Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Konflik Agraria di Sumba Barat Berujung Pelanggaran Hukum, Pemkab Perlu Bertindak Segera

Wednesday, January 5, 2022 | 14:30 WIB Last Updated 2022-01-05T07:44:15Z
Konflik Agraria di Sumba Barat Berujung Pelanggaran Hukum, Pemkab  Perlu Bertindak Segera


Konflik agraia di NTT khususnya di kabupaten Sumba Barat saat ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak pemerhati agraria, salah satunya terkait respon pemerintah dan penegak hukum yang cukup lambat dalam mencegah konflik antara kelompok masyarakat yang saling berbenturan. 

Konflik agraria di Sumba Barat seringkali berujung pada tindakan pelanggaran hukum (pidana) diantara pihak-pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, perlu adanya Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA).

Baca juga: FP2ST: Musim Hujan, Waktu yang Bagus untuk Tanam Pohon

Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria bertugas untuk menerima pengaduan kasus, menaganalisa kasus, memverivikasi lapangan, mengadakan rapat koordinasi, dan memberikan rekomendasi penyelesaian kepada pemerintah dan ATR/BPN. Ini perlu disikapi serius oleh pemerintah dan DPRD.

Berdasarkan infomarasi dan hasil investigasi tim di lapangan bahwa ada perseteruan yang berpotensi menelan korban jiwa di Desa Dedekadu, Kecamatan Loli, Kabupaten Sumba Barat terkait dengan persoalan tanah. Di mana ke dua belah pihak saling berjuang mempertahan objek tanah. Gambaran ini menunjukan bahwa selama ini upaya penyelesaian konflik agraria tidak berjalan dengan baik dan sistematis. 

Baca juga: Julukan Kunci, Pahlawan Manggarai Tak Tertandingi Jaman Penjajahan Belanda

Pemerintah seharusnya mampu memetakan setiap wilayah yang berpotensi menimbulkan konflik agraria. Hal ini untuk meminimalisir dampak yang lebih besar terhadap masyarakat yang berkonflik. 

Upaya penyelesaian persoalan agraria harus dimulai dari bawah, dari masyarakat itu sendiri. Pemerintah dan penegak hukum harus memberikan arahan-arahan yang baik dan pendidikan hukum kepada masyarakat serta melakukan sosialisasi agraria kepada masyarakat.

Untuk menyelesaikan konfik agraria tidak hanya sebatas pada menjalankan regulasi yang ada  namun juga perlu pendekatan kultural sesuai dengan kearifan lokal yang ada di masyarakat. 

Beberapa tahun terakhir konflik agraria di kabupaten Sumba Barat berujung pada korban jiwa diantara masyarakat itu sendiri, sementara proses penyelesaian konflik agraria  masih berjalan begitu pelan. Hal inilah yang yang perlu dievaluasi oleh pemerintah daerah untuk menyelasaikan berbagai konflik yang ada.

Baca juga: Bank NTT Berikan Bantuan Untuk Pengembangan Desa Wisata Todo

Pemetaan wilayah konflik harus dilakukan oleh pemerintah bersama ATR/BPN selain itu pula penegak hukum harus memposisikan diri pada urusan menjaga keamanan wilayah tersebut, sebisa mungkin penegak hukum harus tegas dan beretika dalam melakukan upaya atau tindakan pencegahan. 

Konflik agraria di Sumba Barat bukan saja dipandang sebagai urusan hukum, namun pendekatan kultur perlu juga didorong bersama oleh pemerintah dan pemangku adat setempat, forum atau lembaga adat di desa penting untuk dibentuk tujuannya adalah sebagai media bagi masyarakat untuk melakukan musyawarah dan mengambil keputusan yang nantinya forum atau lembaga adat tersebut meneruskan kepada pemerintah. Ini cara yang bisa dilakukan guna menakan konflik antar warga. 

Komunikasi yang dilakukan pemerintah sejauh ini hanya pada pendekatan hukum namun jarang menggunakan forum adat sebagai bagian dari kehidupan masyarakat adat itu sendiri. Penguatan lembaga adat dalam menyelesaikan konflik agraria merupakan cara yang tepat saat ini.

Baca juga: Reposisi Perempuan Dalam Kasus Pembunuhan Ibu dan Anak

Kita ketahui bersama ada begitu banyak masalah agraria di Sumba Barat yang belum di tangani secara serius oleh pemerintah dan penegak hukum. Misalnya persoalan agraria di wilayah pesisir pantai Marosi yang sampai saat ini belum ada titik terang. Pemerintah harus melihat persoalan ini secara serius.

Kunci untuk memetakan konflik agraria sebenarnya berada di tangan pemerintah dan para tokoh adat. Mengapa demikian? Pertanyaan ini seringkali menjadi bahan diskusi bagaimana pola penyelesaian konflik agraria  di masyarakat kita. 

Konflik pertanahan merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan konflik agraria yang adalah proses interaksi dua (atau lebih) atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas objek yang sama yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. 

Oleh karena itu, pemerintah daerah, pemerintah desa dan lembaga adat harus menjadi mediator dalam menyelesaikan perkara antara warga masyarakatnya, sehingga perlu dilakukan penyuluhan sekaligus sosialisasi mengenai penyelesaian konflik tanah. selain itu pemerintah dan DPRD harus memiliki komitmen yang kuat untuk membantu masyarakat dengan membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) di kabupaten Sumba Barat. 


Oleh: Deddy. F Holo 

Penulis adalah Pemerhati Konfik Agraria di Sumba Barat

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Konflik Agraria di Sumba Barat Berujung Pelanggaran Hukum, Pemkab Perlu Bertindak Segera

Trending Now

Iklan