Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Homo Cantat

Tuesday, September 20, 2022 | 15:17 WIB Last Updated 2023-02-08T07:45:43Z
Homo Cantat
Homo Cantat



Oleh: Sil Joni*


Boleh jadi, ucapan St. Agustinus, "bis orat qui cantat" (semua manusia adalah makhluk yang bernyanyi), lahir dari permenungan yang intens perihal hakikat ontologis manusia.  Menyanyi adalah actus dasariah dan bagian dari cara berada (mode of being) dari manusia itu sendiri. Tegasnya, manusia adalah makhluk bernyanyi (homo cantat).


Baca: "Budaya Komentar" Vs Budaya Literasi


Dalam perkembangannya, ucapan itu 'dimodifikasi' dengan menambahkan kata 'bene'. Karena itu, sampai detik ini, kita sering mendengar atau mengutip ungkapan yang sangat populer: "Qui bene cantat bis orat" (siapa bernyanyi baik, dia berdoa dua kali). Itu berarti, hanya orang yang 'bernyanyi dengan baik', bisa masuk dalam kategori 'doa'. Selain itu, tidak semua jenis lagu, meski dinyanyikan dengan baik, setara dengan 'berdoa dua kali' itu.


Lagu-lagu bernuansa profan dan bergenre 'pop rohani', meski syair dan nadanya, sangat bermutu serta dinyanyikan dengan baik, tetapi ketika dilantunkan dalam Gereja dalam sebuah ritual liturgis yang kudus, tidak serta merta diidentikkan sebagai 'bentuk doa'. Bahwa lagu-lagu semacam itu, merupakan ekspresi rasa musikalitas yang dalam dan pengaktualisasian potensinya sebagai 'homo cantat', tak bisa dibantah. Tetapi, tidak dengan itu, kita dengan gampang 'membenarkan' penggunaan pelbagai jenis lagu dalam ibadat keagamaan kita.


Dalam Gereja Katolik, menyanyi itu bukan 'unsur tambahan', sekadar untuk memeriahkan suasana perayaan. Menyanyi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pujian dan penyembahan terhadap Tuhan. Upacara liturgi Katolik bersifat pujian dan syukur. Menyanyi, dengan demikian, merupakan ekspresi paling pas dan khas dari rasa syukur tersebut.


Oleh sebab itu, idealnya, semua umat mesti berpartisipasi dalam tindakan 'memuji dan menyembah Tuhan' melalui 'nyanyian' yang dilantunkan dengan baik itu. Ketika 'kelompok paduan suara (kor) memonopoli tindakan bernyanyi dalam Gereja, maka kita sedang 'menyumbat' penyaluran iman umat dan mematikan potensinya sebagai 'makhluk bernyanyi'. Kita tidak menciptakan ruang dan suasana yang memungkinkan umat 'mengekspresikan imannya' dalam bentuk nyanyian.


Nyanyian atau lagu liturgis merupakan 'sarana bantu' bagi umat untuk mendekatkan diri dan mengalami kehadiran Tuhan secara personal. Momen perjumpaan dengan Yang Kudus, mesti menjadi 'telos' fundamental mengapa semua umat 'terlibat' dalam bernyanyi.


Baca: Agar Tubuh Tetap Segar


Pertanyaannya adalah apakah lagu-lagu pop rohani yang dilantunkan secara meriah oleh kelompok kor, bisa membantu umat untuk merasakan 'perjumpaan yang intim' dengan Tuhan? Alih-alih membuat umat 'tergetar pada Yang Kudus', justru umat 'terhipnotis oleh tontonan yang menarik dari grup paduan suara itu. Ada kesan bahwa umat hanya 'menonton sebuah konser musik pop' kalau lagu-lagu liturgi resmi gereja 'diabaikan' oleh kelompok kor dan lebih memilih lagu-lagu pop rohani.


Konser lagu pop rohani seolah menjadi 'tujuan utama'. Ibadat liturgi pun kemungkinan akan dilihat sebagai 'tontonan belaka'. Tampilan peserta kor mendapat porsi perhatian lebih ketimbang 'firman Tuhan' dan upacara ekaristi (perjamuan Tuhan). Decak kagum dan pujian pasti terdengar gagah seusai perayaan liturgi digelar. Tidak heran jika pelbagai kelompok kor berusaha semaksimal mungkin, untuk memberikan 'tontonan' yang berkelas kepada penonton (baca: umat).


Konsekuensi dari anggapan ibadat liturgi sebagai 'tontonan' adalah kita rela 'membayar kelompok paduan suara' untuk tampil pada pelbagai misa tematis. Fenomen kelompok kor profesional (untuk tidak disebut kor komersial), semakin marak saat ini. Mereka memasang 'tarif' yang variatif untuk sekali tampil. Status umat sebagai 'makhluk yang bernyanyi' kian termarginalisasi. Umat lebih banyak bertindak sebagai 'penikmat atau penonton' pertunjukkan musik dari kelompok kor profesional itu.


Kalau kita mengamini bahwa manusia adalah makhluk bernyanyi dan ibadat keagamaan dinyatakan dalam bentuk pujian (nyanyian), mengapa umat harus 'pasif' atau jadi penonton', ketika mengikuti ibadat dalam gereja? Apakah 'bernyanyi baik' yang dimaksudkan dalam ungkapan 'qui bene cantat bis orat' itu, hanya bisa dilakukan oleh kelompok kor (paduan suara)? Apakah ada semacam 'nilai plus secara religus' ketika nyanyian dalam ibadat, dimonopoli oleh kelompok kor?


Benar bahwa tidak semua orang memiliki suara yang indah dan punya bakat istimewa dalam bernyanyi. Tetapi, dalam gereja Katolik,  nyanyian atau pujian, menjadi ekspresi pengungkapan iman sehingga hampir tidak ada yang tidak suka menyanyi atau memuji Tuhan. Hidup seorang Katolik tidak bisa dipisahkan dari nyanyian atau pujian!


Seruan dan perintah untuk bernyanyi bagi Tuhan, kita temukan dalam Kitab Mazmur. "Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan, menyanyilah bagi Tuhan, hai segenap bumi" (Maz 96:1). Perlu dicatat bahwa yang dimaksud  'nyanyian baru' tentu bukan lirik lagu atau nyanyian baru (seperti lagu pop rohani) yang diciptakan untuk memenuhi 'permintaan pasar'.  Makna dari  'nyanyian baru'  ini berkaitan dengan hati seseorang yang sudah dibaharui oleh Roh Kudus sehingga setiap hari lahir suatu nyanyian baru sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan.


Jadi, saya berpikir, lagu-lagu liturgis yang sudah 'diakui gereja', meski sudah klasik, tetapi jika dinyanyikan dengan 'hati' yang tulus, tetap menjadi 'sarana' mendekatkan umat dan membantu umat untuk mengalami perjumpaan yang intim dengan Tuhan. Mengapa? Selain bobot musikalitasnya yang tinggi, juga proses penulisan syair lagu-lagu tersebut, dilakukan secara ketat. Ada proses 'seleksi dan refleksi' yang bersumber dari isi Kitab Suci. 


Baca: Senyummu "Menggetarkan Jiwaku"


Jadi, nyanyian baru tidak identik dengan lagu-lagu pop rohani ciptaan para komponis modern. Nyanyian baru adalah nyanyian yang keluar dari hati karena pengalaman berjalan bersama Tuhan, nyanyian yang mengubahkan hidup kita, nyanyian yang menjadi rhema (perkataan Kristus dalam jiwa) bagi setiap pribadi:  firman yang hidup dan bekerja di dalam kita, yang terekspresikan melalui ucapan kita dengan senandung.  


Untuk itu, jangan pernah 'membatasi umat' untuk melantunkan nyanyian baru dalam setiap ibadat liturgi. Kelompok paduan suara (kor), kalau dapat, tidak boleh memonopoli aktivitas bernyanyi di gereja dan tidak boleh 'memilih lagu-lagu pop rohani' yang sesuai selera subyektif. Kelompok kor mesti membantu umat untuk bernyanyi dengan baik dan menghidupkan api firman yang tertuang dalam lagu-lagu liturgi resmi gereja. 


Kita tidak sedang menampilkan dan menonton sebuah konser musik mengikuti ibadat liturgi dalam gereja. Ungkapan 'siapa bernyanyi baik, berdoa dua kali', tidak dimaksudkan untuk mendendangkan secara meriah lagu-lagu bernuansa profan dan bergenre pop serta memperkenalkan lagu-lagi ciptaan baru demi untuk mendapat 'pengakuan dan decak kagum dari pastor dan umat. Biarkan umat 'bernyanyi dan bermazmur' untuk Tuhan.



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Homo Cantat

Trending Now

Iklan