Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Ketika "Calon Pastor" Meracik Kelor Bersama Para Ibu Guru

Suara BulirBERNAS
Friday, January 13, 2023 | 15:19 WIB Last Updated 2023-01-31T08:54:23Z

 

Ketika "Calon Pastor" Meracik Kelor Bersama Para Ibu Guru

Ketika "Calon Pastor" Meracik Kelor Bersama Para Ibu Guru



Oleh: Sil Joni*


Menjadi pastor itu bukan untuk mengubah status sosial dan meningkatkan prestise diri sehingga 'harus mendapat pelayanan eksklusif dan mewah' dari umat. Sebaliknya, sejak seminari kecil, ideologi suci ini, sering ditanamkan bahwa pastor adalah seorang 'hamba'. Meminjam kata-kata biblis, "Aku datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani'. Jadi, ketika seseorang menjawab 'iya' untuk menjadai 'pastor', maka ia mesti secara sadar menerima risiko bahwa dirinya adalah seorang 'abdi, pelayan, atau hamba' yang setia.


Baca: Kelompok Pemberdayaan Hortikultura Desa Terong Panen 60-an Kilogram Lombok


Karena itu, rasanya tidak terlalu mengejutkan jika di setiap 'panti pendidikan calon imam', para seminaris, didorong untuk tekun mengakrabi dan melaksanakan 'kerja tangan' (opus manuale). Mereka mesti merasakan secara langsung bagaimana suka dan duka melaksankan pekerjaan yang biasa dilaksankan oleh orang-orang kecil dan sederhana, termasuk para hamba.


Meracik dan mengolah 'aneka menu' untuk menjadi 'hidangan yang lezat', merupakan salah satu 'kerja tangan' yang secara rutin dilaksankan oleh para 'calon pastor'. Mereka dibagi dalam kelompok dan masing-masing kelompok mendapat 'giliran' untuk melaksankan pekerjaan itu untuk 'mengenyangkan perut' sesamanya dalam sebuah komunitas.


Spiritualitas sebagai 'pelayan' itu, sepertinya sudah terinternalisasi dengan baik oleh Frater (Fr.) Yohanes Mario Berchmans yang sedang menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di SMK Stella Maris. Fr. Rio, demikian beliau biasa disapa, sangat sering tampil sebagai 'pelayan yang baik'. Menariknya bahwa pelayanan itu. dimulai dari hal-hal kecil, seperti meramu dan memasak makanan di dapur.


Alumnus Seminari Pius XII Kisol ini, dalam catatan saya, tidak pernah merasa 'risih dan enggan' untuk membaur bersama para guru dalam menjalankan pekerjaan rutin di sekolah, termasuk kegiatan memasak. Beliau terlihat sangat senang dan menikmati pekerjaannya sebagai 'master chef' di lingkungan sekolah.


Kebetulan, sebagian guru di SMK Stella Maris 'terpaksa' harus mengolah dan menikmati 'santapan' untuk siang harinya di sekolah karena masih ada pelajaran pada sore harinya. Beberapa teman, termasuk saya 'biasanya' membawa bekal seadanya. Tetapi, Fr. Rio dalam pengamatan saya selama ini, selalu menjadi 'penggerak pertama' untuk mengolah dan memasak bahan-bahan (entah dibeli oleh siapa dan di mana) yang sudah tersedia di 'dapur para guru'.


Baca: Jamsostek Dan Tenaga Kerja


Biasanya, kurang dari satu atau dua jam sebelum pukul 13.00 atau jam 1 siang, Fr. Rio berinisiatif untuk mengambil atau membersihkan 'rice cooker' serta mengatur perkakas yang lain agar 'acara makan' bisa terlaksana tepat waktu. Beliau sangat terampil dan telaten dalam menggorang ikan dan mengiris pelbagai jenis sayuran.


Saya sendiri, sering 'diajak' oleh Fr. Rio ini untuk merasakan 'hasil kreativitasnya' itu. Sebetulnya, saya agak malu sebab sekian sering saya 'berlagak' seperti 'orang besar'. Saya jarang berpartisipasi dalam proses pengolahan makanan itu. Tetapi, saya sangat yakin, bahwa adik Frater ini, tak terlalu pusing dengan penilaian semacam itu. Beliau tetap Fr. Rio, seorang calon imam projo (Keuskupan Ruteng) yang dengan segenap kemampuannya tampil sebagai figur yang sederhana dan kreatif di lembaga ini.


Hari ini, Juma't (13/1/2023), Fr. Rio kembali mengekspresikan semangat hidup sebagai 'pelayan' itu. Beliau, satu-satunya guru laki-laki, yang mau 'berkolaborasi' dengan beberapa ibu guru dalam meracik daun kelor untuk menjadi 'menu favorit' hari ini. Ini sebuah pemandangan yang langka dan unik. Karena itu, secara spontan hati saya 'tegerak' untuk mengabadikannya melalui lensa kamera ponsel dan coba menarasikannnya dalam ruang digital ini.


Beberapa foto yang diunggah di sini, memperlihatkan dengan jelas bagaimana Fr. Rio bersama beberapa ibu guru sedang 'memisahkan' daun kelor dari batang halusnya. Mereka tampak bahagia mengerjakan tugas itu. Hal itu bisa dilihat dari 'raut wajah' mereka yang ditaburi dengan senyuman dan tawa. 


Kita semua tahu bahwa Daun Kelor atau Merunggai dikenal luas sebagai salah satu jenis sayuran yang kaya nutrisi. Selain itu, proses pengolahannya pun sangat sederhana dan tidak butuh waktu lama. Setalah proses 'pemisahan daun dari batang', selanjutnya daun kelor dimasukan dalam panci atau wayan yang berisi 'air yang sudah mendidih'.


Seperti biasa, setelah semuanya beres dan siap disantap, saya datang pada saat yang tepat. Fr. Rio biasanya selalu mengundang atau sekadar bertanya apakah saya 'sudah makan atau belum'. Untuk episode kali ini, karena sayurnya 'daun kelor', saya harus jujur mengatakan bahwa 'selera makan' saya cukup tinggi. Apalagi sayur daun kelor racikan dari Fr. Rio ini dicampur dengan 'mie sedap'. Sebuah situasi yang mengundang nafsu makan kian memuncak. Saya tidak sabar lagi untuk 'melahap' masakan itu. 


Tak lupa saya 'mengucap syukur' atas rahmat yang diberikan-Nya mealui masakan itu. Karya Tuhan sungguh nyata dalam diri sesama dan segenap isi alam semesta termasuk 'daun kelor'. Tentu, terima kasih berlimpah juga kepada Fr. Rio dan kawan-kawan yang sudah 'menyuguhkan' yang terbaik buat saya dan beberapa guru yang lain pada hari ini.


Terus terang, kisah kecil di atas, bagi saya memiliki pesan yang dalam. Kesederhanaan dan ketelatenan Fr Rio dalam mengemban sejumlah tugas di SMK Stella Maris, termasuk dalam mengurus wilayah dapur dan memasak, merupakan sebuah kebajikan yang sudah semestinya mengendap dalam tubuh setiap guru. Tak ada gunanya kita 'membincangkan hal besar', jika hal-hal kecil tidak diurus dan diperhatikan dengan baik.


Baca: WALHI NTT : Hadapi Potensi Bencana, Pemerintah Perlu Melakukan Koordinasi Mitigasi Dini


Akhirnya, sekali lagi, kita mesti berguru pada Sang Guru dari Nasaret, Yesus Kristus. "Siapa yang hendak menjadi pemimpin (orang besar), hendaklah ia menjadi pelayan (orang yang terkecil). Mengapa? Siapa yang meninggikan diri, akan direndahkan dan seblaiknya, siapa yang merendahkan diri, akan ditinggikan. Mampukan kita 'membumikan sabda Kristus ini' dalam laku keseharian kita?



*Penulis adalah Staf pengajar di SMK Stella Maris Labuan Bajo. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ketika "Calon Pastor" Meracik Kelor Bersama Para Ibu Guru

Trending Now

Iklan