Oleh: Willem Berybe
![]() |
Kagum Akan Penulis |
Tak berlebihan rasanya kalau di ruang grup GMM (GURU MABAR MENULISLAH) yang sangat konsisten dan eksis, saya tertarik dan angkat jempol pada seorang penulis setia. Sil Joni. Rasa simpati saya tidak pada seluruh karya tulisannya di ruang ini tapi bagaimana keteguhan hati untuk tidak berhenti menulis. Tema-tema pendidikan, sosial, cinta.
Baca: Sil Joni sebagai Penulis dan Pemandu Acara
Lewat dua momen, saya mengenal Sil Joni. Pertama, secara tertulis (scripta), berupa artikel yang termuat di Pos Kupang (27/1/2016) dengan judul: “Polisi dan Naluri Premanisme”. Tulisan Sil Joni tersebut menggelitik nurani saya karena isinya tentang kasus kekerasan (brutalism) oleh oknum aparat Kepolisian di Labuan Bajo. Dalam tulisan itu, Sil Joni mengkritik secara pedas institusi kepolisian akibat perilaku oknum aparatnya yang ‘premanistis’ dalam kasus pemukulan siswa SMK Stella Maris pada jam pembelajaran berlangsung (Bdk. Berita Pos Kupang, 25/1/2016, hal. 12).
Di sini saya melihat fakta kekerasan itu, apa lagi oleh oknum institusi, ingin diangkat Sil Joni. Biasanya penulis mempunyai pertimbangan jurnalisme dengan bentuk penulisan yang nyata berupaya agar tulisannya dimuat di media massa cetak (lokal). Dan, berhasil. Pos Kupang mempublikasikan dalam terbitannya.
Baca: Valentine, Hanya Sekedar Kado? (Catatan Ringan Menyambut Hari Kasih Sayang)
Keberanian untuk mengangkat peristiwa ini dalam sebuah media publikasi resmi patut disanjung demi sebuah kebaikan umum. Sejak itulah saya menaruh simpati dan perhatian, seorang guru (penulis) dari Manggarai Barat muncul di Pos Kupang. Terkait hal itu, saya pernah menulis secara khusus soal para guru yang menulis di Harian Pos Kupang. Judul artikel opini itu adalah: “Opini Guru-guru NTT Menghiasi Wajah Pos Kupang”, yang diterbitkan Pos Kupang, (8/4/2016).
Kesempatan kedua, saya mengenal Sil Joni secara tatap muka (face to face) saat peluncuran buku pertama karya para guru GMM berjudul: “Guru Mabar Berkreasi di Tengah Badai Covid-19” di aula SMPN 1 Komodo pada Sabtu, (03/10/2020). Postur tubuh tak seberapa tinggi. Tenang. Dan, saat itu berperan sebagai MC (master of ceremony). Sepintas di benak saya ada korelasi antara kemampuan berbicara sebagai MC dan keterampilan menulis. Dua-duanya butuh proses berpikir lalu menulis.
Lantas bagaimana dengan karier guru, antara waktu seorang guru di sekolah/kelas dengan segala beban tugas dan waktu untuk menulis? Tak masalah. Bagai air yang mengalir semuanya lumrah saja. Hemat saya, beruntung lembaga sekolah yang memiliki guru berkarakter ini. SMK STELLA MARIS LABUAN BAJO.
Bukan mustahil ada efek pendidikan baik di kalangan siswa maupun para kolega guru membuat kehidupan dan proses pembelajaran menjadi hidup dan bergairah. Jika membaca tulisan-tulisan Sil Joni beberapa butir sari yang bisa saya petik.
Pertama, tema tulisan ada di sekitar kita. Obyeknya menarik, penting, bermanfaat untuk dibaca orang banyak. Kedua, segera mulai tulis, jangan tunggu. Soal bahasa proses berikutnya Ketiga, usahakan bahasa yang enak dibaca. Bukan bahasa yang tinggi-tinggi, ilmiah. Sederhana tapi tepat. Keempat, beri judul tulisan, pendek, tapi padat/bernas.
Baca: SMK Stella Maris dan 'Peradaban Kasih'
Karena tulisan saya akhir-akhir ini jarang muncul di media konvensional, Tony Kleden, wartawan senior, pernah di Pos Kupang, dan penulis menyeletuk. "Sudah lama saya tidak baca tulisan Pak Willem", tulis Kleden dalam sebuah statusnya di Fb (Facebook). Berarti ada pembaca yang tertarik dan senang membaca tulisan kita. PROFICIAT GURU YANG PENULIS. Salam narasi!
*Tulisan ini merupakan ‘komentar’ Willem Berybe di Grub WhatsApp (WA) ‘Guru Mabar Menulislah (GMM)’, Minggu (16/2/2025) tentang konsistensi saya (Sil Joni) dalam menghasilkan tulisan di ruang digital itu. Untuk kepentingan publikasi dan edukasi, atas izin beliau, komentar tersebut diedit sperlunya dan diterbitkan di media ini.
**Penulis adalah mantan Guru SMAK Geovani Kupang, penulis cum sastrawan (penyair) senior NTT.