Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Nama Anakmu, Namaku ( Cerpen Afri Ampur)

Suara BulirBERNAS
Tuesday, March 22, 2022 | 20:52 WIB Last Updated 2022-03-22T14:08:50Z
Nama Anakmu, Namaku ( Cerpen Afri Ampur)
Nama Anakmu, Namaku ( Cerpen Afri Ampur)


Oleh: Afri Ampur


#Stenly#

Nama Anakmu, Namaku - Hari ini merupakan hari Minggu kedua aku melayani di stasi ini. Aku sangat antusias memimpin Perayaan Ekaristi di stasi ini karena banyak umat yang hadir. Pagi ini, aku datang lebih awal, supaya bisa berinteraksi dengan anak-anak. Setelah menyiapkan segala sesuatu untuk Perayaan Ekaristi, aku menyaksikan anak-anak yang sedang bermain di halaman gereja. Hal ini mengingatkan aku akan pengalaman masa kecilku. Aku bersama teman sebayaku mandi di sungai. Laki-laki dan   perempuan mandi telanjang. Kami merasa biasa saja. Masa ini seperti masa sebelum Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Setelah mandi, kami menangkap belalang di sawah.

Lamunan masa kecilku dibuyar oleh tangisan seorang anak kecil  yang terpeleset di pintu masuk gereja.  Dia terjatuh ketika dikejar oleh temannya. Umurnya kira-kira tiga tahun. Aku menaruh iba padanya dan membantunya berdiri. Maklum, aku bungsu dari tiga bersaudara dan ingin punya adik. “Ade, namamu siapa?” tanyaku. Dia tidak menjawab pertanyaanku dan mengelus-elus lututnya yang lecet. 

Baca: Bukannya 'Menghilang' dan Apalagi 'Dihilangkan'

Kukeluarkan permen kaki dari saku celanaku. Aku selalu membawa permen kaki untuk mendekati anak-anak. Dia langsung menyergap permen itu, lalu memamerkan senyum manisnya sebagai ucapan terima kasihnya kepadaku. 

“Stenly….” Teriak seorang ibu muda dari belakang kami. “Mama, aku telpeleset dan om lomo membeli akau pelmen kaki.” Kata anak itu dengan cadel yang menambah kegemesannya. Ibu mudah itu menatapku dengan tajam. Aku juga menatapnya dengan seribu pertanyaan. Perasaan campur-aduk berkecamuk dalam kepalaku. Pertama, nama anak itu sama dengan namaku. Kedua, ibu dari anak itu tidak asing bagiku. Dia adalah… ah.. sudalah.. itu masa laluku. Aku teringat akan perkataan pater Provinsial waktu mengikrarkan kaul, “Allah kita adalah Allah yang cemburu.”

#mirand#

Sepulang dari gereja banyak  umat menceritakan tentang pastor rekan yang baru. Ia adalah seorang imam muda yang baru satu minggu bertugas di  paroki kami. Semua umat terhipnotis dengan keramahan dan humorisnya. Kaum mudi lebih memperhatikan kemanisannya. Tanpa terkecuali, adik iparku pun demikian. Sepulang dari gereja, adik iparku langsung memutarkan lagu “yang manis tapi bukan gula…” Lagu itu diputarnya berkali-kali. Aku merasa penasaran dengan romo muda yang telah menghipnotis banyak orang itu. Minggu depan, aku akan berusaha untuk mengikuti Perayaan Ekaristi yang akan dipimpinnya. Jujur aku sangat penasaran dengan imam muda itu.

Baca: Gadis Kecil, Wahai Sang Penegak (Karya Guidella)

“Sayang, minta maaf, aku tidak bisa ke gereja bersamamu. Aku harus ke rumah sakit sekarang” Kata Rafael suamiku. Aku memaklumi keputusan laki-laki yang kunikahi empat tahun lalu itu. Itu merupakan efek dari profesinya sebagai dokter. Aku teringat akan perkataan St. Yohanes Paulus II, “ Khotbah yang paling baik ialah melalui teladan hidup yang yang baik, bukan dengan kata-kata semata.” Meskipun tidak ke gereja, suamiku sedang berkhotbah melalui perbuatannya. 

Aku pergi ke gereja dengan Stenly putra semata wayangku. Di halaman gereja, Stenly bermain dengan teman-temannya. Tiba-tiba ia terpeleset di pintu masuk  dan seorang laki-laki menolongnya. Punggung laki-laki itu tidak asing bagiku. Pada saat aku memanggil anakku, laki-laki itu menoleh. Jantungku berhenti berdetak ketika mengetahui siapa laki-laki itu. Laki-laki itu bergegas ke sakristi. 

#Stenly#

Namanya Mirand. Berkulit putih, hidung mancung dan sedikit tomboy. Pembawaannya selalu semangat. Tidak heran kalau ia dipercaya sebagai ketua salah satu UKM kampus. Fotonya terpampang di lingkungan kampus. Maklum, ia dipilih sebagai salah satu model untuk  promosi kampus. Ia kk tingkatku, sehingga aku sedikit canggung dengannya. Kami menjadi akrab setelah bergabung dengan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Kemampuanku berpendapat di depan umum menarik perhatiannya. 

Suatu hari kami mengungkapkan perasaan kasih satu sama lain. Ia tidak hanya memiliki paras yang menyejukan mata, tetapi juga hati yang tulus. Kedua hal ini membuatku sangat mencintainya. Di balik rasa sayang itu, aku menyembunyikan sesuatu. Semacam ada yang berbisik dalam hatiku. Telingaku tidak mampu mendengar bisikan itu. Tetapi hatiku mendengar bisikan itu dengan jelas. Sang waktu terus berjalan tanpa mempedulikan pergumulan hatiku. Setelah berbulan-bulan bergumul, aku memutuskan untuk menanggapi panggilan-Nya. Aku bingung cara menyampaikannya kepada Mirand. Sehari sebelum keberangkatanku ke penjara suci itu, aku mengajak Mirand bertemu di taman kampus. Tetapi, aku tidak berani menyampaikan kata-kata perpisahan. Ketika pulang, aku mengecup kening kk tingkatku itu untuk pertama dan terakhir kalinya. Aku menitip  sebuah surat pada teman akrabnya. Isi surat itu bertentangan dengan isi hatiku.

#Mirand#

Hatiku perih ketika membaca surat darinya. Dalam surat itu ia mengatakan bahwa ia tidak mencintaiku. Ia mencintai seseorang yang mencintainya dengan sepenuh hati. Ia pergi untuk  mengejar cinta sejatinya itu. Aku tidak percaya begitu saja dengan isi suratnya. Aku juga tidak percaya dengan perempuan yang diceritakannya dalam surat itu. Aku tahu siapa dirinya. Ia tidak sepengecut itu.

Baca: Duka Gadis Desa (Cerpen Severinus M. Deo)

Selama ini, ia memperlakukan aku seperti bidadari. Tetapi sekarang, ia menghilang tanpa jejak seperti air hujan di atas daun talas. Tahukah ia, bahwa kemarin ia telah melanggar salah satu tata tertib kampus. Ia berani mencium kening kk tingkatnya. Aku tidak mandi sore, supaya sentuhan mulutnya menemani tidur malamku. Ternyata itu adalah ciuman pertama dan terakhirnya. Apakah ia seperti Yudas yang menyerahkan Gurunya dengan sebuah ciuman? Ah… tidak. Ia seperti Paulus yang dengan gagah menyuarakan kebenaran. Ia pernah diseret oleh polisi karena lantang menolak RUU. Selamat berpisah pencuri hatiku. Aku selalu menyebut namamu dalam doaku. Seandainya aku bukan jodohmu, aku akan memakai namamu untuk anak pertamaku.

#stenly#

Alunan lagu Ina Maria menemaniku dalam menyiapkan renungan untuk Perayaan Ekaristi esok. Tiba-tiba Pak Irwan koster paroki mengetuk pintu kamarku.  Ia menyampaikan ada keluarga muda yang ingin bertemu denganku. Aku langsung berpikir bahwa mereka adalah keluarga muda yang sakramen pernikahannya sedang di ujung tanduk. Sebab, semenjak aku bertugas di paroki ini, keluarga muda datang silih berganti untuk memaparkan persoalan dalam keluarga mereka. Dugaanku salah. Ternyata yang datang adalah keluarga dari anak kecil yang kuberi permen kaki beberapa bulan yang lalu. Ibunya pernah menjadi pemeran utama dalam khayalanku delapan tahun yang silam. Melihat kedatanganku, ibu mudah itu langsung berdiri dan memperkenalkan dirinya, suaminya, dan juga anaknya. Aku juga memperkenalkan diriku dengan mengatakan, “Nama anakmu, namaku.”


Penulis adalah Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Nama Anakmu, Namaku ( Cerpen Afri Ampur)

Trending Now

Iklan