Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Mencicipi Surga di Dunia (Konsep Kebahagian dan Aktualisasinya dalam Kehidupan Sehari-hari)

Tuesday, April 12, 2022 | 18:50 WIB Last Updated 2022-04-12T11:50:40Z

 

Mencicipi Surga di Dunia (Konsep Kebahagian dan Aktualisasinya dalam Kehidupan Sehari-hari)

Mencicipi Surga di Dunia (Konsep Kebahagian dan Aktualisasinya dalam Kehidupan Sehari-hari)

Oleh: Afri Ampur*

Kebahagiaan adalah aktivitas keutamaan yang harus dikerjakan terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari. 

Surga diidentik dengan bahagia. Bahagia adalah sebuah situasi yang dirindukan oleh semua orang. Dengan kata lain, bahagia adalah tujuan setiap peziarahan hidup manusia sebab tidak ada satu pun manusia yang tidak merindukan kebahagiaan. Aristoteles menuliskan buku yang berjudul Nicomachean Ethics, sebuah buku monumental tentang etika, dan meletakan tema “Bahagia” dalam bab terakhir. Artinya, Bahagia adalah tujuan dari etika itu sendiri, tujuan dari perbuatan manusia.

Apa itu kebahagiaan? Kebahagiaan atau bahagia memiliki banyak definisi. Sebagian orang mengidentik kebahagiaan dengan memiliki banyak uang. Kebahagiaan seakan–akan disamakan dengan kekayaan. Definisi ini kurang tepat, sebab banyak orang kaya yang tidak merasa bahagia. Mereka begitu cemas dengan kekayaan. 

Baca: Mitos “Orang Sakti, Kaki, dan Mego” dalam Perspektif Feminitas-Kosmologis Suku Sara, Ngada

Sebagian orang lagi mengidentikkan kebahagiaan dengan kekuasaan. Mereka yang berkuasa adalah orang yang berbahagia karena bisa berbuat apa saja menurut kehendaknya. Definisi ini juga kurang tepat, sebab banyak orang yang memiliki kewenangan untuk “berkuasa” dirundung kecemasan karena aneka persoalan yang menggerogoti kehidupan sehari-harinya. 

Sebagian yang lain, menyamakna kebahagiaan dengan badan yang sehat dan kuat. Tetapi kesan ini pun masih berada dalam cara pandang yang kurang memuaskan akal budi. Sebab, orang yang sehat kerap dilanda ketidakbahagiaan pula. Orang yang kuat fisiknya tidak juga lepas dari aneka kekhawatiran yang menggerogogi hidupnya.

Pendek kata, definisi kebahagiaan tidak meyakinkan. Filsafat menawarkan sebuah definisi bahagia yang memuaskan akal budi. Filsafat tidak mengantar orang kepada definisi bahagia yang melegakan batin. Tetapi Filsafat membuat akal budi manusia punya sikap kritis dengan apa pun yang dikira sudah cukup.  Aristoteles merumuskan definisi bahagia dengan baik. Aristoteles mangatakan bahwa bahagia itu bukan pertama-tama keadaan fisik atau status jiwa. Bahagia merupakan aktivitas manusia. Logika kecil ini menandai kebenaran sehari-hari, bahwa kodrat manusia adalah beraktivitas. Aristoteles tidak sedang menunjukan secara persis disposisi bahagia, sebab bahagia memang bukan disposisi. Aristoteles sedang mengajar bahwa bahagia adalah identik dengan aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri.

Baca: Refleksi Minggu Palma: "Tuhan Memerlukannya"

Logika Aristotelian ini menegur kesempitan cara pandang kebanyakan orang. Banyak orang berpikir bahwa Bahagia itu sebuah produk, hasil atau ganjaran. Artinya, aktivitas itu sendiri tidak berhubungan dengan suatu yang membahagiakan; Kebahagiaan itu adalah ganjaran nanti atas aktivitas yang kita jalankan. Kebahagiaan tidak dicicipi sekarang tapi nanti. Maaf, kawan-kawan yang kurang berpikir luas kerap terjebak di sini. 

Misalnya, aktivitas membunuh orang dengan cara sweeping, menyakiti orang lain, melakukan bom bunuh diri, kerap halnya dikerjakan dengan keyakinan bahwa kelak dia akan mendapat kebahagiaan di Surga. Logika ini aneh dan absurd, serta tentu saja keliru dari sudut pandang Aristotelian. Kebahagiaan tidak sama dengan aktivitas melakukan keburukan.

Kegiatan para teroris yang membunuh sesama manusia untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat merupakan perbuatan yang diletakkan secara terpisah dengan kebahagiaan itu sendiri. Kebahagiaan berarti itu yang masih akan datang, bukan dalam aktivitas yang sedang dikerjakan. Sekali lagi, menurut Aristotels, Kebahagiaan terletak pada aktivitas mengejar kebahagian itu sendiri.

Baca: Menyambut Tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi

Thomas Aquinas adalah murid Aristoteles. Thomas Aquinas mangadopsi pendapat gurunya dengan baik. Menurut Aquinas jika Kebahagiaan identik dengan produk aktvitas virtus (keutamaan) dan bukan kejahatan, haruslah diandaikan bahwa aktivitas membela dan mengejar virtus adalah aktivitas yang membahagiakan. Aqiunas menjelaskan bahwa keutamaan bukanlah sebuah prestasi. Keutamaan adalah perbuatan berkali-kali dan menjadi sebuah kebiasaan (habitus). Dengan kata lain, Kebahagiaan terletak pada aktivitas itu sendiri.

Filsafat Aquinas ini nampak dalam kehidupan sehari-hari. Orang merasa bahagia ketika memberi makan kepada orang yang kekurangan. Sungguh membahagiakan melihat orang lain tersenyum dan lega karena bisa makan. Hal membahagiakan semacam ini tidak bisa dijalankan sekali saja, melainkan dijalankan terus-menerus sepanjang hidup. Kebahagiaan adalah aktivitas keutamaan yang harus dikerjakan terus-menerus dalam hidup sehari-hari. Jika orang behenti sekali saja untuk tidak melakukan kebaikan kepada yang lain, maka dia telah kehilangan momen aktivitas yang membahagiakan. Dengan kata lain, ia kehilangan kebahagiaan itu sendiri.

Aristoteles mengajar perihal makna “bahagia” dengan cara yang meyakinkan.  Kita diajar untuk tidak yakin akan apa yang menjadi kebenaran naif yang kerap tidak kita sadari. Sayangnya, agama dan kepercayaan religius kerap disalahgunakan untuk menipu orang lain. Orang diiming-iming bahagia di surga atas aktivitas buruk seperti bom bunuh diri dan sejenisnya.

Baca: Menambang Kekayaan Kearifan Lokal Manggarai

Bagi Levians Kebahagiaan itu tidak ada, kecuali berkaiatan dengan Kebahagiaan orang lain (Liyan). Bahagia itu bukan milik-ku, bukan pula sejauh yang bisa aku nikmati atau melegakanku. Bahagia itu milik Liyan dan aku yang berelasi dengannya larut dalam kebahagiaan dengannya. Levians tidak sedang mengusulkan relasi yang membahagiakan dengan komunitas eksklusif atau se-ideologi. Liyan adalah “Diri sendiri” dalam inkorporasi diri sesama kita. Liyan bukan orang lain yang layak diusir atau dikucilkan.

Membahagiakan Liyan identik dengan membahagiakan diri sendiri dalam tataran yang sangat mendalam yakni wilayah ontologis sehari-hari. Wilayah ontologis merupakan wilayah hidup manusia sebagaimana adanya. Manusia sejauh ada di sekitarku adalah produsen nilai yang harus “Aku” hormati keberadaan dan kehormatannya. Liyan itu produsen nilai, sebab mengenai nilai sikap “hormat” berasal dari kehadiran orang lain di sekitarku. Maka, bahagia berarti hormat terhadap Liyan, terhadap sesamaku, siapa pun. Kebahagiaan itu ada dalam kegiatan sehari-hari. Manusia mencicipi kebahagiaan (surga) di dunia dan di akhirat.


 *Penulis adalah mahasiswa STFT Widya Sasana Malang.

 

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mencicipi Surga di Dunia (Konsep Kebahagian dan Aktualisasinya dalam Kehidupan Sehari-hari)

Trending Now

Iklan