Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Agar Tidak Mengidap "Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis"

Wednesday, August 10, 2022 | 07:35 WIB Last Updated 2023-02-09T07:43:06Z

 

Agar Tidak Mengidap "Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis"
Agar Tidak Mengidap "Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis"



Oleh: Sil Joni*


Sastrawan kenamaan Indonesia, Taufiq Ismail pernah membuat riset terkait minat baca bagi siswa setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Hasil penelitian di 13 negara maju, ternyata cukup membuat hati kita miris. Pasalnya, jika dibandingkan Indonesia, rata-rata para siswa di negara-negara tersebut sudah membaca minimal 15 buku sastra setelah tamat SMA. Sedangkan siswa di Indonesia, tidak membaca satu buku sastra pun alias nol buku selama mengenyam pendidikan di SMA.


Baca: "Diskusi" sebagai Metode Pembelajaran


Fakta ketimpangan itu, semakin lebar jika dihubungkan dengan kemampuan mengarang atau menulis. Para siswa di negara maju, dari hasil wawancara sang sastrawan senior itu, sudah terbiasa atau diwajibkan membuat jurnal. Itu berarti, mereka sudah terbiasa dan dibiasakan untuk 'menulis'. Sementara siswa Indonesia, hampir pasti 'tidak bisa menulis' dengan baik dan apalagi membuat karangan fiksi yang bermutu tinggi.


Dari kenyataan itu, Taufiq membuat semacam generalisasi bahwa masyarakat Indonesia umumnya, dan para siswa khususnya mengidap penyakit "rabun membaca dan lumpuh menulis". Minat baca pada masyarakat kita, memang sangat memprihatinkan. Rendahnya minat baca, tentu berimplikasi pada "ketidakcakapan" dalam menghasilkan tulisan yang baik. Bagaimana mungkin kita terampil menulis jika tidak ditopang dengan budaya baca yang bagus?


Boleh jadi, generalisasi di atas terlalu berlebihan. Tentu, tidak ada keharusan untuk menerima begitu saja kesimpulan yang dibuat pak Taufiq itu. Tetapi, saya kira, sebagai sebuah kritik, catatan semacam itu dijadikan bahan permenungan.


Harus diakui bahwa membaca buku, apalagi buku sastra belum menjadi kebutuhan primer kita. Kalau kita pernah mengintip kamar kos atau asrama para mahasiswa dan siswa, hampir pasti kita tidak menemukan koleksi buku bermutu di sana. Yang ada adalah tumpukan kertas catatan dan beberapa buku teks. Tidak heran jika mereka sangat kesulitan untuk menuangkan ide dalam bahasa tulis yang berkualitas.


Seorang orator Romawi kuno, Cicero pernah mengatakan: "kamar tanpa buku itu, ibarat tubuh tanpa jiwa". Itu berarti jika kita tidak pernah mengoleksi dan membaca buku bermutu, maka secara rohaniah, kita amat kerdil. Secara fisik, mungkin kita terlihat gagah, tetapi sayangnya jiwa kita kurang mendapat asupan bacaan yang bergizi.


Baca: Guru: Teladan dalam Kebiasaan Menulis


Berkaca pada kenyataan ini, maka sesungguhnya menghidupkan kultur literasi menjadi opsi yang urgen saat ini. Upaya mengakarkan budaya literasi di tengah masyarakat, mesti menjadi sebuah gerakan bersama. Secara nasional, gerakan semacam itu sudah dicanangkan melalui program Gerakan Literasi Nadional (GLN).


Program GLN itu, ditindaklanjuti di sekolah. Gong Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sudah lama ditabuh. Tetapi, dalam praksisnya, tidak seindah yang diidealkan. Gerakan itu belum sepenuhnya terlaksana dengan baik.


Perlu disadari bahwa  membangun kultur literasi memang memerlukan sebuah energi dan kemauan dari lingkungan sekolah khususnya dan pendidikan pada umunya. Bagaimana pun juga, lembaga pendidikan pada semua level, berada pada barisan depan untuk menyukseskan GLN itu. Pertanyaannya sekarang apa yang harus dilakukan oleh sekolah dalam membangun kultur literasi?


Beberapa hal berikut disarankan untuk diterapkan di sekolah, yaitu:  Pembentukan Tim Literasi Sekolah (TLS), pengelolaan area baca, pengadaan bacaan di perpustakaan, dan pengembangan sudut buku di kelas. TLS harus benar-benar mempunyai motivasi tinggi bahwa tugas mulia ini akan membangun bangsa secara komprehensif. 


Dengan demikian, pembuatan program kegiatan, penyiapan guru-guru, keterlaksanaan program, dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi harus benar-benar terkaji secara optimal. Jika dicermati TLS bertanggung jawab membuat desain pelaksanaan GLS, menyiapkan guru, dan akan lebih optimal jika monitoring dan evaluasi (monev) dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.


Budaya literasi ini, mulai bersemi di SMK Stella Maris. Selain mewajibkan peserta didik memiliki dan menulis setiap hari dalam diari serta mengajak siswa untuk membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai, para siswa juga didorong untuk secara reguler mengunjungi perpustakaan sekolah. Mereka diminta untuk membaca apa saja dalam perpustakaan dan coba membahasakannya dengan menggunakan bahasa mereka sendiri secara tertulis.


Baca: Soal Jamda IX Kwarda NTT Tahun 2022, Benarkah Sudah Persiapkan Secara Matang


Ini sebuah terobosan dan tradisi yang harus dipupuk. Sudah saatnya, para peserta didik, dibiasakan untuk menggauli aktivitas literasi sehingga terhindar dari penyakit 'rabun membaca dan lumpuh menulis'. Sangat tidak produktif jika mayoritas warga di republik ini menderita penyakit semacam itu. Cita-cita untuk menyamai dan atau melebihi peradaban bangsa yang maju, bakal kandas jika penyakit itu tidak ditangani dengan baik.



*Penulis adalah Staf Pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Agar Tidak Mengidap "Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis"

Trending Now

Iklan