Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Mengabadikan Tubuh

Suara BulirBERNAS
Friday, February 17, 2023 | 13:25 WIB Last Updated 2023-02-17T06:52:39Z

Oleh: Sil Joni*


Mengabadikan Tubuh
Mengabadikan Tubuh (foto: ist.)




Setiap 'hajatan formal' yang diselenggarakan oleh sebuah instansi, baik milik negara maupun swasta, pasti dilengkapi dengan 'sesi pengambilan gambar'. Pihak sponsor atau para penentu kebijakan, tidak terlalu percaya dengan 'kata-kata' yang ditulis dalam sebuah laporan resmi.


Baca: Pastor Tidak Sedang Baik-Baik


Laporan itu, mesti dilengkapi dengan 'foto-foto' yang dibidik secara kreatif pada momen itu. Tubuh peserta dan penyelenggara mesti 'terpampang nyata' dalam pose yang dijepret dari pelbagai sudut itu. Dengan demikian, tubuh juga menjadi sebuah dokumen otentik sehingga hajatan itu jauh dari tafsiran yang bias.


Rasanya, ada yang kurang jika sebuah 'seremoni resmi' tidak dilengkapi dengan foto pendukung. Karena itu, pihak panitia biasanya menyisipkan 'ritual foto bersama' dalam rundown acara itu. Pose dalam aneka gaya, sudah menjadi salah satu 'bukti otentik' bahwa sebuah kegiatan telah digelar.


Apakah dengan 'menghadirkan badan' dalam proses pendokumentasian sebuah program, ada semacam penghargaan yang lebih terhadap tubuh? Benarkah status 'raga' telah direhabilitasi sebagai entitas yang tak terpisahkan dari pikiran? Pikiran yang terekspresi dalam 'teks laporan' akan pincang jika tidak ditopang oleh badan. Untuk itu, badan dan pikiran itu, harus sejalan.


Kita tahu bahwa tubuh selalu dipandang secara berbeda dalam setiap zaman, sepanjang sejarah. Diskursus atas tubuh selalu berkembang dan memunculkan suatu gagasan baru. 


Dalam literatur filsafat, wacana tentang tubuh, terpetakan dengan jelas. Pada zaman Yunani klasik, diskursus filosofis itu berfokus pada ide dualisme tubuh dan jiwa. Esensi tubuh selalu dikontraskan dengan jiwa. 


Baca: "Arisan": Lebih dari Sekadar Kegiatan Kumpul-kumpul


Sokrates yang dikenal sebagai 'bapak filsafat' misalnya, beranggapan bahwa tubuh adalah penjara bagi jiwa. Tubuh hanya dilihat sebagai 'tabung' tempat jiwa bersemayam. Isu dualisme tubuh-jiwa diusung oleh Plato


Dengan tegas, beliau menyatakan bahwa jiwa lebih unggul dari tubuh. Karena itu, keindahan yang tertinggi dan absolut terletak pada keindahan jiwa. Meskipun Plato sendiri tidak menolak keindahan tubuh, namun baginya keindahan tubuh adalah jembatan menuju keindahan sejati, ialah keindahan jiwa. Sedangkan Aristoteles, menganggap bahwa tubuh dan jiwa adalah dualitas yang tak terpisahkan.


Pemikiran filosofis pada zaman  Yunani kuno ini, diadopsi oleh sejumlah pemikir kekristenan awal dalam refleksi teologi.  Perbincangan mengenai tubuh bertumpu pada dogma teologis yang mengacu pada kesucian dan spiritualitas. 


Di satu sisi, tubuh dipandang sebagai bait Tuhan. Tetapi, pada sisi lain, dan ini yang paling dominan, tubuh dipandang sebagai musuh karena tubuh dapat membawa jiwa pada kenikmatan dunia dan membawa diri melenceng dari jalan Allah. Dengan rumusan lain, badan dianggap sebagai 'sumber dosa'.


Boleh dibilang, pada era ini, tubuh benar-benar tersubordinasi dan diasingkan oleh wacana spiritualitas dan keagamaan. Betapa tidak.  Tubuh dianggap mampu membawa manusia jatuh ke dalam kubangan dosa dan kenikmatan dunia. Hidup dalam kesucian adalah hidup yang 'mengingkari' keinginan daging.


Pandangan negatif tentang badan, dalam skala tertentu, masih membekas hingga dewasa ini. Meski demikian, umumnya saat ini, para pemikir cenderung melihat tubuh secara positif. Tubuh adalah cara berada manusia dalam dunia. Manusia tidak mungkin 'berkelana' di bumi, tanpa badan.


Kembali ke topik di atas. Apakah tindakan 'mengabadikan tubuh' dalam bentuk pengambilan gambar (foto), bisa dibaca sebagai manifestasi pandangan yang positif terhadap tubuh? Apakah 'tubuh' yang ada dalam foto bisa mewakili diri seseorang dan karena itu dianggap 'telah hadir' dalam sebuah kegiatan?


Tidak mudah untuk 'menjawab secara defenitif' terhadap pertanyaan itu. Satu yang pasti bahwa pada era teknologi digital ini, tubuh manusia diarak ke ruang publik sebagai 'alat bukti' bahwa kita telah mengikuti atau melaksanakan kegiatan. Tubuh, bahkan menjadi 'obyek tontonan' dalam ruang digital saat ini.


Jika tulisan dilihat sebagai instrumen 'mengawetkan pikiran', maka foto bisa menjadi sarana 'mengekalkan' raga. Dalam dan melalui selembar gambar, terungkap secuil 'kisah dan suasana' tertentu dari para pelaku yang terlibat. Bahkan ada kesan bahwa foto jauh lebih 'bertenaga' dalam membahasakan pesan, ketimbang kata-kata.


Baca: Tahun Politik, Pers Bebas dan Demokrasi Bermartabat


Tidak heran, jika saat ini mayoritas 'warga-net' lebih terpesona untuk 'berswafoto' dan memamerkannya ke ruang digital ketimbang 'membagi' pikirannya dalam bentuk tulisan. Umumnya kita lebih suka 'merespons' atau memberikan pendapat tentang foto, ketimbang sebuah artikel opini yang bermutu. Daya tarik foto, rasanya sulit ditandingi oleh 'narasi' yang dikonstruksi dalam pelbagai gaya.


Menguatnya gejala 'mengabadikan tubuh' melalui lensa kamera digital, dengan demikian, bisa berimplikasi pada 'meredupnya' pesona budaya tulis. Kultur literasi, bakal mengalami 'nasib tragis' sebab kalah bersaing dengan dunia fotografi.




*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mengabadikan Tubuh

Trending Now

Iklan