Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

"Kidung Syukur" Tambah Umur

Wednesday, June 29, 2022 | 17:07 WIB Last Updated 2023-02-10T13:47:50Z

 

"Kidung Syukur" Tambah Umur"Kidung Syukur" Tambah Umur



Oleh: Sil Joni*


Kisah kasih Sang Maha Luhur

Terurai indah dalam lintasan memori

Hadirku dalam alur waktu

24 Juni 1980.

Bersama merekahnya nur di ufuk Timur

Kudendangkan sebait mazmur syukur

Biar hidup tetap subur.

Fajar harapan belum gugur

Meski 'palu derita' terus menghantam

Kuyakin jua cerita hari esok kian elok.


Salam dan doa kepada semua yang telah menabur dan merenda rumah cinta. Kehangatan dalam rumah cinta itulah yang membuat aku bertahan dan tampil kian menawan.


Mengais 'yang Spesial'


Peringatan 'Hari lahir' merupakan salah satu momen perayaan yang ditunggu oleh sebagian, kalau tidak mau disebut semua orang. Tentu, bukan soal 'pesta dan pameran kemewahan' yang ditonjolkan dalam peristiwa itu, tetapi ada semacam 'undangan' untuk pulang dan masuk ke dalam diri. Kita mendapat kesempatan emas untuk mengakrabi diri sekaligus mengalirkan nutrisi bernas kedalamnya sebagai buah dari permenungan menggali pernak-pernik makna dari kenangan akan peristiwa kelahiran itu.

Pertanyaannya adalah dengan cara atau metode apakah kita bisa 'memungut' mutiara makna dalam  momen penuh rahmat (kairos) itu? Rasanya, mustahil kita mendapatkan sejumput pesan positif itu dari pesta kembang api, ritual tiup lilin, makan enak, bergoyang ria dan aktivitas konsumtif-hedonistik lainnya. Kita membutuhkan 'medium lain' yang memungkinkan proses penggalian itu berjalan efektif dan nikmat.


Baca: Tuhan, Agama-Mu Apa? (Membongkar Fenomena Kekerasan Atas Nama Agama)


Untuk tujuan ini, kita berkiblat pada renungan bernas para filsuf. Sokrates dengan sangat jenial mengatakan: "Hidup yang tidak direfleksikan, tidak layak untuk dihidupi". Sabda dari 'bapak filsafat' ini, tetap relevan dan aktual sepanjang zaman.


Mengacu pada ungkapan di atas, maka actus theoria, kontemplasi, refleksi yang intensif, merupakan sarana ideal untuk 'mengais hal-hal spesial' dalam keseharian hidup, termasuk saat merayakan ulang tahun. Konsekwensinya, kita mesti 'menyingkir sesaat', bergerak ke samudra kesunyian untuk menemukan 'harta terpendam' dalam setiap lintasan peristiwa.


Merenung atau berpikir, demikian bisa dipatok sebagai ekspresi rasa syukur. "To think ia to thank, berpikir berarti bersyukur", kata Martin Heidegger. Untuk itu, menuangkan refleksi sederhana seputar arti dari momen 'peringatan hari lahir', merupakan satu bentuk pengungkapan rasa syukur.


Baca: Nama Anakmu, Namaku ( Cerpen Afri Ampur)


Bagi saya, ekspresi rasa syukur melalui tulisan seperti ini, begitu penting artinya. Setelah sekian bulan 'didera' oleh aneka penyakit menahun, saya mulai merasakan 'ada yang hilang' dalam diri saya. Kebiasaan menulis, selama diterjang badai penderitaan, praktisnya 'mati suri'. Karena itu, refleksi ini, selain sebagai ekspresi rasa syukur, juga kalau dapat, menjadi semacam 'turning point' untuk menghidupkan kebiasaan menulis itu.


Untuk edisi Ulang Tahun ini, saya coba tuangkan satu tilikan sederhana seputar arti hari kelahiran yang kebetulan 'sama' dengan salah satu orang kudus dalam Gereja Katolik, yaitu Yohanes Pembaptis. Renungan ini, tentu saja buah dari keberanian untuk menyingkir ke tempat yang sunyi persis pada saat pesta digelar.


Saya selalu bersemangat untuk 'merayakan hari ulang tahun kelahiran' dengan cara menulis semacam ini. Mungkin, sebagian orang menilai kebiasaan seperti itu terasa membosankan dan dianggap sebagai 'cara kuno'. Tetapi, bagi saya merefleksikan makna mengenang momen istimewa dan bersejarah itu, menjadi sebentuk penghargaan terhadap hidup itu sendiri.


Ketika waktu diukur dengan kategori tertentu, maka kita dengan mudah mengetahui angka-angka waktu yang berkaitan dengan sejarah hidup kita. Demikian halnya dengan peringatan Hari Ulang Tahun kelahiran. Tetapi, pada kesempatan ini saya coba menarik semacam 'makna' di seberang waktu obyektif tentang hari lahir tersebut. Sistem kalenderium dalam Gereja Katolik dijadikan 'referensi' dalam permenungan ini.


24 Juni. Gereja Katolik sejagat mengenangnya sebagai "peringatan kelahiran Santo Yohanes Pembaptis". Presis pada hari itulah, aku "mencium" aroma semesta (kosmos) untuk pertama kalinya. Peristiwa kelahiranku, mungkin tidak sedramatis dan seheboh putra Zakaria, Yohanes Pemandi itu. Namun, aku cukup beruntung, sebab "Sang Hidup" memperkenankan "tubuhku" ada bersama bumi dan segala isinya tepat di hari peringatan salah seorang kudus dalam Gereja Katolik.


Bagi saya, hari kelahiran yang sama persis dengan hari lahir dari salah satu 'nabi termasyur' pada jaman Tuhan Yesus berkarya di dunia itu, tentu lebih dari sekadar peristiwa kebetulan yang nir-arti. Tanggal 24 Juni itu, mengingatkan dan mungkin mengharuskan saya untuk 'menyingkap dan menjabarkan visi kenabian seperti yang ditorehkan oleh Yohanes Pembaptis semasa hidupnya.


Sepenggal sabda biblis perihal kelhairan Yohanes "terngiang kembali" dalam batinku saat ini. "Akan jadi apakah anak ini kelak"? Itulah pertanyaan yang menyembul dalam diri keluarga ketika St. Yohanes dilahirkan. Saya tidak tahu apakah ayah dan ibuku serta keluarga besar yang menyambut kelahiranku, mengeluarkan atau minimal merenungkan pertanyaan yang sama di hari yang indah itu, 24 Juni 1980, 42 tahun yang lalu.


Entalah. Tetapi, bagiku pertanyaan di atas bersifat eksistensial, menyangkut harapan yang mesti diletakan pada seorang anak manusia. Kemanusiaanku tak penah dilepaskan dari sejumput harapan yang mesti kugapai. Bukan hanya untuk memenuhi "kerinduan" dari keluarga, tetapi yang paling penting adalah sebagai "peta jalan" dalam merampungkan proyek pemanusiaanku sendiri.


Pertanyaan itu juga menjadi semacam 'kompas' yang memandu perjalannku dalam mengikuti jalan kenabian yang dirintis oleh st. Yohanes Pembaptis. Sebuah pertanyaan gugatan dan reflektif patut dikedepankan saat ini: Apakah saya sudah mengkuiti spiritualitas profetisme ala St. Yohanes yang berseru-seru di padang gurun: 'siapkan jalan bagi Tuhan, luruskan jalan yang bengkok dan ratakan jalan yang berlekak-lekuk"?


42 tahun sudah. Aku berziarah di atas buana ini. Sebuah data numerik yang tidak bisa lagi masuk "kategori belia" apalagi ingusan. Akumulasi waktu yang besar itu, tentu tidak hadir begitu saja. Semuanya terjadi berkat rahmat "Sang Kehidupan" yang mengalir tiada henti dalam diriku. Sang Hidup jugalah yang menganugerahkan "kemampuan" padaku untuk mengolah berbagai talenta dalam diriku sehingga proses pemanusiaanku dapat berjalan sebagaimana mestinya.


Sebuah usia yang sangat matang untuk 'menjalani peran kenabian' secara kreatif di tengah masyarakat. Memang ada perbedaan yang cukup lebar antara situasi politis jaman St. Yohanes Pembaptis dengan realitas sosial politik dewasa ini. Namun, pola relasi dan tindakan yang diperagakan oleh mereka yang punya kuasa, rasanya tetap sama, cenderung koruptif, represif, manipulatif, distortif, dan otoriter. Karena itu, kehadiran figur yang tampil sebagai 'pembawa terang dan garam', tentu sangat urgen. Saya coba berusaha, dengan segenap kapasitas yang saya punyai untuk tampil sebagai 'peserta kebenaran' melalui medan literasi. Aktivitas literasi menjadi medium efektif untuk terus menggemakan suara kritis-profetis di tengah gurun kekuasaan yang tandus dan gersang akan sisi kebijaksanaan yang otentik.


Kendati Demikian, saya sadar bahwa sebenarnya saya ini tak ada apa-apanya jika tak mendapat "sokongan moral dan material" dari pihak lain. Keakuanku sangat ditentukan oleh intensitas dan kedalaman relasiku dengan sesama terutama mereka yang dari sisi emosional sangat "dekat" denganku. Sejarah diriku ditenun oleh "benang cinta" dari sesama yang merupakan "penjelmaan" dari Sang Cinta sendiri.


Karena itu, ikhtiar untuk 'menjabarkan spirit kehabisan ala Yohanes Pembaptis' mesti melibatkan banyak elemen masyarakat. Menyuarakan kebenaran mesti menjadi sebuah gerakan kolektif yang memiliki power untuk 'menekan' kekuasaan yang angkuh. Kolaborasi dan kerja berjejaring menjadi opsi politis yang berdaya mengubah keadaan.


Baca: Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, WALHI NTT Lakukan Beberapa Rangkaian Kegiatan di Kota Kupang


Saya kira sudah sepantasnya di hari spesial ini, saya menghaturkan limpah terima kasih kepada semua keluarga, sahabat, kenalan dan para pencinta anonim yang dengan caranya masing-masing, sudah memberikan "sesuatu" untuk pertumbuhan dan perkembangan diriku yang seutuhnya terutama dalam mendukung pilihan politis saya untuk tampil sebagai 'pembawa suara moral' di level kabupaten ini. Jasa dan cinta kalian terlampau agung dan mulia, untuk dilupakan begitu saja. Berharap Sang Cinta berkenan membalas semua budi baik anda semuanya.


Terima kasih yang sama juga saya haturkan kepada semua warga dalam jaringan (netizen) yang sudah "merangsang dan menggugah saya" dalam setiap percakapan dan diskusi intelektual dalam jagat maya ini. Respons warganet terhadap setiap tulisan kami menjadi "nutrisi" akademis yang menyehatkan bagi pergumulan intelektualitas saya terhadap setiap isu sosial-politik yang berseliweran di tingkat lokal kita.


Jujur saja, ucapan selamat dari teman-teman di laman fb ini, membuat aku "terjaga" dan sadar bahwa 'betapa egoisnya" diriku, sebab aku lupa bahwa hari ini adalah momen HUT kelahiranku yang ke-42. Sebuah "kesalahan eksistensial" yang tidak semestinya aku lakukan. Aku terlampau tenggelam dalam "rutinitas" yang kerap membosankan. Refleksi dan doa syukur merupakan sarana untuk 'melenyapkan' kejenuhan eksistensial itu. Saya kira, jiwa kita tentu membutuhkan asupan "nutrisi batin" yang menyegarkan. Jadi, sekali lagi, terima kasih banyak atas ucapan sekaligus "penyadaran" yang anda perlihatkan dengan sangat simpatik dan apresiatif hari ini.


Media sosial telah menjadi "wadah perjumpaan dan pertukaran gagasan yang produktif bagiku. Aku sangat merasakan besarnya "manfaat positif" dari keterlibatanku dalam "mengonstruksi produk diskursif" yang bermutu di ruang maya ini. Setidaknya, melalui media sosial aku bisa "menumpahkan" aneka kegelisahan dan keprihatinan berkaitan dengan situasi sosial yang patologis di sekitar kita. Berharap, cuap-cuap di media ini, bisa menjadi masukan positif bagi publik untuk mengambil langkah aksi dan gerakan yang konkret agar ideal kebaikan bersama (bonum commune) lekas terwujud.


Saya berpikir, angka 42 (tahun) lebih dari sekadar keterangan waktu. Batang usia sebesar itu, tak ada artinya jika potensi atau bakat "memanusia" dalam diriku, belum diaktualisasikan dengan optimal. Justru pada sisi inilah, hidup dan perjuangan ku belum seberapa. Aku merasa kontribusi dan tanggapanku terhadap "anugerah dari Sang Khalik", belum sesuai dengan harapan. Aku hanya seorang "guru honorer dengan performa yang sangat bersahaja", masih jauh dari standar guru yang profesional dan berkompeten. Sesekali, aku hanya bisa menulis yang mungkin bagi publik, tak ada nilainya dan kadang mendapat kesempatan dan kepercayaan sebagai Master of Ceremony (MC), moderator, narasumber sebuah hajatan formal. Selebihnya, aku hanya bergulat dan bergelut dengan tumpukan buku-buku kumal di pojok literasi keluarga. Lebih banyak waktuku diisi dengan "ngobrol akrab" bersama kedua buah hatiku (Patrick dan Vestro).


Baca: AkuKritis Maka Aku Ada : Sebuah Upaya Berfilsafat Di Era Media Sosial


Untuk itu, betapa aku berharap agar Tuhan berkenan "mengubah kelemahanku" menjadi kekuatan untuk memberi arti terhadap setiap sesi dan fase kehidupan yang akan kulalui. Tangan Tuhan sendirilah yang akan "menulis sejarah" indah dalam setiap tapak ziarahku di panggung fana ini. Aku hanya "alat" agar karya Tuhan itu menjadi tampak lebih sederhana di mata sesama.


Aku siap "mengikuti" petunjuk atau arah yang diatur oleh Tuhan dalam hidupku. Rancanganku tentu tidak sama dengan rancangan-Nya. Karena itu, terjadilah padaku menurut rancangan-Mu yang agung itu, ya Tuhan.


Sebagaimana kehadiranku di dunia ini yang "terlempar begitu saja", tanpa pernah aku kehendaki, maka aku serahkan sepenuhnya tentang "apa yang mesti aku lakukan dan yang terjadi" padaku di hari-hari yang akan datang. Aku sangat yakin bahwa Engkau pasti "mendesain" sebuah karya yang elok bagiku di hari esok. Segala puja dan puji serta syukur hanya pada-Mu, hamba lambungkan.


Akhirnya, peringatan dan kenangan hari ulang tahun yang ke-42 ini menjadi momentum untuk 'membaharui' komitmen dan pilihan hidup saya sebagai salah satu pengagum St. Yohanes Pembaptis. Tanggal 24 Juni di satu sisi dilihat sebagai rahmat, tetapi menuntut sebuah pertanggungjawaban etis-profetis di sisi yang lain. Tentu saja tidak berambisi untuk menjadi "serupa" dengan Yohanes Pembaptis, tetapi setidaknya nilai-nilai perjuangannya menjadi inspirasi dalam karya dan perjuangan saya di dunia ini.

 


*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Kidung Syukur" Tambah Umur

Trending Now

Iklan