Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Tahun Politik, Pers Bebas dan Demokrasi Bermartabat

Suara BulirBERNAS
Thursday, February 9, 2023 | 12:33 WIB Last Updated 2023-02-09T05:52:38Z

Oleh: Sil Joni*


Tahun Politik, Pers Bebas dan Demokrasi Bermartabat
Tahun Politik, Pers Bebas dan Demokrasi Bermartabat



Pertama nian, kita mengucapkan selamat dan profisiat kepada segenap insan pers Indonesia umumnya dan para awak pers yang berkarya di Manggarai Barat (Mabar) khususnya. Berharap karya jurnalistik yang berbobot, terus diproduksi demi membetulkan jalannya roda demokrasi di level lokal.


Baca: Menjadi Pers Publik (Selamat Hari Pers Nasional)


Tahapan kontestasi politik Pemilihan Umum (Pemilu) yang digelar secara serentak dan serempak di semua level, akan dimulai pada tahun 2023. Para  aktor dan broker yang berlaga dalam hajatan itu, mulai 'pasang kuda-kuda politik' pada tahun ini. Karena itu, sejumlah analis dan media, membabtis tahun 2023 sebagai "tahun politik".


Hari Pers Nasional (HPN) tanggal 9 Februari 2023, secara nasional diperingati dan dirayakan  di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Tema HPN edisi ke-28 ini adalah: “Pers Bebas, Demokrasi Bermartabat”.


Tema HPN di atas, secara implisit memberi pesan tegas bagaimana peran yang semestinya dimainkan oleh institusi pers. Profesionalisme dan independensi pers dalam merespons kompetisi politik itu, sangat memengaruhi praksis demokrasi yang bermartabat. Untuk menjelmakan statusnya sebagai pilar ke-4 demokrasi, maka pelbagai bentuk intervensi dan represi, baik dari penguasa maupun pebisnis media, mesti disingkirkan. Pers harus bebas. 


Pers tidak boleh diperalat untuk menggemakan kepentingan politik yang bersifat parsial dan pragmatis baik dari partai politik maupun dari para pemain politik. Untuk itu, diharapkan para jurnalis tidak 'takluk' di bawah ketiak penguasa. Sebaliknya, mereka mesti tampil sebagai 'lalat liar' yang terus mengusik kenyamanan para pemuja status quo.


Harapan ini rasanya tidak berlebihan. Mengapa? Selain untuk memperingati peran dan sejarah penting pers secara nasional, HPN juga dihelat sebagai ajang silaturahmi dan konsolidasi seluruh komponen pers di tanah air, dalam rangka kemajuan pers nasional dan kepentingan bangsa Indonesia secara umum. Tentu, jika ditarik ke konteks Mabar, HPN menjadi momentum untuk merefleksikan dan memproyeksikan peran pers dalam menghidupkan tradisi demokrasi yang deliberatif dan partisipatoris di Kabupaten ini.


Saya kira, tak perlu dibantah bahwa kebebasan merupakan substansi atau roh bagi lembaga pers. Diktum filosofis ini, telah diakomodasi dan dilegitimasi dalam regulasi formal di negara kita. Pasal 2 UU No. 40/1999 tentang Pers misalnya, menyebut kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.


Baca: Satu Lembar Kelor, Beta Hidup Berpuluh Tahun


Kebebasan (freedom) adalah kunci menguatnya pers yang sehat dan berkualitas. Tanpa adanya ruang kebebasan yang memadai, pers tidak akan pernah leluasa bergerak dalam menjalankan ragam fungsinya, terutama fungsi pengawasan (surveillance) (Lasswell, 1960; Wright, 1986). Tentu, yang dimaksud di sini adalah bebas yang bertanggung jawab, yakni berorientasi pada tanggung jawab sosial (social responsibility). Pers mesti mengabdi pada kebenaran yang umumnya bermuara pada kepentingan publik.


Dalam beberapa tahun terakhir, disinyalir bahwa demokrasi kita mengalami stagnasi untuk tidak dibilang regresi. Salah satu indikatornya adalah kuatnya campur tangan negara dalam 'mengekang kebebasan pers' melalui pelbagai produk regulasi formal seperti Undang-undang Informasi Teknologi dan Elektronik (ITE). Padahal, kita tahu bahwa demokrasi yang bermartabat akan sulit terwujud tanpa pengawasan yang optimal dari pers, dan kebebasan yang bertanggung jawab adalah acuan praksisnya. Kebebasan pers dan demokrasi ibarat dua keping mata uang. Demokrasi tidak akan bisa digdaya berjalan tanpa adanya pers yang bebas dan kebebasan pers tidak akan tercapai tanpa sistem (pemerintahan) yang demokratis.


Kebutuhan dan kepentingan publik merupakan titik kiblat pemanifestasian idealisme pers. Pers yang 'memunggungi' denyut kehidupan kaum jelata, cepat atau lambat akan kehilangan pembaca setianya. Media semcam itu sedang 'membunuh' dirinya sendiri sebab mengingkari fitrahnya sebagai 'medium pengeras suara publik'. Oleh sebab itu, sebagai pilar keempat demokrasi, selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif, pers diharapkan dapat terus mendorong terwujudnya demokrasi berkualitas yang ditandai dengan penghargaan yang tinggi atas harkat dan martabat rakyat sebagai soko guru demokrasi.


Menurut  Dewan Pers, apabila kemerdekaan pers semakin menguat, niscaya kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin demokratis akan pula semakin meningkat. Mengapa? Setidaknya, ada tiga tesis dasar untuk menjustifikasi pernyataan itu. Pertama, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.


 Kedua, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ketiga, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (UU No. 40/1999 tentang Pers Pasal 4).


Meski demikian, dalam level praksisnya, kebebasan pers itu, belum terwujud secara optimal. Kasus kekerasan terhadap jurnalis masih kerab terjadi. Intimidasi atau ancaman 'mempidanakan media' yang dilayangkan pihak penguasa, masih terdengar.


Lalu, bagaimana sesungguhnya realitas kebebasan pers di Indonesia jika diukur dengan menggunakan indikator tertentu. Tentang potret kebebasan pers di Indonesia, setidaknya kita dapat merujuk hasil pemeringkatan Indeks Kebebasan Pers Dunia 2022 oleh Reporters Without Borders (RSF) tahun 2022. Hasilnya, Indeks Kebebasan Pers (IKP) di Indonesia meraih skor 49,27 tahun 2022 dari sebelumnya mengantongi skor 62,60 pada tahun 2021.


Dari total 180 negara, posisi ini menempatkan Indonesia berada pada peringkat ke-117 tahun 2022 dari sebelumnya di peringkat ke-113 tahun 2021. Pemeringkatan ini diukur dari beberapa indikator, yakni kondisi politik, hukum, ekonomi, sosial, dan keamanan (Kompas, 3/5/2022).


Sementara survei nasional dari Dewan Pers tentang Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) tahun 2022 menjadi 77,88 persen, naik 1,86 poin dari tahun 2021. Capaian ini menempatkan pers nasional berada dalam kondisi ‘cukup bebas’ untuk mengekspresikan informasi dan berita yang disajikan (Dewan Pers, 2022).


Untuk indeks demokrasi di Indonesia, survei The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam Indeks Demokrasi 2021 menunjukkan skor rata-rata Indonesia mencapai 6,71 (skala 0-10). Artinya, makin tinggi skor, makin baik kondisi demokrasi suatu negara. Skor tahun 2021 naik dibandingkan tahun 2020, yakni 6,30.


Hasil survei ini menempatkan Indonesia berada di peringkat 52 dari 167 negara yang dikaji, naik dari sebelumnya tahun 2020 di peringkat 64. Indonesia masuk 10 negara dengan kinerja peningkatan skor terbaik.


Namun demikian, Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (Kompas, 15/2/2022). Sementara survei nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2020 menyebut untuk aspek kebebasan sipil tercatat skor 79,4, aspek hak-hak politik mencapai skor 67,85, dan aspek lembaga demokrasi meraih skor 75,66 (BPS, 2020).


Iklim politik yang bebas dan demokratis, mesti dimaknai secara produktif oleh para pegiat media. Kebebasan pers menjadi tak ada faedahnya jika mutu kerja para juru warta masih jauh dari yang diharapkan. Wacana tentang peningkatan kompetensi, profesionalisme dan integritas jurnalis menjadi relevan dan urgen di tengah menguatnya proyek demokratisasi dalam pelbagai sendi kehidupan saat ini.


Diskursus perihal mutu wartawan kian urgen di tengah arus kebebasan yang kebablasan saat ini. Dengan kualitas dan integritas yang kredibel, diharapkan agar cerita tentang penyalahgunaan kebebasan' oleh awak media, tidak terdengar lagi. Karena itu, sebagai ujung tombak di lapangan, wartawan dituntut memiliki kualitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya di bidang jurnalistik. Kompetensi wartawan tidak bisa ditawar lagi guna menerapkan  profesionalisme secara konsisten. 


Secara kuantitas, media pers mengalam lonjakan pertumbuhan pasca-reformasi 1998. Media baru, terutama media dalam jaringan (daring) bertumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Para teoretisi  media  menamai situasi semacam ini sebagai era disrupsi informasi. 


Menghadapi situasi seperti ini, wartawan profesional dihadapkan pada kompetensi terhadap kesadaran (awareness)–etika dan hukum; kompetensi pengetahuan (knowledge)–,pengetahuan umum dan pengetahuan khusus maupun kompetensi keterampilan (skills)–menulis, wawancara, riset, investigasi, serta penggunaan teknologi.


Berita menariknya adalah negara memfasilitasi atau setidaknya membuka ruang bagi lembaga swasta untuk melaksanakan program sertifikasi untuk beberapa profesi, termasuk profesi jurnalis. Sertifikasi kompetensi untuk mengakselerasi kualitas kompetensi wartawan menjadi sebuah keniscayaan. Dalam dan melalui proses sertifikasi, bisa dilihat kemajuan kinerja wartawan. Yang mau dilihat adalah bagaimana awak media menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik dan menghindarkan penyalahgunaan profesi.


Setidaknya, sampai detik ini, ada sekitar 30 lLembaga Uji Kompetensi Wartawan (LUKW) berlisensi dari Dewan Pers. Melalui LUKW tersebut, proses sertifikasi wartawan dilakukan melalui mekanisme Uji Kompetensi Wartawan (UKW), sesuai jenjang kompetensinya, yakni wartawan muda, wartawan madya, dan wartawan utama.


UKW mengacu pada Peraturan Dewan Pers No. 1 tahun 2010, yang diperbarui dengan Peraturan Dewan Pers No. 4 tahun 2017 tentang Sertifikasi Kompetensi Wartawan. Hingga awal Januari 2023, baru sekitar 23.300 wartawan atau kurang dari 10 persen dari keseluruhan 235 ribu wartawan di Indonesia. Jumlah media di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 47 ribu di mana 43 ribu (91,5 persen) di antaranya adalah media online.


Pada HPN 2023 kali ini kompetensi profesional wartawan menjadi lebih mendesak. Optimalisasi kompetensi wartawan dan realitas politik (tahun politik) yang sedang terjadi akan melahirkan tantangan baru. Padatnya aktivitas politik pada tahun 2023, menuntu wartawan untuk memperlihatkan kecakapannya dalam menyuguhkan pemberitaan yang objektif, akurat, berimbang, dan tidak tendensius.


Adanya era disruptif eksistensi pers dan profesi wartawan media (terutama media mainstream) juga makin diuji. Meminjam pandangan Ignatius Haryanto (2014; Wijaya & Yudiningrum, 2016), bahwa sertifikasi wartawan memang diharapkan untuk menuju perbaikan profesionalitas wartawan di Indonesia, bukan malah untuk disalahgunakan. Dengan kompetensi yang lebih baik dapat terbangun demokrasi yang bermartabat.


Baca: Engkau Tidak Akan Mati


Saya tidak tahu pasti apakah semua awak pers yang berkarya di Mabar, sudah tersertifikasi atau belum. Kita berharap agar para insan pers terus termotivasi untuk meningkatkan kapasitasnya melalui program sertifikasi tersebut.


Tak ada maksud untuk mereduksi dimensi kualitas jurnalis pada 'selembar sertifikat'. Tetapi, setidaknya ketika seorang jurnalis mengikuti proses sertifikasi dan uji kompetensi secara serius, potensi terdongkraknya mutu kerja wartawan semakin tinggi.


Meskipun begitu, tetap diakui bahwa betapa sulitnya seorang wartawan untuk keluar dari situasi dilematis. Ketika pers berkembang menjadi industri dengan munculnya perusahan media yang mungkin berafiliasi dengan penguasa politik, idealisme wartawan akan diuji. Apakah wartawan tetap setia menjalankan peran kritis-profetis, atau tunduk di bawah arahan pemilik media yang notabene seorang politisi?


Menghadapi 'tahun politik 2023', menarik untuk ditunggu kira-kira ke mana arah pendulum pemberitaan pers (lokal) kita? Jika mereka cenderung melayani dan meresonansikan kepentingan pragmatis dari para aktor politik, maka persis pada saat itu, demokrasi akan cacat bahkan mati. Praksis demokrasi tidak akan naik ke level bermartabat, jika pers tidak netral, tidak profesional dan tidak berintegritas dalam meracik berita.




*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Tahun Politik, Pers Bebas dan Demokrasi Bermartabat

Trending Now

Iklan