan publik.


Baca: Penyingkap "Duduk Perkara"


Pertanyaannya adalah apa alat ukur obyektif yang bisa dipakai untuk menilai kapasitas kandidat, selain visi, misi dan program politik? Bagaimana publik bisa mengawal dan memberikan catatan kritis dari sang pemimpin jika tidak memiliki visi-misi yang jelas dalam membangun demokrasi Desa? Apa pertimbangan fundamental yang rasional dalam menjatuhkan pilihan politik kepada kandidat? Bagaimana kita mengetahui komitmen dan kedalaman sensitivitas politik para kandidat dalam merespon persoalan politik di Desa, jika tidak dituangkan dalam blue-print politik yang berkualitas?


Saya mulai curiga, jangan sampai para voters dalam Pilkades ini, masih mengkultuskan alasan primordial dalam menentukan preferensi politik. Kita mendukung dan memilih calon X hanya karena memiliki hubungan keluarga, dari suku dan kampung yang sama, dan memiliki kepentingan yang relatif sama. Jika unsur primordial yang dikedepankan, maka demokrasi di tingkat Desa agak 'sulit naik kelas'. Pemimpin yang berkompeten, berkapasitas, dan berintegritas kemungkinan 'terdepak' sebab publik konstituen tidak pernah menjadikan 'kualitas figur'  sebagai referensi dalam memilih.


Kans tampilnya pemimpin 'tipe medioker' semakin besar di tengah setting budaya politik primordial semacam itu. Pemimpin yang dihasilkan kemungkinan tidak bisa menjawab ideal untuk menghadirkan perubahan signifikan bagi Desa tersebut. Kita terjebak dalam pola klasik atau konvensional di mana unsur kelurga dan kedekatan emosional menjadi pertimbangan utama.


Ketika demokrasi Desa tidak berkembang ke arah yang baik, maka rasanya sulit untuk mewujudkan mimpin akselerasi peningkatan kualitas kemaslahatan publik di level Desa. Masa depan demokrasi Desa semakin suram.


Padahal, dengan adanya demokrasi dan desentralisasi yang sampai ke desa diharapkan akan melahirkan sistem Pemerintahan Desa yang menjunjung tinggi penerapan prinsip-prinsip good governance. Prinsip itu sulit diterapkan oleh Kades yang tidak punya kapasitas yang mumpuni.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa demokratisasi di tingkat desa belum berjalan dengan baik. Demokrasi di desa masih bersifat elitis. Peran aktor Kepala Desa masih sentral, kokoh. Budaya patrimonial dan feodalistik masih kuat. Tradisi dan ritual desa masih menonjol dalam mempengaruhi pelaksanaan demokrasi di tingkat desa. Ruang partisipasi masyarakat masih belum terbuka. BPD sebagai lokomotif demokratisasi desa belum maksimal menjalankan tugas dan fungsinya sebagai parlemen desa. 


Baca: Aktifkan "Politik Kunjungan" (Tafsiran Kreatif Kisah Maria Mengunjungi Elisabet)


Hubungan antara supra desa dalam hal ini Kabupaten dengan Desa masih belum seimbang. Intervensi Kabupaten masih sangat besar terhadap Desa, sehingga desa tidak bisa mengembangkan otonominya. Ruang kreativitas dan inisiatif Desa masih dibatasi oleh Kabupaten. Perda-perda masih bias kepentingan kabupaten.


Sayang sekali, isu-isu krusial terkait dengan implementasi demokrasi di tingkat Desa, tidak mendapat atensi serius dari para Cakades. Saya belum pernah mendengar bagaimana para Cakades membahas secara serius pelbagai hambatan praksis berdemokrasi dan bagaimana cara mengatasinya. Para Cakades hanya terfokus bagaimana mendapat suara dengan mengedepankan wacana yang bersifat primordial dan mengoptimalkan kapital finansial dalam membeli suara pemilih.


Masalah konkret Demokrasi desa dalam level praksis, bakal sulit dicari solusinya ketika Pilkades hanya dimaknai sebagai arena 'membujuk' publik melalui cara-cara murahan dan dangkal. Tampaknya, Pilkades belum menjadi arena menelurkan dan memasarkan gagasan bermutu agar Desa bisa keluar dari persoalan-persoalan yang membelenggu keberhasilan implementasi budaya demokrasi yang berkualitas di tingkat desa.



*Penulis adalah warga Desa Nggorang. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pilkades dan Prospek Demokrasi Desa

Trending Now

Iklan