Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Survey WALHI NTT: PEMDA NTT Masih Abai Pada Kesiapsiagaan Bencana

Suara BulirBERNAS
Tuesday, April 26, 2022 | 19:08 WIB Last Updated 2022-04-26T13:12:38Z
Survey WALHI NTT: PEMDA NTT Masih Abai Pada Kesiapsiagaan Bencana
Survey WALHI NTT: PEMDA NTT Masih Abai Pada Kesiapsiagaan Bencanaiii


Kupang, 26/04/2022, Badai Siklon Tropis Seroja yang terjadi satu tahun lalu masih meninggalkan dampak yang terasa bagi sebagian besar masyarakat NTT. Siklon tropis seroja ini mengakibatkan hujan besar disertai angin kencang dan petir disertai gelombang laut dengan ketinggian di Samudra Hindia selatan NTT, Laut Timor selatan NTT yang memunculkan bencana banjir bandang dan tanah longsor, yang menyebabkan kerugian material dan in materi yang  tidak sedikit.

Dilansir dalam Republika, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta pada Senin (5/4/2021) menyatakan bahwa Perubahan iklim global itu memang nyata, ditandai semakin meningkatnya suhu baik di udara maupun di muka air laut, dimana fenomena ini jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, sejak sepuluh tahun terakhir, kejadian siklon tropis semakin sering terjadi.

Baca: WALHI NTT Gelar Diskusi Publik: “Menakar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Di NTT (1 Tahun Seroja)”

Sebagai provinsi kepulauan yang berada di Samudera Hindia, risiko bencana alam akibat perubahan iklim semakin tinggi di NTT. Sudah menjadi keharusan multi stakeholder di NTT dalam menghadapi bencana, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang secara tegas mengatur bahwa tanggung jawab dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara terencana terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. Perencanaan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana, karena masing-masing tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda. Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam memberikan perlindungan dan rasa aman kepada warganya.

Instrumen hukum ini tentu memberi mandat kepada pemerintah untuk memberikan kepastian dan jaminan perlindungan dalam konteks kebencanaan di Indonesia, sejauh ini pola penanganan bencana oleh pihak pemerintah masih bersifat reaktif, ketika bencana datang pemerintah meresponnya dengan pemberian bantuan, seharusnya upaya penanggulangan bencana dilakukan secara antisipatif. Pemda NTT juga telah berkomitmen melalui Perda Nomor 16 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Tanggung jawab ini juga tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi juga pada masyarakat sebagaimana diatur dalam Perka BNPB Nomor 11 tahun 2014 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Tujuannya adalah untuk mendukung penguatan kegiatan penanggulangan bencana dan kegiatan pendukung lainnya secara berdaya guna, berhasil guna, dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Pengertian peran serta masyarakat adalah proses keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan PB secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman risiko dan dampak bencana.

Baca: Sopi Kobok dan Kearifan Lokal

Pemda berkewajiban dalam mitigasi bencana dimana dalam pasal 21 menyatakan bahwa kewajiban peringatan dini dilakukan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Seperti tercantum dalam poin (2) peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam poin (1) dilakukan dengan cara mengenal gejala bencana, menganalisis data pengamatan, mengambil keputusan berdasarkan hasil Analisa, menyebarluaskan hasil keputusan, dan mengambil tindakan oleh  masyarakat. Selain itu, dalam pasal (2) terkait dengan mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang dilakukan oleh bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Dalam konteks mitigasi memuat perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yang berdasarkan pada Analisis risiko bencana, pengaturan pembangunan, dan melakukan upaya penguatan kapasitas masyarakat lewat Pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat.

Memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana yang jatuh pada tanggal 26 April dan peringatan 1 tahun badai seroja WALHI NTT telah melaksanakan survei terbuka (open survey) secara daring sejak tanggal 19 Maret-10 April 2022 melalui distribusi instrumen survey yang melibatkan 250 responden yang berasal dari 22 kabupaten/kota di NTT dengan range usia 14045 tahun.

Survey WALHI NTT: PEMDA NTT Masih Abai Pada Kesiapsiagaan Bencana
Survey WALHI NTT: PEMDA NTT Masih Abai Pada Kesiapsiagaan Bencana


Survey ini bertujuan untuk mengukur pemerintah daerah mengenai Kesiapan Pemda NTT dalam Pra Bencana (Peringatan Dini), penanganan pasca Bencana serta Mitigasi Bencana.

1. Pra Bencana (Peringatan Dini)

Pertanyaan survey ini dasarnya pada Perda NTT Perda No. 16/ 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di pasal 21, yang memuat tentang peringatan dini dilakukan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Seperti Tercantum dalam poin (2) peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam poin (1) dilakukan dengan cara mengenal gejala bencana, menganalisis data pengamatan, mengambil keputusan berdasarkan hasil Analisa, menyebarluaskan hasil keputusan, dan mengambil tindakan oleh masyarakat.

Sebelum terjadinya siklon tropis Seroja, apakah anda mengetahui ada peringatan dini dari pemerintah?

67,2 % responden menyatakan mengetahui adanya peringatan dini dari pemerintah. Kondisi ini tidak mengherankan karena peringatan dini BMKG telah mengeluarkan peringatan dini waspada bibit siklon pada 2  April 2021.

dimana 66 % responden mengaku mengetahui peringatan dini dari BMKG, sisanya dari Desa/Kelurahan, Pemerintah Kabupaten Informasi, Pengumuman Gereja,Poskamling dan sesama warga antara 0,4-3,2 %. Lebih jauh dari hasil survey juga diketahui ternyata 63,2% responden mengetahui Media Massa Online/ Streaming (internet/media sosial ; instagram, facebook,dll) dan 10,4% dari SMS. Hanya sebagian kecil 0,4-1 % mendapatkan peringatan dini dari Informasi dari Desa, RT, Poskamling, Media gereja, dari sesama warga.

Dari survey ini terlihat jelas bahwa peran pemda dalam pemberian peringatan dini. Hal ini cukup berbahaya jika melihat hasil survey 26,4 % menyatakan tidak tahu ada peringatan dini. Dengan kondisi geografis NTT dan kualitas sinyal yang masih buruk ini menjadi perhatian bagi Pemda NTT yang seharusnya mengoptimalkan peran serta aparaturnya dalam peringatan dini yang didukung dengan pembangunan sarana dan prasarana peringatan dini yang memadai.

Bicara mengenai tindakan pencegahan korban jiwa pra bencana melalui peringatan dini bukan bicara pada angka persentase sebagai kuantitas. Karena hal ini terkait dengan nyawa manusia.

2. Mitigasi Bencana

“Apakah masyarakat pernah mendapatkan sosialisasi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana”.

Jawaban responden sebanyak 86 % mengatakan tidak pernah, sementara 13,6% responden menjawab pernah mendapatkan sosialisasi dari pemerintah daerah. Dimana peran terbesar masih dipegang oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebanyak 15,6 %, Lembaga Swadaya Masyarakat/Lembaga sosial/Komunitas memiliki peran yang cukup tinggi sebanyak 9,6 %, selebihnya oleh Gereja/Masjid/Lembaga Agama sebanyak 3,2 %.

Padahal peran pemda NTT seharusnya sangat besar dalam hal ini mengingat komitmen Pemda NTT dalam Perda No. 16/ 2008 (2) terkait dengan mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang dilakukan oleh bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Dalam konteks mitigasi memuat perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yang berdasarkan pada Analisis risiko bencana, pengaturan pembangunan, dan melakukan upaya penguatan kapasitas masyarakat lewat Pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat.

3. Penanganan Pasca Bencana

Kemudian hasil data WALHI dalam survey di kota Kupang terkait pemulihan, renovasi kerugian fisik pasca bencana seroja belum dilakukan secara baik. Sebanyak 32,4% responden menjawab belum mendapatkan bantuan untuk pemulihan pasca bencana seroja dari pemerintah.

Baca: Genesis Soul In A Box: Penyedia Katering di Jakarta dan Dasar Filosofis

Dalam peraturan daerah Nomor 16 tahun 2008 pasal 43 memuat tentang pemberian Bantuan Perbaikan Rumah Masyarakat. Sampai sejauh ini masalah ini belum juga dilakukan, sementara upaya pemulihan rumah dan renovasi rumah dilakukan secara mandiri oleh masyarakat, hal ini terlihat dari jawaban responden sebanyak 24,5% masyarakat melakukan penanganan mandiri, kemudian jawaban responden terkait perbaikan rumah dengan dana sendiri 13,91.

Oleh karena itu pemerintah dinilai belum mampu mengurusi penanganan bencana dan pasca bencana.

Dalam survey WALHI NTT bantuan yang diberikan oleh pemerintah sangat tidak cukup dimana sebanyak 48 % responden menjawab tidak cukup, sebanyak 11, 04 % responden menjawab tidak  mendapatkan bantuan.

Setelah setahun siklon tropis badai seroja berlalu, pemerintah di NTT belum menjalankan Perda Nomor 16 Tahun 2011. Hal ini dilihat dari tata kelola penanggulangan bencana dan pasca bencana di NTT masih menyimpan banyak persoalan serius hingga saat ini.

Oleh karena itu WALHI NTT mendesak pemerintah NTT agar menyusun perencanaan kesiapsiagaan bencana yang melibatkan masyarakat yang transparan dan mengedepankan prinsip good govermance termasuk dalam penyusunan APBD khusus kebencanaan. Selain itu  memastikan mitigasi berjalan secara berkelanjutan dengan pendekataan nilai dan kearifan lokal  masyarakat NTT.


Penulis: Deddy F. Holo

(Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan WALHI NTT)

Email : deddyfebriantoholo@gmail.com 

Hp : 082145183780

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Survey WALHI NTT: PEMDA NTT Masih Abai Pada Kesiapsiagaan Bencana

Trending Now

Iklan