Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Cakades dan Kemampuan Berbahasa (Indonesia)

Wednesday, August 10, 2022 | 10:07 WIB Last Updated 2023-02-09T07:40:47Z
Cakades dan Kemampuan Berbahasa (Indonesia)
Cakades dan Kemampuan Berbahasa (Indonesia)


Oleh: Sil Joni*


Calon kepala desa (Cakades) adalah figur yang punya kans untuk menjadi 'pemimpin politik' di tingkat Desa. Sebagai kandidat pemimpin, maka semestinya seorang Cakades mempunyai kemampuan yang baik dalam menggunakan bahasa Indonesia. Bagaimanapun juga, dalam membangun komunukasi dan interaksi secara formal dengan publik, dirinya pasti memakai Bahasa Indonesia.


Baca: Writing is a Habit


Benar bahwa kemampuan berbahasa ini, tidak menjadi salah satu 'persyaratan' untuk mencalonkan diri dalam proses kontestasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Panitia hanya 'menggeladah' tingkat pendidikan formal yang dibuktikan dengan satu lembar sertifikat akademik (ijazah). Apakah sosok yang menenteng ijazah itu cakap dalam berbahasa atau tidak, tentu tidak lagi menjadi kewenangan panitia.


Fasih dalam berbahasa (Indonesia) juga, tentu tidak merepresentasikan 'kualitas' seseorang dalam menjalankan roda kepemimpinan. Kepiawaian dalam berbicara tidak identik dengan mutu kepemimpinan yang ditunjukkannnya. Boleh jadi, perkakas retorik itu hanya untuk mendongkrak citra dan instrumen untuk meraih simpati publik belaka yang tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan konkret di lapangan.


Tetapi, apakah dengan itu, seseorang yang secara faktual 'kurang pandai berbicara dalam Bahsa Indonesia', pantas menjadi Kepala Desa? Apakah kapasitas intelektual seorang calon tidak berhubungan dengan keterampilan dalam berbicara? Apakah kita tidak perlu memberi ruang bagi calon yang pandai berbicara?


Beberapa hari yang lalu, saya sempat berdiskusi dengan sejumlah warga di Terang, Desa Golo Sepang. Ada satu isu menarik yang mereka angkat dalam sesi perbincangan tidak resmi itu. Menurut mereka, ada satu Cakades di Desa itu yang 'kurang cakap' dalam menggunakan Bahasa Indoensia. Sang calon itu sangat 'jarang' memakai Bahasa Indonesia ketika berdialog atau mengadakan acara 'tatap muka' dengan para konstituen. 


Bahkan, yang paling miris, demikian penuturan warga itu, si calon cenderung 'mengelak' ketika dimintai untuk membawakan sambutan secara resmi. Dirinya harus 'meminta bantuan' orang lain untuk melanjutkan dan atau membawakan sambutan resmi tersebut.


Baca: Undangan Konferensi Pers WALHI NTT


Secara spontan saya berguman: "Bagaimana mungkin beliau begitu percaya diri ikut dalam proses kandidasi dan kini lolos sebagai salah satu calon tetap dalam proses kontestasi ini"? Tetapi, menurut pengakuan warga, justru yang bersangkutan digadang-gadang sebagai calon 'terkuat' dan berpotensi menjadi kampium dalam pentas Pilkades Golo Sepang.


Jika penuturan warga di atas tidak jauh dari kebenaran, maka apabila terpilih, boleh jadi Golo Sepang harus 'merekruit' seorang juru bicara (jubir) agar pesan-pesan politik dari Kades bisa tersambung dan tersampaikan dengan baik ke ruang publik. Jika itu terjadi, sudah pasti, Desa itu mengalami kerugian. Kas Desa 'terkuras' untuk menggaji jubir khusus.


Tetapi, saya berharap cerita di atas, tidak terjadi dalam dunia kenyataan. Mungkin saja 'warga yang bercerita' itu, salah menafsirkan metode dan gaya komunikasi yang dipakai oleh sang Cakades. Hemat saya, boleh jadi sang Cakades secara sengaja 'menggunakan bahasa daerah' agar pesan-pesan politiknya bisa dimengerti oleh para audiens. Beliau lebih tertarik 'memakai bahasa rakyat', ketimbang mengumbar wacana mewah dengan piranti logika dan retorika yang menawan.


Baca: Visi dan Misi Media BernasINDO


Terlepas dari cerita itu, saya pikir, sangat bagus jika seorang calon pemimpin memiliki motivasi yang kuat untuk mengasah dan mengembangkan keterampilan berbicara di depan publik. Masalahnya adalah seorang kepala Desa 'selalu diminta' untuk membawakan sambutan dalam pelbagai hajatan di Desa. Masyarakat sangat menaruh hormat kepada pemimpinnya dengan memberi 'ruang yang luas' baginya untuk berbagi rasa dan ilmu kepada warga Desa.



*Penulis adalah warga Desa Nggorang. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Cakades dan Kemampuan Berbahasa (Indonesia)

Trending Now

Iklan