Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Posisi Guru dalam 'Mendisiplinkan Siswa'

Wednesday, August 24, 2022 | 13:15 WIB Last Updated 2023-02-08T08:41:04Z
Posisi Guru dalam 'Mendisiplinkan Siswa'Posisi Guru dalam 'Mendisiplinkan Siswa'



Oleh: Sil Joni*


Saya berutang budi pada Ibu Lusiana Frince, satu-satunya 'Guru Penggerak (GP) di SMK Stella Maris, dalam 'menggarap isu' ini. Di tengah kesibukan menjalankan aktivitas rutin, baik sebagai pengajar, maupan sebagai GP, beliau berkenan 'membagi pikiran yang bernas' terkait dengan bagaimana seharusnya peran yang dimainkan seorang guru dalam 'mendisiplinkan' siswa.


Dengan sangat fasih, ibu Frince menjelaskan konsep 'segi-tiga restitusi' dalam membantu siswa menyadari kesalahan dan mencari solusi bagaiamana memperbaiki kesalahan tersebut. Secara leksikal, restitusi berarti 'ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga'. Term restitusi itu diadaptasi ke dalam dunia pendidikan, tentu dengan pengertian yang spesifik.


Baca: Merindukan Kandidat Kades 'Bertukar Gagasan' dalam Ruang Publik Digital


Restitusi merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).


Selaras dengan definisi leksikal di atas, melalui program restiusi ini, guru memberikan semacam 'ganti rugi' bagi siswa yang melakukan pelanggaran melalui pengarahan dan pendampingan dengan menerapkan tiga langkah (segi-tiga restitusi) untuk menyadarkan siswa dan mencari solusi atas pelanggaran tersebut berdasarkan keyakinan dan tujuan hidup dari siswa itu sendiri. Dengan itu, siswa tidak 'terbebani' oleh kesalahan yang dibuatnya, tetapi justru merasa beruntung sebab 'mendapat hal positif' dalam memperbaiki kesalahannya itu.


Tiga langkah dalam 'segi-tiga restitusi' itu adalah sebagai berikut. Pertama, menstabilkan identitas. Anak dibantu untuk 'tenang' dan memulihkan kondisi batinnya yang sempat 'terganggu' akibat kesalahan yang dibuatnya.


Kedua, memvalidasi tindakan yang salah. Guru harus memahami kebutuhan (alasan pokok) yang mendasari tindakan anak berbuat kesalahan. Semua tindakan manusia, entah baik atau buruk, pasti mempunyai tujuan tertentu.  Dengan itu, anak tidak merasa 'ditolak' tersebab oleh tindakan yang salah tersebut.


Ketiga, menanyakan keyakinan. Pada dasarnya, manusia termotivasi secara internal untuk 'menggapai' keyakinan yang bersifat positif. Ketika langkah 1 dan 2 sukses dijalankan, maka anak akan siap dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia yakini. Jadi, penting sekali menanyakan kepada anak tentang 'kehidupan seperti apa' yang dia inginkan ke depannya.


Dapat disimpulkan bahwa melalui restitusi para guru dapat membantu peserta didik untuk menjadi pribadi yang memiliki tujuan, disiplin positif, serta memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Pertanyaannya adalah peran seperti apakah yang semestinya dimainkan oleh seorang guru dalam 'menerapkan konsep segi-tiga restiusi' itu?


Harus dikaui bahwa dalam praksisnya, konsep segi-tiga restitusi tidak bisa diterapkan karena 'guru' memposisikan diri sebagai figur yang punya otoritas dalam menghukum siswa. Efeknya adalah guru kerap 'tergoda' untuk hanya menilai kesalahan siswa tanpa memperhatikan alasan dan upaya untuk menemukan solusi berdarkan keyakinan positif dari siswa itu sendiri.


Untuk menjawab persoalan ini, ibu Frince coba membagi perspektif berdasarkan apa yang dia peroleh selama berada dalam komunitas Guru Penggerak. Pendapat itu Frince ini, sebetulnya mengacu pada buku yang ditulis berjudul: "Restitution-Restructuring School Discipline" (1998). Dalam buku itu, Diana mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas.


Setidaknya, demikian Diane Gossen, ada 5 peran yang dimainkan  guru dalam mendisiplinkan siswa. Pertama, guru sebagai penghukum. Saya kira, tipe seperti ini jamak di sekolah-sekolah. Saya sendiri, pada momen tertentu, kadang tampil sebagai 'pemberi hukuman'.


Guru yang bertindak sebagai penghukum senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih tegas melalui hukuman. Tetapi, secara psikologis, menghukum justru menebalkan rasa dendam dari siswa sehingga siswa kurang merdeka dalam belajar. Guru justru 'menaburkan' rasa benci dan menimbulkan luka batin bagi siswa.


Kedua, guru pembuat merasa bersalah. Memang, dalam tipe seperti ini, guru tidak menggunakan cara-cara yang bersifat represif dalam mendisiplinkan siswa. Tetapi, melalui sikapnya yang tenang dan 'tidak peduli' dengan kesalahan siswa, justru membuat siswa merasa tidak nyaman.  Sikap diammnya itu, membuat siswa merasa  bersalah, atau rendah diri.


Secara sepintas, tipe guru seperti ini sangat baik. Namun, dampak dari posisi kontrol seperti ini adalah bahwa murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka. Murid bisa merasa tidak berharga karena telah mengecewakan orang-orang disayanginya. Yang terburuk adalah siswa bisa kehilangan rasa percaya diri.


Ketiga, guru sebagai teman. Saya kira, pasti banyak siswa yang menyukai guru semacam ini. Soalnya adalah uru seperti ini tidak akan menyakiti murid. Mereka akan setia dan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi yang lembut. Siswa pun merasa terlindungi.


Tetapi, peran semacam itu, tidak tanpa risiko. Masalahnya adalah kemandirian siswa bisa-bisa tidak tergali karena selalu harus mengandalkan gurunya. Para sisiwa 'kurang diberi ruang' untuk menggali potensi dirinya karena selalu bergantung pada guru. Selain itu, bisa saja 'guru tidak lagi berwibawa' sebab para siswa menilai bahwa posisinya tidak lebih sebagai teman.


Keempat, guru sebagai pemantau. Peran guru semacam ini pasti lebih efektif jika sebelumnya sudah dibuat keyakinan atau kesepakan dalam kelas. Guru memaparkan apresiasi apa yang akan diterima jika keyakinan itu dipatuhi dan konsekuensi apa yang harus diberikan jika dilanggar.


Masih ada sisi negatif dalam cara seperti ini. Kelemahannya adalah siswa menghindari larangan semata agar luput dari konsekuensi dan sebaliknya mengindahkan imbauan semata agar dapat reward. Jadi, siswa tidak bisa menjalankan kesadaran moral yang berisfat otonom, tetapi hanya terpaku pada jenis hadiah dan hukuman yang diberikan oleh guru.


Baca: Mahasiswa STP St. Petrus Atambua menyelenggarakan Kerja Bakti


Kelima, guru sebagai manajer. Secara teoretis, posisi ini lebih bijaksana karena guru berbuat sesuatu bersama dengan murid. Hati sang guru 'terlibat total' dalam permasalahan yang dialami siswa. Guru mempersilakan siswa mempertanggungjawabkan perilakunya dan mendukung siswa agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.


Itulah sebabnya posisi kontrol semacam ini berada pada posisi teratas. Mengapa? Dengan kemampuan seperti ini, secara implisit, guru sudah pasti memiliki keterampilan menjalankan peran sebagai  teman maupun pemantau. Bagaimanapun juga, peran sebagai teman dan pemantau, memiliki kelebihan yang jika disandingkan dengan peran sebagai manjer, tentu sangat efektif dalam 'membantu siswa' untuk menemukan kesalahan dan mencari solusi terhadap permasalahannya sendiri.


Merujuk pada pendapat Diana Cossen di atas, ibu Frince dan saya tiba pada kesimpulan bahwa untuk menjalankan konsep 'segi-tiga restitusi' di atas, maka guru mesti berperan sebagai 'seorang manajer' yang baik. Peran sebagai manajer itu, akan semakin berbobot dan efektif, jika dalam situasi tertentu guru juga bertindak sebagai teman dan pemantau, dengan catatan risiko negatifnya mesti diminimalisasi bahkan dieliminasi.


Baca: MenjadiSekolah Penggerak (Budaya)


Sedapat mungkin, seorang guru, tidak boleh terjebak untuk tampil sebagai seorang 'penghukum dan pembuat rasa bersalah pada anak'. Kedua peran ini, meski dilatari dengan intensi yang baik, tetapi dalam kenyataannya lebih banyak menghasilkan dampak yang buruk bagi perkembangan kepribadian anak. Peran sebagai penghukum dan pembuat rasa bersalah, sangat kontraproduktif bagi pemanifestasian idealisme menghasilkan insan yang mandiri, kreatif, solutif, dan berkepribadian yang baik dalam praksis pendidikan kita.

 


*Penulis adalah Staf Pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Posisi Guru dalam 'Mendisiplinkan Siswa'

Trending Now

Iklan