Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Kelas sebagai "Miniatur Industri"

Suara BulirBERNAS
Monday, November 14, 2022 | 08:09 WIB Last Updated 2023-02-04T03:33:37Z
Kelas sebagai "Miniatur Industri"
Kelas sebagai "Miniatur Industri"



Oleh: Sil Joni*


Proses pembelajaran di SMK 'tidak sama' dengan SMA. Jika pembelajaran di SMA lebih banyak berorientasi pada peningkatan aspek kognitif-intelektual peserta didik, maka pembelajaran di SMK cenderung memperhatikan aspek peningkatan skill peserta didik pada bidang tertentu. Dengan perkataan lain, pembelajaran di SMA  cenderung teoretis-konseptual, sedangkan pembelajaran di SMK lebih berorientasi praksis atau keterampilan.


Baca: Manusia Sebagai Mahluk Otonom: (1) Suara Hati


Perbedaan ini, tentu saja tidak terlepas dari 'orientasi dan visi' dari masing-masing lembaga itu. Kita tahu bahwa SMK merupakan sekolah yang secara khusus mempersiapakan peserta didik untuk langsung bekerja di dunia usaha dan industri (DUDI) serta kalau dapat bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. 


Oleh sebab itu, proses pembelajaran di SMK lebih berorientasi pada praktek agar peserta didik benar-benar terampil dan berkompeten guna memenuhi permintaan dan kebutuhan DUDI. Umumnya, skema kurikulum SMK lebih didominasi oleh aktivitas praktikum, baik di sekolah maupun di DUDI.


Pertanyaannya adalah model pembelajaran seperti apa yang bisa memenuhi kebutuhan DUDI dan mencetak generasi yang bermental wirausaha? Hari ini, Juma't (11/11/2022),  para guru SMK Stella Maris coba bergumul dengan pertanyaan itu. 


Kami dibantu oleh narasumber yang kredibel dan bereputasi nasional dan bahkan internasional. Beliau adalah ibu Wiwiek Indriyani, Kepala SMKN 6 Yogyakarta. Sekolah tempat di mana beliau mengabdi sudah menjadi salah satu sekolah model di tanah air yang berhasil melaksanakan program SMK Pusat Keunggulan (PK) dan sekarang sedang mengikuti program "SMK Pemadanan".


Bantuan itu diberikan ibu Wiwiek dalam kegiatan Workshop bertajuk 'Sharing praktik baik (best practice) di Hotel SMK Stella Maris. Menurut sang narasumber, teaching factory (Tefa) atau pembelajaran berbasis industri merupakan model dan strategi yang tepat untuk mewujudkan SMK sebagai lembaga penyuplai tenaga kerja andal, terampil, berkarakter, dan berkompeten.


Dalam pembelajaran model Tefa ini, peserta didik tidak 'dijejali' dengan konsep-konsep teoretis yang abstrak dan tidak membumi, tetapi diarahkan untuk bisa memproduksi sesuatu. Karena itu, strategi yang dipakai adalah pembuatan proyek riil yang dirancang dan dieksekusi secara kolaboratif.


Baca: Ketika 'Bendera Raksasa' Berkibar di SMK Stella Maris


Kita bisa mengoptimalkan unit-uni produksi seperti bengkel, loundry, tempat pembekuan ikan, Coffee shop, jasa pemanduan wisata dll untuk dijadikan lokasi dan materi pembelajaran. Itu berarti, proses pembelajaran di SMK tidak selalu berlangsung dalam ruangan kelas. Bahkan kalau mau jujur, justru pembelajaran di unit-unit produksi yang berbasis proyek itu, jauh lebih efektif dan berguna bagi peningkatan skill peserta didik.


Dengan demikian, kita berusaha menjadikan kelas sebagai 'miniatur industri'. Pelbagai aktivitas dan budaya yang terjadi di dunia industri coba dihidupkan dalam pembelajaran di SMK. Dengan itu, peserta didik tidak merasa asing dengan budaya kerja di DUDI. Mereka sudah terbiasa dengan menghayati etos kerja seperti yang terjadi di DUDI dan bisa menjadi pribadi yang kreatif dan produktif.


Pertanyaannya adalah bagaimana nasib mata pelajaran adatif-normatif? Menurut ibu Wiwiek, guru-guru yang mengajar mata pelajaran adatif-normatif (umum) harus menyusahkan diri dalam arti materi yang diajarkan harus relevan dan mendukung pelaksanaan Tefa berbasis proyek riil itu. Guru-guru umum tidak boleh 'terikat dengan kurikulum' dan berusaha mengejar target saja, tetapi mesti benar-benar memperhatikan proses peningkatan skill peserta didik melalui Tefa itu.


Untuk itu, maka penerapan 'sistem blok' dalam pembelajaran perlu diperhatikan secara serius. Durasi waktu untuk pembelajaran produktif tidak cukup hanya satu minggu. Agar lebih efektif dan berkompeten, sebaiknya sistem blok itu berdurasi minimal satu bulan. Dalam rentang waktu yang panjang itu, energi dan konsentrasi para guru harus terfokus pada Tefa di mana pembuatan proyek riil menjadi primadonanya.


Lalu, bagaimana mengatasi persoalan minimnya kemapuan dasar siswa dalam aspek kognitif-intelektual? Apakah pembelajaran Tefa ini cocok untuk anak yang masuk kategori "slow learner"? Terhadap kenyataan ini, demikian ibu Wiwiek, pihak sekolah bisa 'menurunkan standar kognitif-intelektualnya. Anak semacam itu tidak boleh dipaksa untuk mengikuti pembelajaran teoretis yang kompleks dan abstrak. 


Baca: Menjadi "Pahlawan" Kreativitas Literasi Siswa


Kita mesti menggunakan pendekatan 'multi-kecerdasan' dalam menilai kemapuan anak. Boleh jadi, anak semacam itu tidak punya minat atau tidak tertarik dengan metode pembelajaran berbasis teori dan ceramah. Anak itu lebih tertarik untuk 'berbuat dan menghasilkan sesuatu'. Untuk itu, guru perlu membuat semacam asesmen diagnostik untuk mengetahui kemampuan siswa sehingga bisa merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa.



*Penulis adalah Staf pengajar SMK Stella Maris.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kelas sebagai "Miniatur Industri"

Trending Now

Iklan