Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Bunda Baca atau Bunda Literasi? (Sebuah Kontroversi)

Suara BulirBERNAS
Saturday, March 12, 2022 | 18:03 WIB Last Updated 2022-03-12T11:16:10Z
Bunda Baca atau Bunda Literasi? (Sebuah Kontroversi)
Bunda Baca atau Bunda Literasi? (Sebuah Kontroversi)


Oleh: Sil Joni*


Seorang teman merasa ‘terganggu’ dengan istilah ‘Bunda Baca’ yang pernah saya tulis sebelumnya (Fajartimur.com, 9/3/2022) dan cerita oral terkait dengan pelaksanaan kegiatan ‘Safari Literasi’ dari Duta Baca Indonesia, Kamis (10/3/2022). Rujukan saya dalam menggunakan ungkapan itu adalah Surat Undangan yang diterima oleh komunitas ‘Guru Mabar Menulis (GMM)’ tiga hari sebelum acara itu dihelat. 

Dalam undangan itu, frase ‘Bunda Baca’ diletakkan persis di belakang ungkapan ‘Duta Baca Nasional’. Teman saya ini ‘mempertanyakan’ ketepatan istilah itu ketika dikonfrontasikan dengan tingkat ‘keahlian’ (expert) dari pribadi yang digelari sebagai ‘Bunda Baca’ itu. Untuk diketahui bahwa predikat ‘Bunda Baca Provinsi NTT’ itu disandang oleh Ibu Julie Sutrisno Laiskodat, yang tidak lain merupakan ‘belahan jiwa’ dari Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL).

Menurut teman saya, orang yang digelari  ‘Bunda Baca’, mesti memiliki kualifikasi sebagai pribadi yang ‘kutu buku’. Orang itu pasti dengan ‘rakus’ melahap pelbagai jenis pustaka bermutu setiap hari. Buku adalah makanan utamanya setiap hari. Pertanyaannya adalah apakah seorang Julie Sutrisno Laiskodat, di tengah kesibukannya sebagai anggota DPR-RI, juga seorang ‘kutu buku’? Berapa buku yang dikonsumsi oleh sang bunda dalam sehari?

Gugatan kritis dari teman ini, membuat saya ‘terjaga’. Ternyata saya secara ‘latah’ menggunakan ungkapan yang ‘tertera’ dalam undangan itu pada artikel opini yang saya tulis. Pasalnya, setelah ‘bergulat’ dengan kandungan semantik dari istilah itu, saya pun agak ragu ketika ibu Julie dilabeli sebagai ‘Bunda Baca Provinsi NTT’. Keraguan itu, bukan pertama-tama soal keabsahan atau legalitas pemberian gelar itu dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi NTT sekaligus istri dari Gubernur NTT, tetapi terutama mengacu pada ‘kecakapan dan ketekunan’ ibu Julie dalam menggauli dunia perbukuan.

Sebagai pembanding, gelar Duta Baca Indonesia’ itu, tidak diberikan kepada sembarang orang. Duta Baca Indonesia saat ini, Gol A Gong misalnya, memang sangat pantas mengemban tugas sebagai ‘Duta Baca’. Betapa tidak. Profil Gol A Gong dalam dunia perbukuan, patut dicatat dengan dawat kencana. Hingga detik ini, beliau telah menulis 126 buku dan ribuan artikel pendek yang tersebar di berbagai media.  Dirinya dikenal luas sebagai pribadi yang ‘kutu buku’. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk ‘melahap dan memproduksi buku’. Dengan prestasi dan debut literasi semacam itu, maka rasanya, tak ada keraguan sedikit pun untuk menerima status ‘Duta Baca Indonesia’ yang dipegangnya saat ini.

Lalu, bagaiamana dengan gelar ‘Bunda Baca Provinsi NTT’ yang saat ini dijabat oleh ibu Julie itu? Gelar sebagai ‘bunda’, tentu saja tidak ada persoalan yang berarti. Jabatan itu diterima secara natural sebagai konskwensi dari peran keibuan atau kebundaannya. Sedangkan, label ‘Bunda Baca’, rasanya perlu ditinjau lagi.

Teman saya tadi mengusulkan ungkapan yang menurutnya ‘lebih tepat’ dengan kedudukannya sebagai Ketua Tim Penggerak PKK NTT. Ungkapan yang ‘pas’ versi teman ini adalah ‘Bunda Literasi’. Mengapa? Literasi itu jauh lebih luas dan dalam dari sekadar ‘aktivitas membaca’. Literasi juga tidak bisa direduksi hanya sebatas ‘dunia baca-tulis’. Ada sekian banyak aspek yang terangkum dalam kata literasi itu. Beberapa di antaranya adalah digital, keuangan, hukum, budaya, sosial, ekonomi, pengasuhan anak, perawatan lingkungan (ekologi), agama, pariwisata  dan sebagainya. 

Itu berarti literasi identik dengan ‘kehidupan itu’ sendiri. Tidak heran jika literasi itu dianggap sebagai ‘budaya’, bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ketika literasi disandingkan dengan ‘kehidupan’, maka tentu tidak salah salah jika perempuan berada pada garis terdepan sebagai orang yang mencintai kehidupan itu sendiri. 

Pada titik itulah, jabatan sebagai ‘Bunda Literasi NTT’ sangat pantas disematkan ke ibu Julie dalam kapasitasnya sebagai ketua PKK dan istri dari Gubernur NTT. Dengan demikian, ibu Julie dianggap sebagai ‘bunda’ yang merawat dan mengalirkan kehidupan (baca: budaya literasi) kepada segenap warga NTT melaui peran yang dimainkannya.

Jadi, jabatan ‘Bunda Literasi’ itu tidak lagi merujuk pada kualifikasi ibu Julie dalam dunia ‘baca tulis’, tetapi mesti dilihat dalam bingkai perawat atau pengasuh kehidupan itu sendiri. Tentu saja, aktivitas baca-tulis menjadi salah satu ‘bentuk pemaknaan’ dari kehidupan itu sendiri. Ketika ibu Julie mendedikasikan segenap energi dan kapitalnya untuk ‘mengalirkan susu dan madu kemaslahatan’ bagi publik NTT melalui peran yang dimanikannya, maka pada saat itu, gelar ‘Bunda Literasi’ menemukan momentum pemebenarannya.

Selain itu, perlu dicatat bahwa ‘gelar itu’ tidak diperoleh melalui mekanisme tes yang objektif dari lembaga tertentu, tetapi sebagai sebuah ‘previlese’ dari status sebagai istri Gubernur NTT. Atas dasar itu, maka setiap istri pemimpin politik, mulai dari presiden sampai kepala Desa, secara ex officio mendapat julukan sebagai ‘Bunda Literasi’. Karena itu, rasanya tidak terlalu penting ketika kita menggugat soal signifiakansi dan urgensitas dari pemberian gelar semacam itu.

Mungkin yang lebih urgen untuk ‘ditagih’ adalah apa agenda konkret yang didesain dan dieksekusi oleh Bunda Literasi dalam ‘memperbaiki’ mutu kesejahteraan publik di NTT? Literasi apa saja yang menjadi prioritas perhatian dari Bunda Literasi sehingga mutu hidup warga NTT semakin meningkat? Apakah tugas Bunda Literasi hanya memberikan ‘kampanye soal pentingnya menghidupkan budaya literasi’ tanpa diikuti dengan tindakan dan kebijakan yang nyata?

Saya kira, begitu besar harapan publik agar ‘Bunda Literasi NTT’ bisa berbuat lebih dari apa yang dibuat oleh tuan Gubernur VBL. Hanya seorang ‘bunda’ yang mengerti, memahami dan berempati secara mendalam dengan pelbagai derita warga. Rasa kemanusiaan itu, kalau dapat disalurkan secara kreatif melalui program literasi yang berpihak pada kebaikan publik. 

Harapan yang sama kita ‘letakkan’ ke pundak ibu Trince Yuni, istri dari Bupati Mabar yang secara resmi ditetapkan sebagai ‘Bunda Literasi Mabar’ dalam acara Safari Literasi Duta Baca Indonesia dan Bunda Literasi NTT di aula Setda mabar, Kamis (10/3/2022). Bobot sebuah predikat itu terlihat dari ‘tindakan konkretnya’. Kendati seribu satu gelar melekat dalam tubuh seseorang, tetapi jika tidak ada ‘aksi nyata’, maka semuanya itu tidak lebih sebagai ‘hiasan’ yang nihil arti.


*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Bunda Baca atau Bunda Literasi? (Sebuah Kontroversi)

Trending Now

Iklan