Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Risna Membara Di Jalanan

Suara BulirBERNAS
Thursday, October 6, 2022 | 05:30 WIB Last Updated 2023-02-04T06:22:40Z
Risna Membara Di Jalanan
Risna Membara Di Jalanan



Mentari kini berada tepat di atas kepalaku. Panasnya semakin membakar kulitku, sebuah pertanda bahwa emosi yang menggelora dalam diri akan meledak. Niat untuk terbuka berbagi rasa dalam cinta dan cita berubah geram, karena seakan kami dianggap tidak pernah ada. Jadilah dalam sekejap mata, tindakan kami berubah garang, seperti anjing yang mengejar mangsanya. Kami menantang lelaki berseragam dan bersenjata lengkap yang berdiri tegak, angkuh menghadang di jalanan depan Istana Raja. Kami berteriak dengan keras sembari berharap suara lantang kami memecahkan gendang telinga mereka, menusuk jiwa mereka untuk peduli dengan rintihan teriakan kami.


Baca: Wanita Berbicara Dalam Diam


Kuingat di hari pertama aku bersekolah, Ibu telah bangun sebelum ayam berkokok. Dibakarnya kelapa, arangnya diambil untuk menyeterika seragamku, sekedar membuat seragam merah-putih terlihat baru. Direbusnya juga ubi sebagai bekal sekolahku hari itu. Serta yang paling tak bisa aku lupakan adalah saat jemari keriputnya perlahan-lahan mengusap kulit kanak-kanakku, keningku, membasuh tubuhku dengan air segar kemudian mengenakan padaku seragam merah-putih itu. 


Aku tahu Ibuku memiliki asa dan cinta berlipat ganda padaku. Segala hal terbaik yang dilakukannya bagiku seakan mengatakan: “Sudah selayaknya suatu saat nanti Ibu akan menerima yang terbaik darimu, Ris!” Semenjak adikku mati terhanyut arus lautan, dipundakkulah ditatakan cita-cita dan kehendak besar Ayah dan Ibuku. 


“Ris…, hidupmu harus lebih baik dari keadaan Ayah dan Ibumu ini”, pesan Ayahku sesaat sebelum aku melangkahkan kaki untuk berangkat ke sekolah. Siapa sangka sejak saat keramat itu, kata-kata pusaka Ayahku itu begitu kuat menguasai diriku, membakar semangat mudaku untuk segera berlari mengejar waktu, menuntaskan impian orangtuaku sebelum mereka benar-benar terkaram dalam lautan kematian. 


“Yah..Bu.., aku tak akan membiarkan hari-hariku berlalu kosong tanpa geliat dan giat meraih cinta dan cita, akan kusongsongkan hari depanku dan kubuat tua kalian merekah senyuman manis seindah mentari terbit menerangi jagad”, gumamku dalam hati.

* * * * *


Tiba-tiba bedah panas sialan itu lari menyusur tubuhku, menusuk dan merobek pori-pori kulit mudaku, membuatku sekejap mata rebah jatuh menahan perih tak tertahan. Kuregangkan tubuhku sekuat-kuatnya melawan sakit yang mengiris tulangku. Ketika aku menyadari cairan merah segar sedang mengalir deras membelai kulitku, saat itulah aku yakin terik mentari siang itu seakan-akan menjadi yang terakhir dalam hidupku. 


Malaikat maut kini seolah berdiri tegak di hadapanku, sedemikian dekat dan erat mengikat tubuhku yang mulai kaku. Yang ada selanjutnya hanyalah kesepian dan kesunyian, semuannya hitam, hening tak bersuara bahkan bersiul. Hanya ada bunyi detakan jantung yang penuh rintihan ingin bertahan dalam sekejap. Sayup-sayup terdengar tangisan histeris kawan-kawanku: “Risna tertembak….Risna tertembak.”

* * * * *


Kata siapa kami cuma orang muda tak berprinsip dan tak bertujuan, mudah dipermainkan? Kata siapa kami adalah generasi kelam yang jenuh duduk manis di kursi kuliah, lelah mendengarkan, layu menyimak dan kini mengobrol diri, teriakan dan amarah di jalanan cuma sekedar mencari sensasi dan imajinasi? Kata siapa tindakan kami hanyalah ekspresi liar masa dewasa kami yang belum kelar tereksplorasi? Serta kata siapa gerak agresif menyala-nyala kami hanyalah kata-kata miskin perubahan, sebuah kesia-siaan yang pantas disesali seumur hidup? 


Jika kamu pernah berfilosofi seperti itu, maka segeralah sesali dirimu sebab kamu tak pernah mau bergerak, kamu pandai bersembunyi dalam tempurung, tampil taat sebagai penghuni tanah air patron di bumi ini, padahal kamu sebenarnya takut, ya..benar-benar ketakutan. Kamu mesti ingat: “diam itu emas dan pertanda setuju.” Sekali kamu diam, orang-orang berdasi dan berjas itu akan menganggap semuanya baik untukmu dan saudaramu, sekalipun apa yang paling berharga milikmu bahkan jiwamu diambil, diperkosa, dikekang tanpa mau tahu siapa dirimu. Sadis bukan?


Baca: Kumpulan Puisi Terbaik Karya Siswa/i SMKN 1 Satarmese, Kelas X UPW 2


“Apa yang ingin kau perjuangkan, Ris?”, tanya Ayahku di saban senja saat tekadku sedang panas-panasnya membakar segala sum-sum tulangku. 


“Lihatlah dirimu, engkau hanya anak ingusan yang tak tahu apa-apa, tak memiliki apa, tak berarti di hadapan mereka. Dirimu hanyalah dahan kering yang kurus, sekali tebang tamatlah riwayatmu. Suaramu hanyalah bunyi kunang-kunang tak mengganggu, mundurlah kamu.” “Ris, kamu terlalu muda untuk dianggap, terlalu kurus untuk diperhitungkan, terlalu mudah untuk disingkirkan.”


Begitulah Ayahku, orang yang tidak memperhitungkan betapa tinggi asa dan citaku, betapa kuat cintaku untuk berperang habis-habisan, betapa besar hasratku sekalipun aku harus mati muda.


Ayahku terlanjur betah dalam ruang di mana manusia didaur ulang menjadi boneka-boneka bisu dan tuli. Kerjanya hanya berdiam diri, acuh terhadap dunia sekalipun menyakiti dirinya. Sekolahnya hanyalah belajar bagaimana menjadi diam, menutup mulut rapat-rapat dan berjalan seperti bebek-bebek yang betah bersama induknya seolah tak pernah terjadi apa-apa. Mungkinkah dia mencari kebijaksanaan dalam diam? 


Hasrat untuk berubah kalimat sesingkat apapun adalah dosa berat yang berujung maut. Ayahku terlalu pendiam untuk ukuran manusia bertaji dan berjenggot. Ah…sayangnya, aku tak ingin sepertimu Yah. Aku lahir di dunia berbeda, aku harus bergerak Yah.., bukan karena aku mengabaikan teladan dan cintamu, namun karena terlalu ironis bagiku apabila aku lahir sekedar makhluk pendiam. Salahkah aku, Yah?


Baca: 18 Puisi Terbaik Karya Yuliana Ida


Tadi malam ketika mataku belum terpejam, gelisah menanti hari bersejarah perjuangan kami merengkuh keadilan, diam-diam Ibu masuk kamarku, duduk tepat berhadapanku dan mengelus perlahan rambut keritingku. Ibu belum mengucapkan sepatah katapun, sorotan matanya was-was menatapku penuh kecemasan. “Bu ada apa?” tanyaku pelan. Mulut Ibu masih terkatup dalam diam. Tapi aku sadar, air mata yang sedari tadi menggumpal di pinggir matanya mulai mengalir deras membasahi pipi keriputnya. Kupeluk Ibuku erat-erat, merasakan kembali dekapan hangatnya, menghirup aroma tubuhnya dan saat itulah aku benar-benar yakin bahwa Ibu takut dan cemas kehilanganku. Aku seakan berada dalam memori masa kecilku bersama Ibu. 


“Ris.., sebulan lagi kamu akan diwisudakan. Ibu dan Ayahmu sudah lama menantikan saat itu”, gumam Ibuku pelan. Aku berdiam kaku tak berdaya, seakan-akan dibekukan dalam lemari pendingin. Tak sekali aku mengecewakan Ibuku yang bertahun-tahun harus bangun pagi-pagi sekali sebelum si jago berkokok, membuat puluhan gorengan dan menjualnya di pasar desa yang jauhnya belasan kilometer dari rumahku. Dan Ayahku yang berdarah perjuangan mengolah sebidang kecil tanah warisan nenek moyang demi membiayai sekolahku. Itu semua adalah kado terindah dalam hidupku. Bukankah aku durhaka jika tak memenuhi janjiku sendiri membuat bibir mereka merekah senyum manis seindah mentari terbit? Tapi apakah aku mundur dan mengingkari cita hatiku untuk bergulat menggegam kembali keadilan yang sudah sekian lama lari dari bumi ini? 


Ah…seandainya aku tak sempat berjanji manis membahagiakan mereka. Seandainya mereka tak menganggap kiprah jalananku esok hanyalah perbuatan bodoh seorang anak menggadaikan kebahagiaan mereka? Aku putuskan maju menantang bahaya sembari berharap suatu saat mereka tidak pernah menyesal bahwa aku pernah bersuara lantang dan berteriak di jalanan.

* * * * *


Entah berapa pasang tangan membopong tubuh mungil dan kurusku menerobos keramaian dan kerumunan masa yang belum letih berteriak: 


“Kapan kalian para penguasa peduli keadilan? Kapan kalian belajar berbagi dengan kami? Rakyat sudah terlalu sukar, jangan dibikin sukar lagi. BBM naik, bimoli naik, rakyat sengsara, kalian diliputi kenikmatan. Kembalikan hak hidup kami! Kembalikan sekarang! Kami masih ingin hidup sebagaimana layaknya kamu harus hidup!” 


Serentak perih luka menganga di dada. Tangisan berganti teriakan bangga meluap di dasar jiwa. Aku tak sendiri di jalanan ini, sungguh aku tak sendiri dan berharap selalu takkan sendiri. Meski hari ini aku harus menutup mata, takkan ada sesal sedikitpun bahwa aku pernah berdiri, maju dan bergerak di jalanan ini. 


Aku akan pergi ke keabadian berbekal keyakinan berlaksa-laksa, berselimut suka beribu-ribu karena masih ada saudara-saudaraku yang tak pernah berhenti bersuara lantang mengemis segenggam keadilan, meski harus menggandaikan kebahagiaan keluarga bahkan nyawa mereka sendiri. Ingatlah saja, bahwa seorang Risna pernah membara di jalanan ini, mengukir mimpi tentang sejahtera tanah air ini dengan darahnya sendiri.



Oleh: Yakobus Syukur, SMM

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Risna Membara Di Jalanan

Trending Now

Iklan