Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

18 Puisi Terbaik Karya Yuliana Ida

Thursday, August 4, 2022 | 12:10 WIB Last Updated 2023-02-10T06:34:01Z
18 Puisi Terbaik Karya Yuliana Ida
18 Puisi Terbaik Karya Yuliana Ida



18 puisi terbaik karya Yuliana Ida memiliki makna filosofis yang dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca.


Buah permenungan ini muncul dari pengalaman-pengalaman keseharian penulis. Untuk mengetahui isinya, baca puisi-puisi berikut ini dengan hati yang hening.


Bermuka Dua


Kau  seperti  angin  kenjang

Menyusut  di berbagai  celah  ruang

Kau pun kuibaratkan  besar  bagaikan  gajah

Namun  kau  tetap  bersemayan  di gua sempit


Baca: TENTANG ANAK


Kau  pandang  titik  celah  sesamamu

Tuk   kau  jadikan  pilar permusuhan

Kau  selalu  bernyanyi  riang

Tuk  merajut  tentang  sekitarmu


Elok  awan  yang ku pikir tulus

Air  terjun  yang   ku pikir  sejuk

Buah apel  yang  ku pikir  mulus

Sayang  semua  itu   suara  mataku


Aku  salah,  sungguh  tak  kusadari

Betapa  kau  membunuh  kebaikanku

Ketika  ku tahu  kau  hanyalah

Makhluk  bermuka  dua.


Harapan

                                                         

Hatiku  ingin  menjalani

Dengan  tumbuh  rasa

Sinar  seperti  matahari

Tuk  menerangi  jagat  raya  ini

Dan  tinggi  seperti  langit

Tuk  memetik  bintang-bintang

Masa  itu  akan  ku  gapai

Akan  kupeluk, ku simpan

Dalam  gubuk  jiwaku

Kekuatan  mengalir  di darahku

Berharap  satu  zaman  

Membawaku  sebuah  kebahagian


Suara Roh


Suara  gemuruh  berkata

Keringkan  air  matamu

Karena rohku  ada di setiap  nafasmu

Rangkulkan  tubuhku

Dengan  sebongka  iman  jiwamu

Hiasi  wajahmu

Senyuman  tuk  menghapal doa

Dan  nyanyian-nyanyian  indah

Sinar  kasihku  akan  menghebus

Perkara-perkara  dalam  kalbumu 

Yakinlah  semuanya  baik-baik  saja


Kami Tak Biasa Menatapmu


Dahulu  negeri  tercinta  ini

Negeri  yang  elok  rupa

Negeri  yang  memancarkan  keindahan   dan  kesejukan

Kesederhanaan, kesantunan,  kesetiakawanan,  keimanan

Tampak  dalam  setiap  jiwa  manusiaanya


Baca: Antologi Puisi Venansius Alfando Satrio


Tapi,

Kini  begitu  banyak  tingkah  laku  kotor

Dari  kemunafikan,  keegoisan,  kesombongan,  pemerasan,  dan  kebencian

Semuanya  itu  dibangga-banggakan

Citra  bangsa  diinjak-injakan

Kewibawaan  bangsa  sudah  tercemar  hanyalah  untuk  kepuasan  diri  semata


Wahai  orang-orang  berkepentingan  dimana  mata  hati  kalian?

Begitu  banyak  pengorbanan, semangat  juang  mempertahankan  kemerdekaan

Namun  itu  semua  hanyalah  cerita  belaka  bagi  mereka

Mengumbar-umbar  kebencian,  menjadi  suatu kepentingan

Itulah  kini  jiwa  negeri  kita


Kami  tak  bisa  menatap

Sungguh  tak  bisa

Kesedihan  di wajah  megahmu.


Tak Tahu Malu


Engkau  sengguh  menyakitkanku

Tubuh  dan  mata  hati  ini  terasa  perih

Ke sana ke mari  tetap  engkau

Menyelimuti  rasa  itu


Engkau    sungguh  membunuh  jiwaku

Sungguh dan  menyiksaku

Setiap  malam  berganti  siang

Tak  berhenti  juga


Kini, ku  benci, bosan,  dan  muak

Menatap semuanya  itu

Waktu  berganti  waktu  selalu  kau  hadir

Menyusik  setiap  mimpi mimpi  indah

Kau  tak  tahu malu.


Permadani Cinta


Dingin  angin  malam  ini

Menyapa  jiwaku

Namun  tak  mendinginkan  hatiku

Yang  kau  hangatkan


Merasa  terhempas  kelakianmu

Dengan  setiap  tindakanmu

Betapa  diriku  sang  kekurangan

Bahagianya  kau  memainkan


Siapa  diriku  meminta  buih   menjadi  permadani

Seperti  cerita  dalam  novel  cinta

Juga  mustahil  bagiku  menggapai  bintang  di langit

Untuk  menjadikan  bongka  harta

Memilikimu  sungguh  tak mampu


Diriku  telah  jatuh  cinta  pada  insan

Sepertimu  seanggun  bidadari  

Seharus  mencerminkan  diriku

Sebelum  tirai  hati ku buka

Untuk  mengintaimu.


Jeritan Hati


Aku  berjalan  menuju  di  tepi  danau

Menyaksikan  rumput-rumput  hijau  nan  elok

Namun  kehidupan  berkata  tak  ada  rumput  mekar

Tuk  kau  jadikan  sanding  harapan


Aku  ingin  bernyanyi  di  pentas  ramai

Menuangkan  biji-biji  permata  nan  cahaya

Namun  takdir  berbisik tak  ada  tempat  istimewa

Tuk  kau  jalankan  nafas  kehidupan


Oh  sang  pelagi,  warnailah  hari-hariku

Tuntunlah  secercha  cahaya

Tunjukanlah  pada  semesta

Jika  aku  ini  pemulung  jalan


Biarkan  burung-burung  berkicau  riang 

Kupu-kupu  menebarkan  sayap

Angin  mengebus  celah  raga  ini

Biarkanlah  tersisa   jangan  kau  merenggut  lagi


Jasa Ibu 


Air  susu  bagaikan  aliran  sungai  di  dalam  surga

Yang  membesarkan  kita  sehingga  mengenal  arti  kehidupan

Agunglah  jasa  ibumu

Setitik  air  mata  yang   tumpah  dari  perbuatanmu

Samalah  pedihnya  seperti  peluru  menembus  dadamu


Baca: Perjumpaan Terakhir Di Bawah Pohon Ara


Seseorang  ibu  sanggup  memelihara  sepuluh  orang  anak

Namun  sepuluh  anak  belum  tentu  memelihara  seorang  ibu

Hargailah  kedua  ibu  dan  bapak

Sehingga  akhir   hayat  mereka

Ibu  maafkan  aku 


Sahabat Sejati


Saat  kau  dihadapanku

Langsung  menunduk

Aku  tahu  hatimu  gelisah

Itulah  penyebabnya


Bagaimana  malam-malam  kita  dapat  lalui

Bagaimana  aku  mampu  bertahan

Sang  malam  hanya  dirimu  aku  kenang

Serahkan  hatiku  dengan  mencintaimu

Telah  lama  hatiku  jalan  dengan  janji  setia


Tengah  perjalanani  jangan  ditinggalkan

Kutunjukan  apa  yang  kurasakan

Meskipun  berbicara  pelan-pela

Lama  ku menantikanmu

Bahwa  diriku  sedang   jatuh  cinta


Cinta Berkhayal 


Sembunyikanlah  aku  di kelopak  matamu

Sehingga  selalu  bersemayam dibayanganku

Kuberbisik  pada  angin  di ruang  hatimu

Tuk  menebarkan  selendang  merahku


Dalam  kesulitan  pun   hati  tetap  senang

Karena  aku  mulai  tergila-gila,  tenggelam  dalam  senyumanmu

Dalam  kesetiaan  ada  kedamaian

Seperti  terbakar  api  berlampis  salju


Namun  dalam  kegalauan

Bagaikan  lagu  yang  tidak  dinyanyikan

Rasa  dan  lihatlah

Seperti  musim  kemarau  dan  musim  hujan

Sungguh  aku  terjebak  dalam  kisah  malam.


Facebook 


Banyak  yang  menikah  karenamu

Banyak  perselingkuhan  karenamu

Juga  banyak  bercerai    karenamu

Apa  itu  kemauanmu semata?


Kami  akui  banyak  teman  karenamu

Banyak  permusuhan  karenamu

Juga  banyak  cemburu  karenamu

Apakah  mungkin  itu  takdirmu?


Ada  yang  bodoh  jadi  pintar  karenamu

Juga  yang  pintar  jadi  bodoh  karenamu 

Kau  memadam  pelita  hidup  kami 

Sungguh  menyesatkan


Waktu 


Mengayunkan  kaki

Berjalan,  berlari

Namun  tak  mampu  lakukan  waktu  yang  sama

Biarlah  kuberdiri   saja  di sini

Berseru  pada  detik

Biar  sejenak  dia  berhenti

Tuk  temukan  kita  di  penghujung  hari

MIMPI 

Aku  membayangkan  embun

Adalah  mata  Tuhan

Menyiratkan  keteduhan

Bagi  jiwa  terantuk  keletihan

Aku  merapal  doa  tentangmu  di  bibir  pagi


Ketika  sepi  memanggut  mimpi

Aku  masih  mengemas  mimpi  semalam

Berharap  embun  tak  bergebas  pergi

Kutatap  indah  pagi  ini

Setetes  embun  jatuh  di  dedaunan


Kudekati  tuk  basahi  raga  ini

Kesejukan  terasa  mengalir  seluruh  tubuh  ini


Tak Sempat


Tak  banyak  bisa  ku lakukan  untukmu

Saat  ku menyadari,  ku  mulai  merapu

Dan  mungkin  tak  akan  pernah  sempat

Menyakinimu  bahwa  nafas  terakhir

Dalam  hidupku  adalah  kebahagian  dalam  dirimu.


Ketenangan


Melangkah  hari  tepik  sepi

Merenda  cipta,  lenyapkan  segala  putus asa

Menjalankan  waktu,  hembuskan  segala  semu

Jelang  fajar  ceriah,  merakit  angin  cerah

Berharap  selangit  angin  biru


Dirinya 


Kedatanganmu  sungguh  tak  ku sadari

Bagaikan  jiwa  mengalir darah

Ku  pandang  dibalik  tirai  kelambu

Keindahan  malam  menyelimuti

Penuh  bintang  sinar  di  awan


Ku terpaku  dirimu  lintas  dalam  hening  sepi

Ku  sapa  dan  kau pun  menoleh

Dengan  senyuman  membuat  dahaga  jiwa

Mengikuti  jejak  langkahmu

Berusaha   bangun  dan  berkata

Siapakah  dirimu?


Kehilangan


Cerah  beralih  cepat  ke  mendung

Begitu  juga  kicau  burung mulai  meredup

Suaranya  indah di pagi  hari

Angin  yang  begitu  cepat  menyapa

Kini  jadi  bertiup  semakin lambat


Jika  tersenyum  itu  mulai  terbungkam

Berarti  alampun  mulai  tak  peduli  lagi

Hari  berganti  hari,  malam pun  berganti  siang

Tak  kunjung  ada  petanda

Juga  sosok  itu  ikut  pergi  jauh  dari  hidupnya.   


Membunuh Jiwa 


Semenjak bulan  dekat memandangku

Raga pun kian memanas 

Seakan membunuh jiwa ini

Aku lelah dan ingin menjauhnya


Hidup tak berarti saat kau dekap diriku 

Seakan kau hampaskan begitu saja

Kau dinjak  seperti pasir tak punya nyawa

Kau tak menginginkanku hidup dalam tujuan


Hati perih, luka dan kecewa, berantakan

Seakan kau sengaja 

Apa salahku, coba kau siratkan 

Sikap keanehanmu mengingtkan aku 

Pada seorang penjundang 


kau seperti keong, menjilat saat mencari makanan

Sosok dirimu sebenarnya tak pantaskan kusebut binatang 

Namun belagakmu sungguh sempurna

Membuat penglihatanku seakan buta dalam kelicikan lidahmu.  


Bulan Tak Bercahaya 


Kujalan dipinggir setapak gelap

Mengusap keheningan malam

Dalam memeluk  kesedirian 

Seakan rapu tak bisa melangkah


Oleh: Yuliana Ida

Penulis adalah Guru SMKN 1 Satarmese
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • 18 Puisi Terbaik Karya Yuliana Ida

Trending Now

Iklan