Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

"Ubah Hutan Jadi Padang Gurun"

Suara BulirBERNAS
Thursday, October 20, 2022 | 13:31 WIB Last Updated 2023-02-04T05:57:55Z
"Ubah Hutan Jadi Padang Gurun"
"Ubah Hutan Jadi Padang Gurun" (ilustrasi: google)



Oleh: Sil Joni*


Kornelis Rahalaka, 'Bupati Demokrasi Mabar (DM)', memberikan tanggapan yang keras dan tajam terhadap artikel opini saya yang berjudul: "Parapuar, Skenario Bisnis, dan Penghancuran Hutan" yang diterbitkan oleh media liputankepri.com, Rabu (19/10/2022). Tulisan itu dibagi ke grup Demokrasi Mabar dan  komentar pak Bupati DM itu bisa dibaca dalam grup tersebut, Hari ini, Kamis (20/10/2022).


Baca: Surat Cinta, Olah Rasa, dan Budaya Menulis


"Parapuar dapat dimaknai sebagai iklan ajakan bagi kaum kapitalis untuk mengubah hutan jadi padang gurun", demikian bunyi tulisan itu. Saya memilih frase 'ubah hutan jadi padang gurun' untuk dijadikan judul dalam tulisan ini. Hemat saya, seruan kritis-profetis bupati DM, sudah terangkum dalam ungkapan itu. Refleksi ini sebenarnya hanya semacam 'elaborasi lanjutan' dari suara kritis itu.


Negara memiliki kuasa absolut terhadap aset strategis seperti kawasan hutan. Kewenangan yang mutlak itulah yang memungkinkan kawasan hutan Bowosie dikonversi menjadi area non-hutan. Argumentasi penciptaan destinasi wisata baru dan mimpi menaikkan tingkat kesejahteraan publik dikredit untuk menjustifikasi keputusan itu.


Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) diberi 'mandat politik' untuk mengeksekusi kebijakan 'alih fungsi hutan' itu. Lembaga ini sangat taktis dalam menangkis setiap upaya perlawanan yang dilancarkan masyarakat sipil. Mereka 'bersembunyi' di balik 'cerita pemberian mandat' itu. Bahwasannya, BPOLBF hanya sebagai 'pelaksana', bukan penentu keputusan. Karena itu, gerakan resistensi atau protes publik dinilai 'salah alamat'. BPOLBF tidak bersalah sama sekali.


Tidak heran, kendati suara protes publik terus bergemuruh, konser proyek pembangunan di kawasan hutan seluas 400 hektar itu, tetap berjalan. Isu soal ancaman 'kerusakan ekologi dan konflik agraria terkait klaim kepemilikan lahan', seolah tak mendarat ke telinga lembaga itu.


Alih-alih peduli, justru BPOLBF terus menaburkan 'narasi suci' ke ruang publik. Mereka sangat optimis bahwa dengan 'mengubah kondisi hutan' itu, kesejahteraan publik Mabar segera terdongkrak. BPOLBF memproklamasikan dirinya sebagai 'mesias' yang membebaskan warga dari problem kemiskinan dan pengangguran.


Tidak tanggung-tanggung, mega proyek pembangunan spot wisata buatan di kawasan itu, demikian BPOLBF akan menyerap ribuan pekerja, menciptakan banyak lapangan kerja, dan program pemberdayaan komunitas semakin intensif. Dengan itu, BPOLBF mempunyai alasan yang cukup untuk mengklaim diri sebagai 'lembaga pembawa perubahan' dalam bidang pariwisata. Kehadiran lembaga ini diyakini bisa mengakselerasi kemajuan pembangunan pada sektor pariwisata.


Baca: Seni Berbicara


Pihak BPOLBF telah 'membabtis' hutan Bowosie 400 hektar dengan nama 'Parapuar'. Makna semantik dari ungkapan itu, rasanya sangat selaras dengan spirit kerja BPOLBF yang lebih dominan tampil sebagai 'jembatan penghubung' para investor atau kaum kapitalis  untuk berinvestasi di tanah wisata super prioritas. Terjemahan bebas dari istilah Manggarai 'Parapuar' itu adalah 'pintu hutan'.


Fungsi BPOLBF sepertinya sudah terbaca secara eksplisit dalam ungkapan itu. Lembaga ini memang tampil sebagai 'penjaga dan pembuka pintu' bagi pemilik modal untuk masuk kawasan hutan itu. Ketika 'pintu hutan' dibuka, maka para pemilik modal yang bekerja sama dengan penguasa predatoris akan leluasa 'menghancurkan' hutan itu.


Dalam bahasa Bupati DM, parapuar itu bermakna sebagai 'iklan' untuk mengubah hutan menjadi padang gurun. Tetapi, anehnya BPOLBF begitu bersemangat membangun narasi yang terkesan begitu menyejukkan. Dijelaskan bahwa pembangunan dalam kawasan itu berbasis ekowisata. Dengan kata lain, BPOLBF akan menciptakan destinasi wisata yang ramah lingkungan, mengedepankan prinsip berkelanjutan, dan partisipasi masyarakat.


Sejauh ini, narasi surga yang ditiupkan oleh BPOLBF terlihat sangat manjur dalam 'meredam badai protes publik' dan peran kritis pemerintah daerah Mabar. Ini terbukti dari besarnya ekspektasi dan penerimaan publik terhadap lembaga ini. Argumentasi berupa 'janji surgawi' semacam itulah yang kerap dipakai untuk 'meyakinkan' publik soal urgensi eksistensi BPOLBF di Flores. Apakah semua cita-cita itu benar-benar dieksekusi atau minimal dijadikan panduan bagi lembaga itu dalam mengambil keputusan?


Kalau mau jujur, sampai detik ini, publik belum merasakan 'dampak besar' dari kehadiran BPOLBF itu, terutama dalam mewujudkan ideal kesejahteraan publik itu. Yang mendapat untung tentu saja para staf BPOLBF yang mendapat gaji besar dari negara serta kroni-kroni mereka. 


Tetapi. pada sisi yang lain, alih-alih mempercepat kemajuan, justru BPOLBF dianggap sebagai pemicu munculnya aksi protes dan konflik. Agenda mengubah Hutan Bowosie seluas 400 hektar menjadi kawasan bukan hutan, dilihat sebagai satu bentuk penghancuran lingkungan. Padahal, kawasan Bowosie itu merupakan kawasan penyangga untuk kota Labuan Bajo dan area tangkapan air yang berguna bagi pemenuhan kebutuhan konsumsi dan pertanian.


Selain itu, klaim 400 hektar itu, celakanya tidak memperhatikan proses kepemilikan sebagian dari lahan itu oleh masyarakat adat. Akibatnya adalah muncul konflik agraria terkait 'klaim kepemilikan' atas sebagian lahan itu. Tidak heran pembukaan akses jalan menuju kawasan hutan, mendapat resistensi dari masyarakat pemilik lahan.


Miliaran dan bahkan mungkin triliunan 'uang negara' dihabiskan untuk 'menciptakan destinasi wisata baru' dalam kawasan Parapuar seluas 400 hektar itu. Di saat Mabar didera oleh isu kemiskinan, stunting, gizi buruk, kualitas pendidikan yang rendah, faslitas kesehatan yang memprihatinkan, dan rupa-rupa problem sosial-politik lainnya, Negara 'menghamburkan' banyak uang untuk melayani kepentingan para pebisnis. 


Baca: Guru dan "Gerakan Literasi Sekolah"


Pertanyaannya adalah apakah Mabar kekurangan 'spot wisata' sehingga harus ditambah dengan 'obyek wisata buatan'? Apakah ada semacam garansi bahwa setelah 'hutan diubah menjadi padang gurun', mimpin peningkatan level kemaslahatan publik itu terwujud? Apakah upaya 'mengakselerasi kemajuan pembangunan pariwisata itu' dilakukan dengan mengorbankan hutan seluas 400 hektar?



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Ubah Hutan Jadi Padang Gurun"

Trending Now

Iklan