Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Labuan Bajo "Berdemonstrasi Lagi"

Suara BulirBERNAS
Thursday, November 10, 2022 | 15:10 WIB Last Updated 2023-02-04T03:35:37Z
Labuan Bajo "Berdemonstrasi Lagi"
Labuan Bajo "Berdemonstrasi Lagi"



Oleh: Sil Joni*


Awal Agustus 2022, sejumlah elemen masyarakat sipil, melakukan gerakan protes atas kebijakan Pemerintah Provinsi Pemprov) NTT yang ditopang oleh pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menaikan tarif tiket masuk Taman Nasional Komodo (TNK) sebesar 3, 75 juta per orang per tahun atau 15 juta per 4 orang untuk tamu grup. Gerakan resistensi itu tidak hanya dalam bentuk 'demonstrasi', tetapi juga berusaha untuk 'memboikot' pelayanan kepariwisataan selama satu bulan.


Baca: "Pahlawan Pariwisata" Mabar?


Aksi 'unjuk rasa' itu direspons secara tegas untuk tidak dibilang kasar oleh aparat keamanan. Tindakan represif pihak penegak, ditengarai begitu vulgar diperlihatkan saat itu. Sejumlah aktivis yang umumnya para pelaku wisata, ditangkap dan ditahan di markas kepolisian resort (Polres) Manggarai Barat (Mabar). Tidak hanya itu, beberapa nama ditetapkan sebagai tersangka dan saksi. Yang paling dramatis adalah sejumlah aktivis yang ditahan itu, diduga 'dipaksa' untuk membuat video pengakuan bahwa mereka 'mendukung' kebijakan Pemprov itu.


Pasca 'penahanan' para demonstran itu, banyak yang menduga, dunia gerakan di Mabar bakal tak bergairah lagi. Boleh jadi, nyali para aktivis sedikit ciut dan berpikir lebih serius lagi untuk melakukan aksi 'turun ke jalan' di masa yang akan datang.


Ternyata anggapan itu tidak punya dasar pijak yang kuat alias salah besar. Dunia gerakan di Mabar 'tidak pernah mati'. Hari ini, Rabu (9/11/2022), persis satu hari menjelang Hari Pahlawan, sejumlah aktivis yang tergabung dalam wadah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) cabang Mabar, kembali melakukan aksi demonstrasi.


Kali ini, bukan soal kebijakan tarif masuk ke TNK yang ditentang, tetapi kebijakan Bupati Mabar yang menaikkan hampir 1000 persen Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Tentu, mereka sudah membuat kajian yang komprehensif dan mendalam perihal dampak negatif dari kebijakan itu sehingga mempunyai cukup alasan untuk menolaknya.


Tulisan ini tidak bermaksud 'menggeledah lebih jauh' sisi plus dan minus dari kebijakan itu. Fenomen 'bangkitnya dunia gerakan' di Mabar pasca tindakan represif aparat keamanan pada awal Agustus lalu, menjadi fokus perhatian saya.


Baca: Teater Brutalitas di Water Front City


Kelompok kritis di Mabar tidak bisa 'dimatikan' melalui aksi kekerasan para aparat. Sebelum aksi demonstrasi KNPI ini digelar, masih segar dalam ingatan kita, sekelompok anak muda yang tergabung dalam wadan Pemantau Keuangan Negara (PKN) melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Mabar. Mereka mengkritisi dan menentang kualitas pengerjaan proyek infrastruktur jalan yang jauh dari harapan.


Tak terlihat raut 'ketakutan' dalam diri para aktivis itu. Bahkan ketua PKN, Lorens Logam, seperti yang diberitakan beberapa media dalam jaringan (daring) sempat bersitegang dengan Kepala Dinas (Kadis) PUPR Mabar. Pertengkaran antara keduanya nyaris berujung duel fisik. Intinya adalah nyali para aktivis dalam mengontrol dan mengawal kinerja para pengambil kebijakan tetap tegar. Mereka dengan gagah dan heroik melakukan kritik dan menentang setiap kebijakan yang cenderung merugikan kepentingan publik.


Saya berpikir, aksi demonstrasi menolak atau menentang implementasi sebuah kebijakan publik itu, lebih dari sekadar 'penggunaan hak berekspresi'. Aksi itu merupakan salah satu sarana untuk menyuarakan pikiran kritis kepada para pengambil kebijakan. Publik mesti proaktif dalam mengkaji kelemahan sebuah kebijakan dan mengawal setiap kebijakan yang sudah ditelurkan oleh para pembuat kebijakan.


Ketika DPRD tidak terlalu optimal dalam menjalankan fungsi kontrolnya, maka kehadiran elemen masyarakat sipil yang kritis dan militan, menjadi sebuah keharusan. Peran kritis itu, tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke pihak legislatif dan pers. Para aktivis yang bergiat dalam dalam organisasi kepemudaan yang independen mesti mengambil inisiatif untuk tampil sebagai kekuatan penekan (pressure groups).


Baca: Pariwisata yang Rentan Bencana (Politik)


Sangat riskan jika kelompok kritis tak lagi 'bersuara lantang'. Masalahnya adalah kekuasaan, dalam atas praksis, bersifat koruptif. Ada tendensi untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk memenuhi dan melayani kepentingan yang bersifat pragmatis dan parsial. Masyarakat sipil yang kritis mesti hadir secara aktif untuk memastikan tendensi penyalahgunaan kekuasaan itu tidak terjadi yang berdampak buruk bagi perwujudan kepentingan bersama (bonum commune).



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Labuan Bajo "Berdemonstrasi Lagi"

Trending Now

Iklan